HUMANISME
(Humanisme adalah etika) Humanisme menjunjung tinggi nilai-nilai, kedaulatan dan kebebasan pribadi dalam segala hak kebebasan yang hanya dibatasi oleh hak pribadi lainnya. Seorang humanis memelihara humanitas termasuk untuk generasi masa depan. Seorang humanis percaya bahwa moralitas adalah bagian dari sifat alami manusia yg mendasarkan pada saling pengertian dan acuh terhadap sesama serta tidak memerlukan sanksi dari luar.
HUMANISME
(Humanisme adalah rasionalitas) Humanisme memakai sains secara kreatif bukan destruktif. Humanis percaya bahwa solusi atas masalah-masalah dunia terletak pada pemikiran manusia dan tindakannya, ketimbang intervensi transenden/ilahi. Humanisme menganjurkan pemakaian metoda-metoda ilmiah dan berfikir bebas terhadap masalah kesejahteraan manusia. Tetapi humanis juga percaya bahwa pemakaian sains dan teknologi haruslah dibawah nilai-nilai kemanusiaan. Sains menentukan cara, nilai-nilai kemanusian yang menentukan akhirnya.
HUMANISME
(Humanisme menyulang demokrasi dan hal azasi manusia) Humanisme bertujuan mengembangkan manusia sepenuh-penuhnya. Memegang demokrasi dan pengembangan diri manusia sebagai sebuah hak. Prinsip-prinsip demokrasi dan hak azasi manusia dilaksanakan dalam hubungan antar manusia tanpa dibatasi oleh cara-cara pemerintahan.
HUMANISME
(Humanisme menginginkan kebebasan pribadi menyatu dengan tanggung jawab sosial) Usaha-usaha humanis adalah membangun dunia berdasarkan ide-ide dari manusia bebas yang bertanggung terhadap masyarakat serta mengakui saling ketergantungan di dunia. Humanisme bukanlah dogma, tanpa sumpah dalam keterlibatan. Humanisme terikat dalam memajukan pendidikan yang bebas dari indoktrinasi.
HUMANISME
(Humanisme adalah tanggapan terhadap kebutuhan luas untuk alternatif agama dogmatis) Agama besar di dunia mengklaim kebenaran berdasarkan pada wahyu dan berlaku sepanjang jaman serta berusaha untuk memaksakan pandangan dunia mereka pada semua umat manusia. Humanisme mengakui bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan dunia dan diri kita muncul melalui suatu proses yang berkelanjutan. observasi, evaluasi dan revisi.
Monday, June 9, 2014
Manuver Politik Ala Prabowo
Thursday, December 12, 2013
Mengkritisi G30S (bagi mereka yang masih ngotot)
Setelah saya membuat dan menyebarkan petisi “Sarwo Edhie bukan Pahlawan” di change.org, pembahasan tentang G30S bergulir lagi. Film Joshua Oppenheimer jelas menyajikan bagaimana para jagal telah membabat nyawa manusia-manusia tak bersalah. Begitu juga akademik seperti John Roosa dan Benedict Anderson, menyatakan bagaimana sejarah pembunuhan massal yang begitu kejam itu,telah dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi sejarah kepahlawanan Suharto. Baru-baru ini, sejarawan Asvi Adam juga memaparkan tentang trik-trik keji Sarwo Edhie dalam penumpasan mereka yang di PKI-kan.
Tapi, setelah semua usaha pengungkapan sejarah ini, tetap saja adayang bertanya: “Lalu versi siapa yang mesti kita percaya?”. Ada juga yang masihngotot setelah nobar film “Jagal”: “Itu kan cuma versinya Joshua Oppenheimer.Masih banyak versi lain yang membuktikan kekejaman PKI dan pembunuhan ’65 ituharus dilaksanakan demi menyelamatkan bangsa.” Dengan orang-orang yang ngotot tanpa mau meneliti ataupun membaca lebih lanjut, saya sodorkan argumen berikut: yang terdiri dari 5 bagian (biar mirip Pancasila).
Sunday, November 10, 2013
NEGARA SEKULER
Sekulerisme dalam Negara secara umum dikenal sebagai sistem pemerintahan yang memisahkan agama dari politik dan kenegaraan. Inilah yang menakutkan bagi beberapa orang: bila tidak ada lagi agama yang dipegang oleh penguasa, apa yang akan mengarahkan nurani mereka?
Agama adalah untuk membuat manusia lebih manusiawi, demi kebaikan, sebuah pegangan untuk moralitas manusia.
Namun, agama di tangan para pejabat telah terbukti disalahgunakan untuk semakin membohongi rakyat. Begitu pula di Indonesia. Kekerasan atas nama agama masih berlanjut. Pertempuran antar agama dibiarkan, terkadang dengan membela agama mayoritas, untuk memperoleh kepopuleran.
Pemerintah telah menggunakannya untuk ajang adu domba. Justru karena keyakinan bahwa apa saja yang menyangkut agama itu benar dan selalu baik, kebanyakan masyarakat buta. Agama bisa menjadi vitamin atau racun, tergantung dari siapa yang menyandangnya.
Dan sekali lagi, kecurigaan bahwa sekulerisme hanyalah pengaruh Barat? Mahatma Gandhi, seorang Hindu yang taat beribadah, telah mengenali muslihat agama dalam politik. Justru dengan sekulerisme, dia melawan dominasi Negara Inggris (yang dikenal sebagai “Barat” oleh kebanyakan orang).
Ia tahu, betapa mudahnya agama bisa dijadikan bulu-bulu domba bagi para serigala politik. Ucapnya: “Simpanlah agama untuk kehidupan pribadimu. . . Kita sudah cukup menderita dengan campur tangan agama atau Gereja di bawah pemerintahan Inggris. Sebuah masyarakat, yang kehidupan agamanya tergantung pada Negara, sungguhlah tidak layak mempunyai agama. . .”
Sekulerisme seringkali dihubungkan dengan ateisme dan peniadaan agama. Inilah yang seringkali membuat banyak orang di Indonesia menolak, bahkan anti terhadap kata sekulerisme, karena mereka merasa bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah mereka yang beragama. Bahkan, agama seringkali dianggap sebagai jati diri bangsa Indonesia. Tapi, apakah benar negara/pemerintahan sekuler adalah sesuatu yang bisa “mengancam“ atau “mengkontradiksi“ jati diri bangsa Indonesia? Apakah hubungan sekulerisme dan ateisme itu benar?
Seringkali istilah “negara sekuler“ ini mirip ketakutan akan kucing dalam karung. Kita tidak tahu kucing tersebut akan mencakar atau justru amat manis, tapi kita sudah ketakutan sebelum membuka karung dan melihat kucingnya. Karena itu, mari kita teliti satu-persatu, dengan mengadakan perjalanan kata, sehingga “negara sekuler“ tidak lagi membuat bulu kuduk berdiri tanpa tahu sebenarnya apa maksudnya. Mari kita buka “karung-karung“ yang menyelubungi kata ini.
Kita mulai dari definisi “sekulerisme“ dulu. Menurut pengertian umum, sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan tertentu. Perhatikan, dari definisi ini, tidak ada pesan bahwa ateisme akan dianak-emaskan atau agama akan dianak-tirikan. Sekulerisme cuma memisahkan antara agama dan negara, bukannya memaksakan atau mendorong orang agar menjadi ateis, agnostik, atau tidak beragama.
Setelah definisi “sekuler“ itu jelas, mari kita lanjutkan dengan melihat kata “negara.“ Kata negara memang sudah sangat umum, dan artinya seharusnya sudah jelas. Namun, banyak orang tak menyadari, negara/pemerintah adalah satu-satunya entitas yang bisa memenjarakan, menyita hak milik, bahkan membunuh kita secara terang-terangan dan legal. Dengan kekuatan legalitas ini, negara bisa dan berfungsi untuk “memaksa“ semua entitas lain untuk melakukan hal-hal mereka tak sukai. Contohnya, Undang-undang lingkungan hidup bisa memaksa industri untuk menjaga lingkungan, UMR bisa memaksa perusahaan membayar pegawainya dengan “layak,“ Undang-undang lalu lintas bisa memaksa semua pengendara untuk tidak menerobos lampu merah dan mengikuti jalur yang telah ditentukan.
Satu lagi hal yang sering dilupakan oleh banyak orang: negara/pemerintah itu dipenuhi oleh politikus. Apapun sistemnya, baik demokrasi, junta militer, kediktatoran proletariat, atau sistem apapun, semua yang menjadi pejabat tinggi negara, atau mau menjadi pejabat tinggi negara secara otomatis menjadi politikus.
Setelah ini, kita buka “karung penutup“ utamanya, yaitu alasan-alasan kenapa kita semua membutuhkan negara sekuler.
Alasan #1: Menjamin Keadilan dan Kerukunan Antar Agama
Mari kita hubungkan dua fakta di atas: negara memiliki kekuatan untuk memaksakan entitas-entitas lain. Kalau negara tidak sekuler, berarti negara bisa berlandaskan agama. Pertanyaan berikutnya tentu saja: agama yang mana? Ada begitu banyak agama di dunia ini dengan peraturan yang berbeda. Memberikan kekuatan legal pada salah satunya adalah bentuk ketidak-adilan yang sudah pasti akan menimbulkan gesekan sosial, kecemburuan, dan masalah-masalah lain. Jadi, pemisahan antara agama dan negara adalah syarat mutlak kerukunan antar agama, syarat mutlak persatuan Indonesia.
Alasan #2: Menjamin Kebebasan Beragama
Satu lagi pertanyaan lanjutan selain “agama yang mana“, adalah “yakin agama X itu seperti itu?“ Bila suatu negara menjalankan sistem menurut agama tertentu, apakah sistem yang dijalankan memang betul-betul sesuai dengan agama tersebut?
Maksudnya, setiap agama memiliki banyak denominasi, banyak aliran, banyak interpretasi. Memberikan kekuatan legal pada salah satu aliran tsb berarti menyatakan bahwa aliran lain itu salah, tidak benar, sehingga tidak pantas mendapatkan kekuatan tsb. Ini adalah praktik yang amat arogan, manusia berusaha menjadi Tuhan, berusaha menentukan mana ada pesan bahwa ateisme akan dianak-emaskan atau agama akan dianak-tirikan. Sekulerisme cuma memisahkan antara agama dan negara, bukannya memaksakan atau mendorong orang agar menjadi ateis, agnostik, atau tidak beragama.
Setelah definisi “sekuler“ itu jelas, mari kita lanjutkan dengan melihat kata “negara.“ Satu lagi pertanyaan lanjutan selain “agama yang mana“, adalah “yakin agama X itu seperti itu?“ Bila suatu negara menjalankan sistem menurut agama tertentu, apakah sistem yang dijalankan memang betul-betul sesuai dengan agama tersebut?
Setiap agama memiliki banyak denominasi, banyak aliran, banyak interpretasi. Memberikan kekuatan legal pada salah satu aliran tsb berarti menyatakan bahwa aliran lain itu salah, tidak benar, sehingga tidak pantas mendapatkan kekuatan tsb. Ini adalah praktik yang amat arogan, manusia berusaha menjadi Tuhan, berusaha menentukan mana aliran yang paling benar dan memberikannya kekuatan untuk memaksakan pilihan tersebut pada orang-orang lain.
Alasan #3: Menjaga Kesucian Agama
Kita semua sudah mafhum betapa seringnya politikus memanfaatkan apapun demi mendulang popularitas. Kita juga sudah mafhum betapa seringnya para politikus berusaha membenarkan kebijakan mereka (Baca: keserakahan /kebodohan/kesalahan mereka) dengan berbagai cara. Mensekulerkan
negara berarti memisahkan agama dari tangan dan mulut para politikus, memastikan agama tidak pernah menjadi komoditas politik. Justru dengan hal ini, kita bisa lebih menjaga “kesucian“ agama.
Alasan #4: Jawaban terhadap Kekhawatiran Para Penentang Sekulerisme
Tiga alasan di atas lebih dari cukup untuk mendukung sekulerisasi negara. Namun, para penentang sekulerisme mungkin masih khawatir sekulerisasi akan membuat orang-orang tidak mematuhi norma agama lagi.
Penulis menyampaikan ulang kekawatiran tersebut: “Saya kawatir kalau penganut-penganut beragama tidak dipaksa oleh pemerintah, mereka tidak akan melakukan perintah agamanya.“ Namun, bukankah kerohanian, keimanan, dan ketakwaan para penganut agama seharusnya datang dari hati dan lubuk terdalam, bukanlah wujud pemaksaan?
