Sunday, November 10, 2013

Hukum

Negara kita adalah Negara hukum.  Kalau perlu, sperma dan telur di tubuh kita harus dicekoki hafalan seperti itu, supaya bisa mengatur tingkah seksualitas si empunya.  Karena itu pula, muncullah Undang-undang anti pornografi. 
            Rupanya hal ini tidak cukup. Baru-baru ini, beberapa buku juga kena lindas hukum dan dilarang.  Alasannya adalah menjaga ketertiban umum, karena buku-buku yang dilarang tersebut akan memicu keresahan masyarakat.  Inilah tindakan dari Pemerintah, yang katanya peduli pada rakyat.
Lalu, bayangkan sebuah tempat tanpa hukum dan tanpa pemerintahan.  Berabad-abad yang lalu, Hobbes pernah menyatakan bagaimana manusia akan saling mencakar dan merajah milik orang lain - Homo Homini Lupus.  Tanah itu akan berubah menjadi neraka yang penuh peperangan, karena Hobbes yakin akan keserakahan manusia sehingga mereka memerlukan pemerintah otoriter dengan hukum yang kejam, yang tugasnya adalah mengatur para mahluk “biadab” ini.  Argumen yang dirangkum dalam bukunya Leviathan,dipublikasi pada tahun 1651.
Pada masa itu juga, perempuan-perempuan tak berdosa berakhir di bara api, karena tuduhan sebagai tukang tenung.  Hukuman yang sadis diterapkan pada siapa saja yang dicurigai telah mengkhianati Negara.  Dalam waktu enam hari di tahun 1660, sembilan orang yang dituduh pengkhianat mengalami hukuman ini: diseret di muka umum untuk diludahi, digantung sampai hanya setengah mati, supaya mereka masih dapat merasa kesakitan saat tubuhnya dibelah menjadi empat. 

            Tapi, kekejaman seperti ini tidak membuat manusia lebih teratur ataupun lebih patuh kepada hukum.  Yang ada justru manusia-manusia yang marah pada tekanan yang tidak saja sadis, tapi juga terkadang salah sasaran. 
Argumen Hobbes ditumbangkan oleh John Locke pada akhir tahun 1670, dan beratus bahkan beribu kritik lainnya.  Tapi pada era millennium ini, ternyata ide serupa masih diterapkan dalam Negara kita.  Para pejabat begitu ribetnya dengan moralitas bangsa, sehingga harus ada Undang-undang yang mengatur urusan pribadi seperti seksualitas, dan pelarangan buku dengan alasan bertentangan dengan moral dan agama.  Alasan yang memperlakukan rakyat Indonesia seolah anak kecil yang rapuh, yang harus dibatasi.
             Dan memang, bukankah Orde Baru telah menanamkan kesan bahwa rakyat adalah manusia yang tak dewasa, yang perlu “petunjuk” dari para penguasa. Dialah yang menjadi “Bapak” dari anak-anak yang seringkali tidak disiplin dan tidak mampu menentukan yang baik untuk diri mereka: berapa kali kita dengar mantra “menurut petunjuk Bapak Presiden”?  
             Karena itulah, sensor yang ketat juga disertai dengan maraknya klompen capir-klompen capir serta Penataran P4 yang gencar memberi petuah pada rakyat. Kata pemudayang mempunyai konotasi revolusioner dan penyulut semangat bangsa pada masa Sukarno, menjadi melempem di masa Suharto. Istilah ABG (Anak Baru Gedhe) menjadi populer sehingga mereka dipandang sebagai manusia liar, tak terkontrol dan perlu senantiasa diawasi. Hal inilah yang bisa membenarkan adanya segala sensor ketat di masa itu, dan terulang pada jaman ini.
Apakah begitu bejat dan bodohnya rakyat Indonesia?  Apakah mereka tidak becus menjaga moral, agama dan kepercayaan mereka dan menyelesaikan masalah sendiri, sehingga hal-hal seperti ini harus diatur Negara? 
Yang saya saksikan justru sebaliknya.  Anak-anak kecil di kampung yang bertengkar dapat menyelesaikan sendiri pertengkaran mereka tanpa memanggil orang dewasa.  Banyak orang yang mengalami tabrakan di jalan, seringkali bersembunyi dari polisi karena mereka lebih suka menuntaskan sendiri, daripada harus “diricuhi” oleh polisi. 
Ketika polisi lalu lintas sudah tidak begitu berfungsi, pak Ogah (polisi cepek) turun ke jalan.  Dan mereka justru lebih disukai daripada polisi “sungguhan”, karena mereka mengatur lalu lintas tanpa mencari-cari kesalahan pengendara mobil.  Ternyata para polisilah yang lebih ogah dari pak Ogah.
            Ketika Prita menjadi korban hukum di Indonesia, rakyatlah yang kemudian mengambil inisiatif dengan mengumpulkan koin.  Rakyatlah yang membenahi badan hukum, bukan sebaliknya.  Rakyatlah yang mengorbankan waktu, tenaga dan merogoh kocek; padahal badan hukumlah yang sudah dibayar dan diberi mandat untuk membela hak rakyat. 

         Dan belum lama ini (tepatnya tanggal 20-23 Januari 2010), diadakan rapat kerja mengatasi polusi kebisingan, yang diprakarsai oleh Slamet Abdul Sjukur.  Karena mereka yang ikut serta dalam rapat begitu sadar bahwa fungsi telinga tidak hanya mendengar, tapi lebih jauh dari itu, ia adalah penjaga keseimbangan, pengatur suhu badan, dan pemasok energi yang dibutuhkan otak.  Dalam rapat ini juga, dibentuklah masyarakat Bebas-Bising.  Hal yang diusahakan demi rakyat banyak, dilakukan juga oleh rakyat sendiri, bukan oleh pemerintah yang sudah ditugasi.  Jangan harap ada satu klompen capir-pun yang mau memikirkan hal ini.   
         Memang, masyarakat yang dewasa sudah tidak lagi memerlukan pemerintah atau badan hukum.  Bila ada perselisihan, mereka akan mampu menyelesaikan sendiri daripada harus ke pengadilan yang tidak saja mahal namun juga berbelit-belit dan amburadul. Tapi bukan berarti semua dapat diselesaikan sendiri dan badan hukum tidak diperlukan. 
Karena dalam kompromi masyarakat, seringkali pihak yang kuatlah yang menang.
          Dan saat inilah, badan hukum harus turun tangan. Saat ada kekuatan yang tidak seimbang.  Bila kompromi tidak lagi dapat dianggap adil.  Karena itulah, fungsi hukum seharusnya bukanlah memberi kuasa atau hak berlebih pada pihak tertentu, namun untuk melindungi semua warga negara, dan bila perlu, berpihak pada yang lemah. Sebab dalam kompromi, biasanya pihak minoritas dan dianggap lemah-lah yang paling dirugikan.          

            Namun di Indonesia, hukum masih berfungsi sebagai mata-mata yang mengawasi kelengahan dan kesalahan rakyatnya.  Premanisasi dan teror dari beberapa kelompok tidak ditangani namun dibiarkan begitu saja. Ia menjadi momok, bukan pembawa rasa tenteram.  Ia  masih menganggap rakyat Indonesia bisa dibodohi dengan alasan yang kekanakan, bila sensor menyensor berlangsung.
            Yang mungkin bisa menghibur kita adalah hukum yang membabi buta tidak hanya terjadi di Indonesia.  Paul Craig Roberts, mantan asisten sekretaris di departemen Keuangan Pemerintah Amerika, telah mengecam hukum di beberapa kota besar (seperti Atlanta) di Negaranya.  Karena peraturan yang serba ketat dan terlalu mencampuri urusan pribadi orang, menyebabkan kriminalitas yang lebih serius meraja-lela dan lepas dari pengawasan.
            Bukankah ini juga terjadi di Indonesia?  Perempuan yang bekerja tengah malam ditangkap dan dituduh pelacur (Lilis di Tangerang hanya satu dari beribu contoh). Sedangkan kriminal berduit seperti Ayin bisa mendapat fasilitas hotel bintang lima.  Kasus Ayin memang menggemparkan, tapi yang jauh lebih parah dari itu dan lolos dari pengamatan masih banyak.
            Berapa banyak para pejabat yang mengeruk duit rakyat dan sama sekali tidak tersentuh hukum?  Berapa banyak yang melakukan kejahatan 100 kali lebih besar dari Ayin tapi lolos dari pengamatan?  Bahkan “tokoh” yang dicurigai menjadi dalang dalam pembunuhan masal di Timor Timur, Aceh dan Papua bisa mencalonkan diri jadi Presiden.
Badan hukum yang tidak beres, dan menyembunyikan kriminalitas besar yang mestinya segera ditangani di Negeri ini; bukannya mengusut dan membahas hal-hal yang sepele.  Moralitas badan hukum dan aparat keamanan di Indonesia-lah yang seharusnya sudah masuk dalam agenda Negara dan dibicarakan dengan seksama, bukan moralitas rakyat jelata yang sudah terlalu lama ditindas.   



Penulis:
Soe Tjen Marching: akademik & komponis, pendiri majalah Bhinneka dan pemred JurnalGandrung.

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis