Showing posts with label Hukum & Politik. Show all posts
Showing posts with label Hukum & Politik. Show all posts

Monday, June 9, 2014

Manuver Politik Ala Prabowo


Sebelumnya kita harus cermat mengikuti bagaimana manuver politik Prabowo dkk. 

Dengan mencermati manuver politik ini, kita akan tahu memberikan sebuah kesimpulan mengenai Prabowo dan dapat menilai apa & bagaimana Prabowo jika seandainya menjadi RI1.



- Prabowo melakukan koalisi dengan Suyadarma Ali. 
Tidak lama setelah melakukan koalisi, SDA (Ketua Kementeriaan Agama) terjerat kasus korupsi dana haji dan resmi menjadi tersangka.

- Prabowo melakukan koalisi dengan Abu Rizal Bakrie. 
Dalam hal ini, kita sudah tahu apa motiv dari koalisi ini. Prabowo berkoalisi dengan ARB tentunya karena ARB mempunyai daya untuk mengumpulkan suara yg dapat menaikkan persentasi suara dari Prabowo baik melalui media & materi. sebaliknya, koalisi ini bisa disebut dengan koalasi balas budi, karena akan memberikan jabatan khusus kepada ARB seandainya Prabowo berhasil menjadi RI1. dengan adanya jabatan khusus ini, kita tidak akan ragu ARB akan melimpahkan kasus lapindo kepada negara dan masalah lapindo yg seharusnya menjadi tanggungan resmi perusahaan ARB akan sepenuhnya dilimpahkan menjadi tanggungan negara.

Thursday, December 12, 2013

Mengkritisi G30S (bagi mereka yang masih ngotot)

(Versi yang lebih pendek telah dimuat di Koran Tempo, 11.12.13)

Setelah saya membuat dan menyebarkan petisi “Sarwo Edhie bukan Pahlawan” di change.org, pembahasan tentang G30S bergulir lagi. Film Joshua Oppenheimer jelas menyajikan bagaimana para jagal telah membabat nyawa manusia-manusia tak bersalah. Begitu juga akademik seperti John Roosa dan Benedict Anderson, menyatakan bagaimana sejarah pembunuhan massal yang begitu kejam itu,telah dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi sejarah kepahlawanan Suharto. Baru-baru ini, sejarawan Asvi Adam juga memaparkan tentang trik-trik keji Sarwo Edhie dalam penumpasan mereka yang di PKI-kan.
Tapi, setelah semua usaha pengungkapan sejarah ini, tetap saja adayang bertanya: “Lalu versi siapa yang mesti kita percaya?”. Ada juga yang masihngotot setelah nobar film “Jagal”: “Itu kan cuma versinya Joshua Oppenheimer.Masih banyak versi lain yang membuktikan kekejaman PKI dan pembunuhan ’65 ituharus dilaksanakan demi menyelamatkan bangsa.” Dengan orang-orang yang ngotot tanpa mau meneliti ataupun membaca lebih lanjut, saya sodorkan argumen berikut: yang terdiri dari 5 bagian (biar mirip Pancasila).  

Sunday, November 10, 2013

NEGARA SEKULER

Pada senja 14 Juli 1942, lelaki tirus dengan secarik kain penutup tubuh, menyusuri tanah yang kerontang berdebu. Mereka yang tak mengenalnya akan menyangka lelaki ini sebagai gembel peminta-minta. Namun, “gembel“ bernama Mahatma Gandhi ini tidak sedang meminta-minta. Dia baru saja memutuskan sesuatu yang akan mengguncangkan dunia. Bersama dengan Kongres Nasional India, ia meluncurkan dekrit yang mendesak pemerintah Inggris untuk segera keluar dari tanah itu. India akan memerintah Negaranya sendiri, dan Gandhi merencanakan suatu sistem bagi Bangsa ini, untuk menentang kolonialisme: pemerintahan sekuler.

Sekulerisme dalam Negara secara umum dikenal sebagai sistem pemerintahan yang memisahkan agama dari politik dan kenegaraan. Inilah yang menakutkan bagi beberapa orang: bila tidak ada lagi agama yang dipegang oleh penguasa, apa yang akan mengarahkan nurani mereka?

Agama adalah untuk membuat manusia lebih manusiawi, demi kebaikan, sebuah pegangan untuk moralitas manusia.

Namun, agama di tangan para pejabat telah terbukti disalahgunakan untuk semakin membohongi rakyat. Begitu pula di Indonesia. Kekerasan atas nama agama masih berlanjut. Pertempuran antar agama dibiarkan, terkadang dengan membela agama mayoritas, untuk memperoleh kepopuleran.

Pemerintah telah menggunakannya untuk ajang adu domba. Justru karena keyakinan bahwa apa saja yang menyangkut agama itu benar dan selalu baik, kebanyakan masyarakat buta. Agama bisa menjadi vitamin atau racun, tergantung dari siapa yang menyandangnya.

Dan sekali lagi, kecurigaan bahwa sekulerisme hanyalah pengaruh Barat? Mahatma Gandhi, seorang Hindu yang taat beribadah, telah mengenali muslihat agama dalam politik. Justru dengan sekulerisme, dia melawan dominasi Negara Inggris (yang dikenal sebagai “Barat” oleh kebanyakan orang).

Ia tahu, betapa mudahnya agama bisa dijadikan bulu-bulu domba bagi para serigala politik. Ucapnya: “Simpanlah agama untuk kehidupan pribadimu. . . Kita sudah cukup menderita dengan campur tangan agama atau Gereja di bawah pemerintahan Inggris. Sebuah masyarakat, yang kehidupan agamanya tergantung pada Negara, sungguhlah tidak layak mempunyai agama. . .”

Sekulerisme seringkali dihubungkan dengan ateisme dan peniadaan agama. Inilah yang seringkali membuat banyak orang di Indonesia menolak, bahkan anti terhadap kata sekulerisme, karena mereka merasa bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah mereka yang beragama. Bahkan, agama seringkali dianggap sebagai jati diri bangsa Indonesia. Tapi, apakah benar negara/pemerintahan sekuler adalah sesuatu yang bisa “mengancam“ atau “mengkontradiksi“ jati diri bangsa Indonesia? Apakah hubungan sekulerisme dan ateisme itu benar?

Seringkali istilah “negara sekuler“ ini mirip ketakutan akan kucing dalam karung. Kita tidak tahu kucing tersebut akan mencakar atau justru amat manis, tapi kita sudah ketakutan sebelum membuka karung dan melihat kucingnya. Karena itu, mari kita teliti satu-persatu, dengan mengadakan perjalanan kata, sehingga “negara sekuler“ tidak lagi membuat bulu kuduk berdiri tanpa tahu sebenarnya apa maksudnya. Mari kita buka “karung-karung“ yang menyelubungi kata ini.

Kita mulai dari definisi “sekulerisme“ dulu. Menurut pengertian umum, sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan tertentu. Perhatikan, dari definisi ini, tidak ada pesan bahwa ateisme akan dianak-emaskan atau agama akan dianak-tirikan. Sekulerisme cuma memisahkan antara agama dan negara, bukannya memaksakan atau mendorong orang agar menjadi ateis, agnostik, atau tidak beragama.

Setelah definisi “sekuler“ itu jelas, mari kita lanjutkan dengan melihat kata “negara.“ Kata negara memang sudah sangat umum, dan artinya seharusnya sudah jelas. Namun, banyak orang tak menyadari, negara/pemerintah adalah satu-satunya entitas yang bisa memenjarakan, menyita hak milik, bahkan membunuh kita secara terang-terangan dan legal. Dengan kekuatan legalitas ini, negara bisa dan berfungsi untuk “memaksa“ semua entitas lain untuk melakukan hal-hal mereka tak sukai. Contohnya, Undang-undang lingkungan hidup bisa memaksa industri untuk menjaga lingkungan, UMR bisa memaksa perusahaan membayar pegawainya dengan “layak,“ Undang-undang lalu lintas bisa memaksa semua pengendara untuk tidak menerobos lampu merah dan mengikuti jalur yang telah ditentukan.

Satu lagi hal yang sering dilupakan oleh banyak orang: negara/pemerintah itu dipenuhi oleh politikus. Apapun sistemnya, baik demokrasi, junta militer, kediktatoran proletariat, atau sistem apapun, semua yang menjadi pejabat tinggi negara, atau mau menjadi pejabat tinggi negara secara otomatis menjadi politikus.

Setelah ini, kita buka “karung penutup“ utamanya, yaitu alasan-alasan kenapa kita semua membutuhkan negara sekuler.

Alasan #1: Menjamin Keadilan dan Kerukunan Antar Agama

Mari kita hubungkan dua fakta di atas: negara memiliki kekuatan untuk memaksakan entitas-entitas lain. Kalau negara tidak sekuler, berarti negara bisa berlandaskan agama. Pertanyaan berikutnya tentu saja: agama yang mana? Ada begitu banyak agama di dunia ini dengan peraturan yang berbeda. Memberikan kekuatan legal pada salah satunya adalah bentuk ketidak-adilan yang sudah pasti akan menimbulkan gesekan sosial, kecemburuan, dan masalah-masalah lain. Jadi, pemisahan antara agama dan negara adalah syarat mutlak kerukunan antar agama, syarat mutlak persatuan Indonesia.

Alasan #2: Menjamin Kebebasan Beragama 

Satu lagi pertanyaan lanjutan selain “agama yang mana“, adalah “yakin agama X itu seperti itu?“ Bila suatu negara menjalankan sistem menurut agama tertentu, apakah sistem yang dijalankan memang betul-betul sesuai dengan agama tersebut?

Maksudnya, setiap agama memiliki banyak denominasi, banyak aliran, banyak interpretasi. Memberikan kekuatan legal pada salah satu aliran tsb berarti menyatakan bahwa aliran lain itu salah, tidak benar, sehingga tidak pantas mendapatkan kekuatan tsb. Ini adalah praktik yang amat arogan, manusia berusaha menjadi Tuhan, berusaha menentukan mana ada pesan bahwa ateisme akan dianak-emaskan atau agama akan dianak-tirikan. Sekulerisme cuma memisahkan antara agama dan negara, bukannya memaksakan atau mendorong orang agar menjadi ateis, agnostik, atau tidak beragama.

Setelah definisi “sekuler“ itu jelas, mari kita lanjutkan dengan melihat kata “negara.“ Satu lagi pertanyaan lanjutan selain “agama yang mana“, adalah “yakin agama X itu seperti itu?“ Bila suatu negara menjalankan sistem menurut agama tertentu, apakah sistem yang dijalankan memang betul-betul sesuai dengan agama tersebut?

Setiap agama memiliki banyak denominasi, banyak aliran, banyak interpretasi. Memberikan kekuatan legal pada salah satu aliran tsb berarti menyatakan bahwa aliran lain itu salah, tidak benar, sehingga tidak pantas mendapatkan kekuatan tsb. Ini adalah praktik yang amat arogan, manusia berusaha menjadi Tuhan, berusaha menentukan mana aliran yang paling benar dan memberikannya kekuatan untuk memaksakan pilihan tersebut pada orang-orang lain.

Alasan #3: Menjaga Kesucian Agama

Kita semua sudah mafhum betapa seringnya politikus memanfaatkan apapun demi mendulang popularitas. Kita juga sudah mafhum betapa seringnya para politikus berusaha membenarkan kebijakan mereka (Baca: keserakahan /kebodohan/kesalahan mereka) dengan berbagai cara. Mensekulerkan
negara berarti memisahkan agama dari tangan dan mulut para politikus, memastikan agama tidak pernah menjadi komoditas politik. Justru dengan hal ini, kita bisa lebih menjaga “kesucian“ agama.

Alasan #4: Jawaban terhadap Kekhawatiran Para Penentang Sekulerisme 

Tiga alasan di atas lebih dari cukup untuk mendukung sekulerisasi negara. Namun, para penentang sekulerisme mungkin masih khawatir sekulerisasi akan membuat orang-orang tidak mematuhi norma agama lagi.

Penulis menyampaikan ulang kekawatiran tersebut: “Saya kawatir kalau penganut-penganut beragama tidak dipaksa oleh pemerintah, mereka tidak akan melakukan perintah agamanya.“ Namun, bukankah kerohanian, keimanan, dan ketakwaan para penganut agama seharusnya datang dari hati dan lubuk terdalam, bukanlah wujud pemaksaan?

Bila negara memaksa rakyat untuk mentaati agama, hal ini hanya akan mencemari dan menihilkan fungsi agama sebagai hal yang rohaniah, yang erat hubungannya dengan penemuan diri sendiri. Ketika negara membuat berusaha mengatur dan memaksakan hal-hal yang menyangkut agama, negara sebenarnya juga sudah meremehkan kemampuan agama untuk membimbing umatnya. Karena itu, sekulerisasi negara sebenarnya tidak mencemari agama, tapi bisa diarahkan demi kebebasan beragama dan demi kesucian agama juga.

