Thursday, December 12, 2013

Mengkritisi G30S (bagi mereka yang masih ngotot)

(Versi yang lebih pendek telah dimuat di Koran Tempo, 11.12.13)

Setelah saya membuat dan menyebarkan petisi “Sarwo Edhie bukan Pahlawan” di change.org, pembahasan tentang G30S bergulir lagi. Film Joshua Oppenheimer jelas menyajikan bagaimana para jagal telah membabat nyawa manusia-manusia tak bersalah. Begitu juga akademik seperti John Roosa dan Benedict Anderson, menyatakan bagaimana sejarah pembunuhan massal yang begitu kejam itu,telah dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi sejarah kepahlawanan Suharto. Baru-baru ini, sejarawan Asvi Adam juga memaparkan tentang trik-trik keji Sarwo Edhie dalam penumpasan mereka yang di PKI-kan.
Tapi, setelah semua usaha pengungkapan sejarah ini, tetap saja adayang bertanya: “Lalu versi siapa yang mesti kita percaya?”. Ada juga yang masihngotot setelah nobar film “Jagal”: “Itu kan cuma versinya Joshua Oppenheimer.Masih banyak versi lain yang membuktikan kekejaman PKI dan pembunuhan ’65 ituharus dilaksanakan demi menyelamatkan bangsa.” Dengan orang-orang yang ngotot tanpa mau meneliti ataupun membaca lebih lanjut, saya sodorkan argumen berikut: yang terdiri dari 5 bagian (biar mirip Pancasila).  




Pertama: Jika memang komunis seluruh Indonesia yang melakukan pembunuhan para Jendral, apa buktinya? Bukti utama yang ditampilkan olehSuharto dan pasukannya, adalah mayat para jenderal (yang dipertontonkan fotonyadi televise dan di koran-koran). Tetapi mayat adalah bukti bahwa orang  tersebut sudah mati, bukan bukti PKImelakukan pembunuhan. Hal ini seperti mengatakan bahwa rumah saya dibakar oleh warga desa A. Buktinya? Rumah saya rata dengan tanah dan telah menjadi abu. Lalu, apa bukti bahwa penduduk desa A membakarnya? Hanya abu rumah saya! Jika saya mengatakan demikian, banyak orang akan mudah berpikir bahwa saya gila, tapi mengapa tidak dengan Gestapu?

Kedua: Bagaimana mereka bisa sampai pada kesimpulan bahwa para komunis-lah yang melakukan pembunuhan para Jenderal, dengan begitu cepat? Kejadian30 September banyak dikenal sebagai saat di mana 6 Jenderal dibunuh oleh komunis (meskipun sebenarnya kejadian itu terjadi pada 1 Oktober, karena telahmelewati tengah malam). Versi sejarah Suharto adalah, para Jenderal disiksa dandimutilasi sebelum dibunuh. Juga tersebar berita bahwa perempuan Gerwani menari telanjang di sekitar jenderal saat menyilet-nyilet mereka. Kemudian, SimSalabim Abrakadabra . . . Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober: Suharto berhasil menemukan biang keladinya dan menegakkan Pancasila, dengan komandan Sarwo Edhie, yang sekarang sudah dinobatkan jadi Pahlawan oleh menantunya sendiri.

Bahkan pembunuhan terhadap satu orang, Munir, memakan waktu investigasi bertahun-tahun, masih saja belum terselesaikan. Tetapi pembunuhan enam orang memakan waktu hanya beberapa hari bahkan beberapa jam saja, untuk menyelidiki. Mengapa keputusan untuk membinasakan para komunis datang begitu tiba-tiba, bahkan terburu-buru? Segera setelah pemakaman para jenderal pada tanggal 5Oktober 1965, kampanye yang menuduh PKI sebagai dalang pembunuhan para Jenderal itu, menyebar luas di seluruh Indonesia. Tidakkah kita berpikir bahwa hal ini pastibukan keputusan hati-hati atau bijaksana, tapi soal peluang bagi sebagian orangyang memiliki keinginan untuk melakukan genosida?

Ketiga: mungkin sudah waktunya kita mengalah dengan Suharto dan Sarwo Edhie. Kita anggap saja mereka berdua sesakti Batman. Tanpa proses pengadilan atau penyidikan yang ruwet pun, mereka langsung tahu siapa yang jahat. OK, Suharto benar: pembunuhan para Jenderal itu dilakukan oleh komunis. Berapa banyak dari mereka melakukannya? Para anggota PKI dan komunis di seluruh Indonesia? Sekitar 1-3 jutaan dibunuh, jutaan lainnya dipenjara tanpa pengadilan. Apakah jutaan dan jutaan orang-orang ini semua mengambil bagian dalam pembunuhan para jenderal? Apakah mereka menangkap pembunuh sebenarnya dari para jenderal? Atau pembunuhan itu adalah dalih belaka,skenario untuk memberi mereka alasan untuk melakukan genosida? Jika memanganggota PKI membunuh para Jenderal, mengapa tidak mencari pembunuh ini, dibawake pengadilan dan dihukum selayaknya? Namun, tidak! Mereka malah sibuk membunuh jutaan orang, yang banyak di antaranya tidak tahu tentang komunis.  

Keempat: Pembunuhan para jenderal berlangsung di Jakarta. Tapi mengapa pasukan harus pergi mengembara ke seluruh Indonesia, bahkan sampai kedesa-desa kecil untuk memusnahkan mereka yang dikomuniskan? Banyak dari korbanadalah petani, seniman tradisional dan buruh yang belum pernah ke Jakarta atau aktif terlibat dalam politik!

Kelima: Jika komunis memang agresif dan sadis, mengapa pemberantasanmereka cukup cepat dan efisien? Jika orang-orang komunis memang licik dan sedang mempersiapkan sebuah kudeta ambisius, seperti yang digambarkan oleh Orde Baru, mengapa mereka tidak bersenjata? Mengapa tidak ada perlawanan balik darimereka? Jika orang-orang komunis memang kejam, mestinya yang terjadi bukanpemberantasan yang singkat, tetapi perang besar! Kebanyakan dari mereka tidak bersenjata, tidak siap atas serangan itu.

Dan bila yang dikudeta adalah Sukarno, mengapa nasib Sukarno hampir sama dengan PKI – digulingkan dan diasingkan? Bahkan beberapa anggota keluargaSukarno menguak bahwa Sukarno tidak mendapat perawatan ketika sakit. Ini ternyata jadi argumen nomer enam.

Apakah Anda masih berpikir bahwa genosida jutaan jiwa pada 1965-67dapat dibenarkan? Jika seseorang dirampok dan orang ini dengan cepat menuduh sekelompok manusia, kemudian meminta mereka untuk dihukum seberat-beratnya, Anda akan bertanya-tanya motif di balik tindakan ini. Terutama ketika orang ini masih belum puas, dan menstigma anak dan cucu dari kelompok manusia yang telah dituduh sebagai perampok dan telah dihukum berat itu. Jika ini adalah tentang salah satu pembunuhan massal terbesar dalam sejarah, mengapa kita tidak bisa berpikir serupa? (Sekarang, jadi nomer tujuh).  

Karena itulah, lebih baik saya tutup argumen ini dengan pertanyaan: Masihkah Anda mendukung Sarwo Edhie sebagai pahlawan? 




Oleh : Soe Tjen Marching

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis