Sunday, November 10, 2013

NEGARA SEKULER

Pada senja 14 Juli 1942, lelaki tirus dengan secarik kain penutup tubuh, menyusuri tanah yang kerontang berdebu. Mereka yang tak mengenalnya akan menyangka lelaki ini sebagai gembel peminta-minta. Namun, “gembel“ bernama Mahatma Gandhi ini tidak sedang meminta-minta. Dia baru saja memutuskan sesuatu yang akan mengguncangkan dunia. Bersama dengan Kongres Nasional India, ia meluncurkan dekrit yang mendesak pemerintah Inggris untuk segera keluar dari tanah itu. India akan memerintah Negaranya sendiri, dan Gandhi merencanakan suatu sistem bagi Bangsa ini, untuk menentang kolonialisme: pemerintahan sekuler.

Sekulerisme dalam Negara secara umum dikenal sebagai sistem pemerintahan yang memisahkan agama dari politik dan kenegaraan. Inilah yang menakutkan bagi beberapa orang: bila tidak ada lagi agama yang dipegang oleh penguasa, apa yang akan mengarahkan nurani mereka?

Agama adalah untuk membuat manusia lebih manusiawi, demi kebaikan, sebuah pegangan untuk moralitas manusia.

Namun, agama di tangan para pejabat telah terbukti disalahgunakan untuk semakin membohongi rakyat. Begitu pula di Indonesia. Kekerasan atas nama agama masih berlanjut. Pertempuran antar agama dibiarkan, terkadang dengan membela agama mayoritas, untuk memperoleh kepopuleran.

Pemerintah telah menggunakannya untuk ajang adu domba. Justru karena keyakinan bahwa apa saja yang menyangkut agama itu benar dan selalu baik, kebanyakan masyarakat buta. Agama bisa menjadi vitamin atau racun, tergantung dari siapa yang menyandangnya.

Dan sekali lagi, kecurigaan bahwa sekulerisme hanyalah pengaruh Barat? Mahatma Gandhi, seorang Hindu yang taat beribadah, telah mengenali muslihat agama dalam politik. Justru dengan sekulerisme, dia melawan dominasi Negara Inggris (yang dikenal sebagai “Barat” oleh kebanyakan orang).

Ia tahu, betapa mudahnya agama bisa dijadikan bulu-bulu domba bagi para serigala politik. Ucapnya: “Simpanlah agama untuk kehidupan pribadimu. . . Kita sudah cukup menderita dengan campur tangan agama atau Gereja di bawah pemerintahan Inggris. Sebuah masyarakat, yang kehidupan agamanya tergantung pada Negara, sungguhlah tidak layak mempunyai agama. . .”

Sekulerisme seringkali dihubungkan dengan ateisme dan peniadaan agama. Inilah yang seringkali membuat banyak orang di Indonesia menolak, bahkan anti terhadap kata sekulerisme, karena mereka merasa bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah mereka yang beragama. Bahkan, agama seringkali dianggap sebagai jati diri bangsa Indonesia. Tapi, apakah benar negara/pemerintahan sekuler adalah sesuatu yang bisa “mengancam“ atau “mengkontradiksi“ jati diri bangsa Indonesia? Apakah hubungan sekulerisme dan ateisme itu benar?

Seringkali istilah “negara sekuler“ ini mirip ketakutan akan kucing dalam karung. Kita tidak tahu kucing tersebut akan mencakar atau justru amat manis, tapi kita sudah ketakutan sebelum membuka karung dan melihat kucingnya. Karena itu, mari kita teliti satu-persatu, dengan mengadakan perjalanan kata, sehingga “negara sekuler“ tidak lagi membuat bulu kuduk berdiri tanpa tahu sebenarnya apa maksudnya. Mari kita buka “karung-karung“ yang menyelubungi kata ini.

Kita mulai dari definisi “sekulerisme“ dulu. Menurut pengertian umum, sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan tertentu. Perhatikan, dari definisi ini, tidak ada pesan bahwa ateisme akan dianak-emaskan atau agama akan dianak-tirikan. Sekulerisme cuma memisahkan antara agama dan negara, bukannya memaksakan atau mendorong orang agar menjadi ateis, agnostik, atau tidak beragama.

Setelah definisi “sekuler“ itu jelas, mari kita lanjutkan dengan melihat kata “negara.“ Kata negara memang sudah sangat umum, dan artinya seharusnya sudah jelas. Namun, banyak orang tak menyadari, negara/pemerintah adalah satu-satunya entitas yang bisa memenjarakan, menyita hak milik, bahkan membunuh kita secara terang-terangan dan legal. Dengan kekuatan legalitas ini, negara bisa dan berfungsi untuk “memaksa“ semua entitas lain untuk melakukan hal-hal mereka tak sukai. Contohnya, Undang-undang lingkungan hidup bisa memaksa industri untuk menjaga lingkungan, UMR bisa memaksa perusahaan membayar pegawainya dengan “layak,“ Undang-undang lalu lintas bisa memaksa semua pengendara untuk tidak menerobos lampu merah dan mengikuti jalur yang telah ditentukan.

Satu lagi hal yang sering dilupakan oleh banyak orang: negara/pemerintah itu dipenuhi oleh politikus. Apapun sistemnya, baik demokrasi, junta militer, kediktatoran proletariat, atau sistem apapun, semua yang menjadi pejabat tinggi negara, atau mau menjadi pejabat tinggi negara secara otomatis menjadi politikus.

Setelah ini, kita buka “karung penutup“ utamanya, yaitu alasan-alasan kenapa kita semua membutuhkan negara sekuler.

Alasan #1: Menjamin Keadilan dan Kerukunan Antar Agama

Mari kita hubungkan dua fakta di atas: negara memiliki kekuatan untuk memaksakan entitas-entitas lain. Kalau negara tidak sekuler, berarti negara bisa berlandaskan agama. Pertanyaan berikutnya tentu saja: agama yang mana? Ada begitu banyak agama di dunia ini dengan peraturan yang berbeda. Memberikan kekuatan legal pada salah satunya adalah bentuk ketidak-adilan yang sudah pasti akan menimbulkan gesekan sosial, kecemburuan, dan masalah-masalah lain. Jadi, pemisahan antara agama dan negara adalah syarat mutlak kerukunan antar agama, syarat mutlak persatuan Indonesia.

Alasan #2: Menjamin Kebebasan Beragama 

Satu lagi pertanyaan lanjutan selain “agama yang mana“, adalah “yakin agama X itu seperti itu?“ Bila suatu negara menjalankan sistem menurut agama tertentu, apakah sistem yang dijalankan memang betul-betul sesuai dengan agama tersebut?

Maksudnya, setiap agama memiliki banyak denominasi, banyak aliran, banyak interpretasi. Memberikan kekuatan legal pada salah satu aliran tsb berarti menyatakan bahwa aliran lain itu salah, tidak benar, sehingga tidak pantas mendapatkan kekuatan tsb. Ini adalah praktik yang amat arogan, manusia berusaha menjadi Tuhan, berusaha menentukan mana ada pesan bahwa ateisme akan dianak-emaskan atau agama akan dianak-tirikan. Sekulerisme cuma memisahkan antara agama dan negara, bukannya memaksakan atau mendorong orang agar menjadi ateis, agnostik, atau tidak beragama.

Setelah definisi “sekuler“ itu jelas, mari kita lanjutkan dengan melihat kata “negara.“ Satu lagi pertanyaan lanjutan selain “agama yang mana“, adalah “yakin agama X itu seperti itu?“ Bila suatu negara menjalankan sistem menurut agama tertentu, apakah sistem yang dijalankan memang betul-betul sesuai dengan agama tersebut?

Setiap agama memiliki banyak denominasi, banyak aliran, banyak interpretasi. Memberikan kekuatan legal pada salah satu aliran tsb berarti menyatakan bahwa aliran lain itu salah, tidak benar, sehingga tidak pantas mendapatkan kekuatan tsb. Ini adalah praktik yang amat arogan, manusia berusaha menjadi Tuhan, berusaha menentukan mana aliran yang paling benar dan memberikannya kekuatan untuk memaksakan pilihan tersebut pada orang-orang lain.

Alasan #3: Menjaga Kesucian Agama

Kita semua sudah mafhum betapa seringnya politikus memanfaatkan apapun demi mendulang popularitas. Kita juga sudah mafhum betapa seringnya para politikus berusaha membenarkan kebijakan mereka (Baca: keserakahan /kebodohan/kesalahan mereka) dengan berbagai cara. Mensekulerkan
negara berarti memisahkan agama dari tangan dan mulut para politikus, memastikan agama tidak pernah menjadi komoditas politik. Justru dengan hal ini, kita bisa lebih menjaga “kesucian“ agama.

Alasan #4: Jawaban terhadap Kekhawatiran Para Penentang Sekulerisme 

Tiga alasan di atas lebih dari cukup untuk mendukung sekulerisasi negara. Namun, para penentang sekulerisme mungkin masih khawatir sekulerisasi akan membuat orang-orang tidak mematuhi norma agama lagi.

Penulis menyampaikan ulang kekawatiran tersebut: “Saya kawatir kalau penganut-penganut beragama tidak dipaksa oleh pemerintah, mereka tidak akan melakukan perintah agamanya.“ Namun, bukankah kerohanian, keimanan, dan ketakwaan para penganut agama seharusnya datang dari hati dan lubuk terdalam, bukanlah wujud pemaksaan?

Bila negara memaksa rakyat untuk mentaati agama, hal ini hanya akan mencemari dan menihilkan fungsi agama sebagai hal yang rohaniah, yang erat hubungannya dengan penemuan diri sendiri. Ketika negara membuat berusaha mengatur dan memaksakan hal-hal yang menyangkut agama, negara sebenarnya juga sudah meremehkan kemampuan agama untuk membimbing umatnya. Karena itu, sekulerisasi negara sebenarnya tidak mencemari agama, tapi bisa diarahkan demi kebebasan beragama dan demi kesucian agama juga.

-------------------------------------------------------------






Oleh : Soe Tjen Marching
Copy From : Aliansi Sekular Indonesia (Facebook)

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis