Secara umum kita mendeskripsikan bahwa santet itu adalah salah satu kegiatan
dunia “hitam” yang bersifat sihir-menyihir (magic).
Fenomena santet (sihir-menyihir) ini dulunya pernah menjadi suatu
pergejolakan di Eropa yakni pada zaman pertengahan yang dulunya disebut juga
sebagai zaman kegelapan (The Dark Ages).
Adanya keberadaan sihir tersebut menjadi masalah sosial terhadap
masyarakat Eropa pada masa The Dark Ages tersebut. Namun memasuki abad ke-15
dan 16, bangsa Eropa mulai meninggalkan masa-masa zaman kegelapan (The Dark
Ages) disusul dengan munculnya zaman Renaisans (dalam bahasa Perancis
“Renaissance”). Pada zaman ini kepercayaan terhadap magic (sihir-menyihir)
mulai ditinggalkan yakni dengan memunculkan peradaban baru bagi masyarakat Eropa
kala itu. Lambat laun kepercayaan terhadap hal-hal mistik mulai ditinggalkan
dengan menciptakan inovasi-inovasi berupa kegiatan-kegiatan yang rasional dan
hal-hal yang menunjang terhadap kemajuan peradaban Eropa baik dalam bidang industry,
sains, dn teknologi.
Dimulai dari zaman renaisans kita dapat melihat perkembangan Eropa
hingga pada saat ini, mulai dari perkembangan Teknologi, Sains, dan Ekonomi di
tengah-tengah masyarakat. Saat ini kita sudah jarang menjumpai kehidupan
primitive maupun kepercayaan terhadap sihir di Eropa. Hal tersebut sangat
jarang dijumpai disetiap Negara-negara eropa pada umumnya.
Sementara, bagaimana dengan Indonesia?
Terakhir DPR sedang giat-giatnya dalam
menyusun RUU yang berkaitan dengan keberadaan santet.
RUU tersebut berisikan antara lain :
Ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang
yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan
harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau
fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak kategori IV. Ayat berikutnya menyebutkan jika pelaku tindak
pidana tadi melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau
menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah
sepertiga .
Hemat saya, keberadaan RUU KUHP santet
ini ibaratkan cermin terhadap citra DPR
termasuk gambaran terhadap pergejolakan masyarakat Indonesia yang ada pada saat
ini. kita dapat menjadikan hal tersebut sebagai pembanding bahwa pola piker masyarakat
di Indonesia masih berada pada tahap keprimitifan. Masih banyak masyarakat yang
terhanyut dalam kehidupan-kehidupan baik itu bersifat mistik maupun mitologi.
Kembali kepada RUU Santet.
Rancangan Undang-Undang Santet tersebut menunjukkan bahwa fenomena
santet masih sangat dipercayai keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. tingginya
antusias masyarakat terhadap isyu mengenai santet tersebut menjadi landasan
bahwa pola pikir dominan masyarakat Indonesia masihlah primitif, sementara santet
pada umumnya bersifat fenomenal (belum dapat dibuktikan keberadaannya secara
ilmiah).
Letak poin permasalahannya yaitu, apakah hal tersebut (Santet)
adalah sebuah isyu yang memang penting hingga direalisasikan sebagai UU?
Disaat DPR masih disibukkan oleh hal-hal yang fenomenal (santet), justru
disitulah letak kurangnya efisiensi DPR dalam memenuhi tuntutan kinerjanya. Harusnya
DPR tidak disibukkan dengan hal-hal yang bersifat fenomenal dan sepihak.
Sebagai Negara yang menjunjung peradaban, harusnya
kita mulai berkontribusi terhadap kegiatan-kegiatan yang fungsional demi
menunjang kemajuan SDM di Indonesia. Masyarakat sudah seharusnya mulai berpikir
kritis dan rasional sehingga dapat menciptakan hal-hal yang bersifat inovatif
agar kedepannya Indonesia dapat dipandang dikalangan negara lain yakni sebagai
negara yang maju, negara yang mempunyai sumber daya teknologi tinggi.
Kita harusnya dapat mengambil gambaran
dari Eropa pada zaman renaissance, disaat Eropa mulai meninggalkan zaman
kegelapan dan mulai beralih terhadap hal-hal yang dapat memunculkan
peradaban-peradaban baru.
Oleh : Jery Tampubolon