Bila negara memaksa rakyat untuk mentaati agama, hal ini hanya akan mencemari dan menihilkan fungsi agama sebagai hal yang rohaniah, yang erat hubungannya dengan penemuan diri sendiri. Ketika negara membuat berusaha mengatur dan memaksakan hal-hal yang menyangkut agama, negara sebenarnya juga sudah meremehkan kemampuan agama untuk membimbing umatnya. Karena itu, sekulerisasi negara sebenarnya tidak mencemari agama, tapi bisa diarahkan demi kebebasan beragama dan demi kesucian agama juga.
-------------------------------------------------------------
Oleh : Soe Tjen Marching
Copy From : Aliansi Sekular Indonesia (Facebook)
Hukum
Friday, November 8, 2013
Perbedaan Pemilu USA & Indonesia
Bedanya Pemilu USA dan Indonesia
Second Secretary Political Section Kedutaan Besar Amerika Serikat Scott M Ceremuga mengakui ada perbedaan mencolok antara pemilu di Amerika Serikat dan Indonesia. Perbedaan mencolok itu adalah jumlah partai yang menjadi kontestan pemilu.
“Kalau di Amerika itu partainya cuma Merah atau Republik dan Biru atau Demokrat. Sementara di Indonesia itu beragam. Semua parpol tidak jauh berbeda soal pandangan kebijakan dan tidak ada perbedaan mendasar. Memang ada partai lain seperti Komunis, Sosialis, Buruh, dan Hijau, tetapi tak pernah terdengar gaungnya,”ungkap Scott kepada wartawan di kantor Bandung Institute Government Studies (BIGS) Jalan Saninten Kota Bandung, Senin (15/10/2012).
Scott mencontohkan beberapa waktu lalu dirinya telah menentukan hak pilihnya pada pemilu di Negara Bagian AS. Saat itu ada 4 sampai 5 partai yang mengikuti, tetapi dengan calon yang tidak dikenal.
“Ada 4 pasangan calon, tetapi yang milihnya paling nol koma sekian persen. Untuk ikut pemilu itu, partai harus bisa menunjukan syarat dukungan di negara bagian. Kalau Demokrat dan Republik bisa memenuhi. Apalagi sistem pemilu Amerika hanya satu putaran karena dari segi aturan sudah mendorong pengelompokan dalam 2 partai,” tandasnya.
Berbicara soal kultur demokrasi dan pluralisme, Indonesia bisa dibilang mirip dengan AS. Negara Indonesia dan AS terdiri dari berbagai suku, ras dan agama serta sangat menjunjung tinggi demokrasi.
Tapi ada perbedaan yang sangat mencolok yaitu :
Pemilu di AS diikuti dan dipantau terus menerus oleh seluruh penduduk dunia ( termasuk penduduk Indonesia ), sedangkan Pemilu di Indonesia penduduknya sendiri seringkali TIDAK PEDULI dan bahkan banyak yang tidak tahu kapan PEMILU diadakan, di mana tempat PEMILU atau siapa calon presidennya.
1. AS: Partai yang maju dalam PEMILU hanya ada dua yang utama yang mempunyai visi berbeda (meskipun sama-sama untuk kemajuan Negara) yaitu partai Demokrat dan partai Republik, dengan satu atau dua partai yang (sangat) kecil yang tidak berpengaruh lainnya.
Indonesia: Jumlah partai yang maju dalam pemilu saja ada 30-an (tepatnya saya tidak tahu), dengan alasan demokrasi, tapi lebih pada menghambur-hamburkan uang dana kampanye.
2. AS : Pada saat PEMILU, setiap masing-masing partai mempunyai 1 calon presiden. Dan calon presiden dari kedua partai mempunyai kualitas yang sama, karena calon presiden masing-masing partai terlebih dahulu di seleksi melalui konsesi yang melibatkan kader masing-masing partai. Dalam konsesi hanya masyarakat (rakyat) yang mendaftar dalam partai tertentu yang boleh ikut serta dalam menentukan calon presiden partai tersebut.
Indonesia: Karena banyaknya partai yang maju, meskipun hanya ada satu capres dari setiap partai, maka otomatis ada banyak capres yang maju. Kualitas capres seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan karena bukan melalui seleksi yang melibatkan rakyat, tapi lebih mengunggulkan UANG. Jadi meskipun tidak mempunyai kapasitas sebagai pemimpin yang baik, kalau mempunyai uang banyak dan dukungan dari orang2 berduit atau ormas tertentu, bisa menjadi capres. Selain itu ada proses partai “MELAMAR” individu tertentu… sehingga misi dan visi dari capres itu TIDAK JELAS, karena individu itu bisa pindah-pindah antar partai. Pemilu di Indonesia ada 2 kali yaitu: untuk memilih partai , kemudian memilih calon presiden.
3. AS : Karena ada 2 partai maka salah satu akan menjadi partai penguasa dan partai yang lain menjadi partai oposisi.
Indonesia: Tidak jelas partai mana yang penguasa dan partai oposisi, karena di Kabinet masing-masing sudah mempunyai jatah jumlah wakil yang duduk di cabinet.
4. AS: Kesadaran berpolitik masyarakat SANGAT tinggi. Semua partai menekankan pada masyarakat (rakyat) yang mempunyai hak memilih untuk IKUT PEMILU dan tidak GOLPUT. Mereka menjelaskan keRUGIan dari Golput. Media massa pun mendorong masyarakat untuk ikut PEMILU. Setiap suara dihitung.
Indonesia: Kesadaran berpolitik masih rendah. Orang lebih suka menjadi GOLPUT dengan berbagai alasan bahkan bangga menjadi GOLPUT. Karena kalau ada yang salah, mereka merasa tidak ikut BERTANGGUNGJAWAB. Hal ini HARUS DIRUBAH!
5. AS: Sangat memperhitungkan SUARA MINORITAS. Justru akhir-akhir ini MINORITAS lah yang suaranya paling diperhitungkan sebagai penentu partai mana yang menang (ingat hanya ada 2 partai besar).
Indonesia: Hanya suara MAYORITAS yang diperhitungkan.
6. AS: Pilpres di AS yang sedang berlangsung saat ini selain menerapkan voting tradisional, juga menerapkan e-voting dimana para pemilih bisa memilih secara online calon presiden incumbent dari partai Demokrat, Barack Obama atau calon presiden dari partai Republik, Mitt Romney. Menariknya, Democracy Live, sebuah perusahaan teknologi yang bertanggung jawab dalam proses e-voting ini menyediakan aplikasi e-voting ini untuk bisa di-install para calon pemilih di tablet andalan Microsoft, yaitu Microsoft Surface. Dengan tablet ini, para pemilih bisa memilih secara online calon presiden yang mereka pilih. Sehingga hasil pemilu di AS sudah mendapat hasil dimana Obama kembali akan menjadi presiden AS untuk periode berikutnya. Obama meraih 274 suara electoral college mengalahkan Romney yang hanya meraih 201 suara electoral college. Perhitungan suara berlangsung sangat seru dan ketat, menunjukkan kedua karakter calon presiden memang kuat.
Indonesia: Indonesia yang masih menggunakan paku untuk mencoblos kertas suara. Penerapan teknologi tentunya akan mengurangi biaya dan mempercepat hasil perhitungan.
7. AS: Pada saat PEMILU, yang dipilih ada beberapa pihak: PRESIDEN, anggota KONGRES (mirip DPR) dan anggota SENATE (mirip MPR). Hasilnya pun tidak selalu sama, artinya bila presiden terpilih adalah dari partai Demokrat, belum tentu demikian dengan anggota Kongres dan Senate, bisa jadi yang memegang suara mayoritas di kedua grup itu dari partai lain (tahun ini suara terbanyak di Kongres dipegang partai Republik, sedangkan suara terbanyak di Senat dari partai Demokrat) karena wakil terpilih ditentukan oleh SETIAP Negara bagian dan kota-kota tertentu.
Indonesia: Biasanya Partai tertentu berkuasa sebagai mayoritas di semua bagian, partai-partai lainnya mempunyai wakil sendiri-sendiri di DPR dan MPR, yang suaranya bisa dibeli dengan uang.
8. AS: Setelah penghitungan suara selesai dan pemenangnya diumumkan, secara gentleman yang kalah langsung mengaku kalah dan memberi selamat kepada pemenang, sekaligus mengajak pengikutnya untuk mendukung sang pemenang demi kemajuan bangsa dan negara.