-------------------------------------------------------------






Oleh : Soe Tjen Marching
Copy From : Aliansi Sekular Indonesia (Facebook)

Hukum

Negara kita adalah Negara hukum.  Kalau perlu, sperma dan telur di tubuh kita harus dicekoki hafalan seperti itu, supaya bisa mengatur tingkah seksualitas si empunya.  Karena itu pula, muncullah Undang-undang anti pornografi. 
            Rupanya hal ini tidak cukup. Baru-baru ini, beberapa buku juga kena lindas hukum dan dilarang.  Alasannya adalah menjaga ketertiban umum, karena buku-buku yang dilarang tersebut akan memicu keresahan masyarakat.  Inilah tindakan dari Pemerintah, yang katanya peduli pada rakyat.
Lalu, bayangkan sebuah tempat tanpa hukum dan tanpa pemerintahan.  Berabad-abad yang lalu, Hobbes pernah menyatakan bagaimana manusia akan saling mencakar dan merajah milik orang lain - Homo Homini Lupus.  Tanah itu akan berubah menjadi neraka yang penuh peperangan, karena Hobbes yakin akan keserakahan manusia sehingga mereka memerlukan pemerintah otoriter dengan hukum yang kejam, yang tugasnya adalah mengatur para mahluk “biadab” ini.  Argumen yang dirangkum dalam bukunya Leviathan,dipublikasi pada tahun 1651.
Pada masa itu juga, perempuan-perempuan tak berdosa berakhir di bara api, karena tuduhan sebagai tukang tenung.  Hukuman yang sadis diterapkan pada siapa saja yang dicurigai telah mengkhianati Negara.  Dalam waktu enam hari di tahun 1660, sembilan orang yang dituduh pengkhianat mengalami hukuman ini: diseret di muka umum untuk diludahi, digantung sampai hanya setengah mati, supaya mereka masih dapat merasa kesakitan saat tubuhnya dibelah menjadi empat. 

            Tapi, kekejaman seperti ini tidak membuat manusia lebih teratur ataupun lebih patuh kepada hukum.  Yang ada justru manusia-manusia yang marah pada tekanan yang tidak saja sadis, tapi juga terkadang salah sasaran. 
Argumen Hobbes ditumbangkan oleh John Locke pada akhir tahun 1670, dan beratus bahkan beribu kritik lainnya.  Tapi pada era millennium ini, ternyata ide serupa masih diterapkan dalam Negara kita.  Para pejabat begitu ribetnya dengan moralitas bangsa, sehingga harus ada Undang-undang yang mengatur urusan pribadi seperti seksualitas, dan pelarangan buku dengan alasan bertentangan dengan moral dan agama.  Alasan yang memperlakukan rakyat Indonesia seolah anak kecil yang rapuh, yang harus dibatasi.
             Dan memang, bukankah Orde Baru telah menanamkan kesan bahwa rakyat adalah manusia yang tak dewasa, yang perlu “petunjuk” dari para penguasa. Dialah yang menjadi “Bapak” dari anak-anak yang seringkali tidak disiplin dan tidak mampu menentukan yang baik untuk diri mereka: berapa kali kita dengar mantra “menurut petunjuk Bapak Presiden”?  
             Karena itulah, sensor yang ketat juga disertai dengan maraknya klompen capir-klompen capir serta Penataran P4 yang gencar memberi petuah pada rakyat. Kata pemudayang mempunyai konotasi revolusioner dan penyulut semangat bangsa pada masa Sukarno, menjadi melempem di masa Suharto. Istilah ABG (Anak Baru Gedhe) menjadi populer sehingga mereka dipandang sebagai manusia liar, tak terkontrol dan perlu senantiasa diawasi. Hal inilah yang bisa membenarkan adanya segala sensor ketat di masa itu, dan terulang pada jaman ini.
Apakah begitu bejat dan bodohnya rakyat Indonesia?  Apakah mereka tidak becus menjaga moral, agama dan kepercayaan mereka dan menyelesaikan masalah sendiri, sehingga hal-hal seperti ini harus diatur Negara? 
Yang saya saksikan justru sebaliknya.  Anak-anak kecil di kampung yang bertengkar dapat menyelesaikan sendiri pertengkaran mereka tanpa memanggil orang dewasa.  Banyak orang yang mengalami tabrakan di jalan, seringkali bersembunyi dari polisi karena mereka lebih suka menuntaskan sendiri, daripada harus “diricuhi” oleh polisi. 
Ketika polisi lalu lintas sudah tidak begitu berfungsi, pak Ogah (polisi cepek) turun ke jalan.  Dan mereka justru lebih disukai daripada polisi “sungguhan”, karena mereka mengatur lalu lintas tanpa mencari-cari kesalahan pengendara mobil.  Ternyata para polisilah yang lebih ogah dari pak Ogah.
            Ketika Prita menjadi korban hukum di Indonesia, rakyatlah yang kemudian mengambil inisiatif dengan mengumpulkan koin.  Rakyatlah yang membenahi badan hukum, bukan sebaliknya.  Rakyatlah yang mengorbankan waktu, tenaga dan merogoh kocek; padahal badan hukumlah yang sudah dibayar dan diberi mandat untuk membela hak rakyat. 

         Dan belum lama ini (tepatnya tanggal 20-23 Januari 2010), diadakan rapat kerja mengatasi polusi kebisingan, yang diprakarsai oleh Slamet Abdul Sjukur.  Karena mereka yang ikut serta dalam rapat begitu sadar bahwa fungsi telinga tidak hanya mendengar, tapi lebih jauh dari itu, ia adalah penjaga keseimbangan, pengatur suhu badan, dan pemasok energi yang dibutuhkan otak.  Dalam rapat ini juga, dibentuklah masyarakat Bebas-Bising.  Hal yang diusahakan demi rakyat banyak, dilakukan juga oleh rakyat sendiri, bukan oleh pemerintah yang sudah ditugasi.  Jangan harap ada satu klompen capir-pun yang mau memikirkan hal ini.   
         Memang, masyarakat yang dewasa sudah tidak lagi memerlukan pemerintah atau badan hukum.  Bila ada perselisihan, mereka akan mampu menyelesaikan sendiri daripada harus ke pengadilan yang tidak saja mahal namun juga berbelit-belit dan amburadul. Tapi bukan berarti semua dapat diselesaikan sendiri dan badan hukum tidak diperlukan. 
Karena dalam kompromi masyarakat, seringkali pihak yang kuatlah yang menang.
          Dan saat inilah, badan hukum harus turun tangan. Saat ada kekuatan yang tidak seimbang.  Bila kompromi tidak lagi dapat dianggap adil.  Karena itulah, fungsi hukum seharusnya bukanlah memberi kuasa atau hak berlebih pada pihak tertentu, namun untuk melindungi semua warga negara, dan bila perlu, berpihak pada yang lemah. Sebab dalam kompromi, biasanya pihak minoritas dan dianggap lemah-lah yang paling dirugikan.          

            Namun di Indonesia, hukum masih berfungsi sebagai mata-mata yang mengawasi kelengahan dan kesalahan rakyatnya.  Premanisasi dan teror dari beberapa kelompok tidak ditangani namun dibiarkan begitu saja. Ia menjadi momok, bukan pembawa rasa tenteram.  Ia  masih menganggap rakyat Indonesia bisa dibodohi dengan alasan yang kekanakan, bila sensor menyensor berlangsung.
            Yang mungkin bisa menghibur kita adalah hukum yang membabi buta tidak hanya terjadi di Indonesia.  Paul Craig Roberts, mantan asisten sekretaris di departemen Keuangan Pemerintah Amerika, telah mengecam hukum di beberapa kota besar (seperti Atlanta) di Negaranya.  Karena peraturan yang serba ketat dan terlalu mencampuri urusan pribadi orang, menyebabkan kriminalitas yang lebih serius meraja-lela dan lepas dari pengawasan.
            Bukankah ini juga terjadi di Indonesia?  Perempuan yang bekerja tengah malam ditangkap dan dituduh pelacur (Lilis di Tangerang hanya satu dari beribu contoh). Sedangkan kriminal berduit seperti Ayin bisa mendapat fasilitas hotel bintang lima.  Kasus Ayin memang menggemparkan, tapi yang jauh lebih parah dari itu dan lolos dari pengamatan masih banyak.
            Berapa banyak para pejabat yang mengeruk duit rakyat dan sama sekali tidak tersentuh hukum?  Berapa banyak yang melakukan kejahatan 100 kali lebih besar dari Ayin tapi lolos dari pengamatan?  Bahkan “tokoh” yang dicurigai menjadi dalang dalam pembunuhan masal di Timor Timur, Aceh dan Papua bisa mencalonkan diri jadi Presiden.
Badan hukum yang tidak beres, dan menyembunyikan kriminalitas besar yang mestinya segera ditangani di Negeri ini; bukannya mengusut dan membahas hal-hal yang sepele.  Moralitas badan hukum dan aparat keamanan di Indonesia-lah yang seharusnya sudah masuk dalam agenda Negara dan dibicarakan dengan seksama, bukan moralitas rakyat jelata yang sudah terlalu lama ditindas.   



Penulis:
Soe Tjen Marching: akademik & komponis, pendiri majalah Bhinneka dan pemred JurnalGandrung.

Friday, November 8, 2013

Perbedaan Pemilu USA & Indonesia


Bedanya Pemilu USA dan Indonesia

Second Secretary Political Section Kedutaan Besar Amerika Serikat Scott M Ceremuga mengakui ada perbedaan mencolok antara pemilu di Amerika Serikat dan Indonesia. Perbedaan mencolok itu adalah jumlah partai yang menjadi kontestan pemilu.

“Kalau di Amerika itu partainya cuma Merah atau Republik dan Biru atau Demokrat. Sementara di Indonesia itu beragam. Semua parpol tidak jauh berbeda soal pandangan kebijakan dan tidak ada perbedaan mendasar. Memang ada partai lain seperti Komunis, Sosialis, Buruh, dan Hijau, tetapi tak pernah terdengar gaungnya,”ungkap Scott kepada wartawan di kantor Bandung Institute Government Studies (BIGS) Jalan Saninten Kota Bandung, Senin (15/10/2012).

Scott mencontohkan beberapa waktu lalu dirinya telah menentukan hak pilihnya pada pemilu di Negara Bagian AS. Saat itu ada 4 sampai 5 partai yang mengikuti, tetapi dengan calon yang tidak dikenal.

“Ada 4 pasangan calon, tetapi yang milihnya paling nol koma sekian persen. Untuk ikut pemilu itu, partai harus bisa menunjukan syarat dukungan di negara bagian. Kalau Demokrat dan Republik bisa memenuhi. Apalagi sistem pemilu Amerika hanya satu putaran karena dari segi aturan sudah mendorong pengelompokan dalam 2 partai,” tandasnya.

PHOTO: President Barack Obama arrives on stage after winning the 2012 US presidential election, Nov. 7, 2012 in Chicago, Ill.


Berbicara soal kultur demokrasi dan pluralisme, Indonesia bisa dibilang mirip dengan AS. Negara Indonesia dan AS terdiri dari berbagai suku, ras dan agama serta sangat menjunjung tinggi demokrasi.

Tapi ada perbedaan yang sangat mencolok yaitu :
Pemilu di AS diikuti dan dipantau terus menerus oleh seluruh penduduk dunia ( termasuk penduduk Indonesia ), sedangkan Pemilu di Indonesia penduduknya sendiri seringkali TIDAK PEDULI dan bahkan banyak yang tidak tahu kapan PEMILU diadakan, di mana tempat PEMILU atau siapa calon presidennya.

1. AS: Partai yang maju dalam PEMILU hanya ada dua yang utama yang mempunyai visi berbeda (meskipun sama-sama untuk kemajuan Negara) yaitu partai Demokrat dan partai Republik, dengan satu atau dua partai yang (sangat) kecil yang tidak berpengaruh lainnya.
Indonesia: Jumlah partai yang maju dalam pemilu saja ada 30-an (tepatnya saya tidak tahu), dengan alasan demokrasi, tapi lebih pada menghambur-hamburkan uang dana kampanye.

2. AS : Pada saat PEMILU, setiap masing-masing partai mempunyai 1 calon presiden. Dan calon presiden dari kedua partai mempunyai  kualitas yang sama, karena calon presiden masing-masing partai terlebih dahulu di seleksi melalui konsesi yang melibatkan kader masing-masing partai. Dalam konsesi hanya masyarakat (rakyat) yang mendaftar dalam partai tertentu yang boleh ikut serta dalam menentukan calon presiden partai tersebut.
Indonesia: Karena banyaknya partai yang maju, meskipun hanya ada satu capres dari setiap partai, maka otomatis ada banyak capres yang maju. Kualitas capres seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan karena bukan melalui seleksi yang melibatkan rakyat, tapi lebih mengunggulkan UANG. Jadi meskipun tidak mempunyai kapasitas sebagai pemimpin yang baik, kalau mempunyai uang banyak dan dukungan dari orang2 berduit atau ormas tertentu, bisa menjadi capres. Selain itu ada proses partai “MELAMAR” individu tertentu… sehingga misi dan visi dari capres itu TIDAK JELAS, karena individu itu bisa pindah-pindah antar partai. Pemilu di Indonesia ada 2 kali yaitu:  untuk memilih partai , kemudian memilih calon presiden.

3. AS : Karena ada 2 partai maka salah satu akan menjadi partai penguasa dan partai yang lain menjadi partai oposisi.
Indonesia: Tidak jelas partai mana yang penguasa dan partai oposisi, karena di Kabinet masing-masing sudah mempunyai jatah jumlah wakil yang duduk di cabinet.

4. AS: Kesadaran berpolitik masyarakat SANGAT tinggi. Semua partai menekankan pada masyarakat (rakyat) yang mempunyai hak memilih untuk IKUT PEMILU dan tidak GOLPUT. Mereka menjelaskan keRUGIan dari Golput. Media massa pun mendorong masyarakat untuk ikut PEMILU. Setiap suara dihitung.
Indonesia: Kesadaran berpolitik masih rendah. Orang lebih suka menjadi GOLPUT dengan berbagai alasan bahkan bangga menjadi GOLPUT. Karena kalau ada yang salah, mereka merasa tidak ikut BERTANGGUNGJAWAB. Hal ini HARUS DIRUBAH!

5. AS: Sangat memperhitungkan SUARA MINORITAS. Justru akhir-akhir ini MINORITAS lah yang suaranya paling diperhitungkan sebagai penentu partai mana yang menang (ingat hanya ada 2 partai besar).
Indonesia: Hanya suara MAYORITAS yang diperhitungkan.

6. AS: Pilpres di AS yang sedang berlangsung saat ini selain menerapkan voting tradisional, juga menerapkan e-voting dimana para pemilih bisa memilih secara online calon presiden incumbent dari partai Demokrat, Barack Obama atau calon presiden dari partai Republik, Mitt Romney. Menariknya, Democracy Live, sebuah perusahaan teknologi yang bertanggung jawab dalam proses e-voting ini menyediakan aplikasi e-voting ini untuk bisa di-install para calon pemilih di tablet andalan Microsoft, yaitu Microsoft Surface. Dengan tablet ini, para pemilih bisa memilih secara online calon presiden yang mereka pilih. Sehingga hasil pemilu di AS sudah mendapat hasil dimana Obama kembali akan menjadi presiden AS untuk periode berikutnya. Obama meraih 274 suara electoral college mengalahkan Romney yang hanya meraih 201 suara electoral college. Perhitungan suara berlangsung sangat seru dan ketat, menunjukkan kedua karakter calon presiden memang kuat.
Indonesia: Indonesia yang masih menggunakan paku untuk mencoblos kertas suara. Penerapan teknologi tentunya akan mengurangi biaya dan mempercepat hasil perhitungan.

7. AS: Pada saat PEMILU, yang dipilih ada beberapa pihak: PRESIDEN, anggota KONGRES (mirip DPR) dan anggota SENATE (mirip MPR). Hasilnya pun tidak selalu sama, artinya bila presiden terpilih adalah dari partai Demokrat, belum tentu demikian dengan anggota Kongres dan Senate, bisa jadi yang memegang suara mayoritas di kedua grup itu dari partai lain (tahun ini suara terbanyak di Kongres dipegang partai Republik, sedangkan suara terbanyak di Senat dari partai Demokrat) karena wakil terpilih ditentukan oleh SETIAP Negara bagian dan kota-kota tertentu.
Indonesia: Biasanya Partai tertentu berkuasa sebagai mayoritas di semua bagian, partai-partai lainnya mempunyai wakil sendiri-sendiri di DPR dan MPR, yang suaranya bisa dibeli dengan uang.

8. AS:  Setelah penghitungan suara selesai dan pemenangnya diumumkan, secara gentleman yang kalah langsung mengaku kalah dan memberi selamat kepada pemenang, sekaligus mengajak pengikutnya untuk mendukung sang pemenang demi kemajuan bangsa dan negara.



Oleh : Rachel Utami
Copy From : FIS Media Diskusi (Facebook)

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis