Saturday, July 18, 2015

Penjelasan Science Mengenai Homoseksualitas

APA KATA SAINS tentang HOMOSEKSUALITAS?



Teman-teman, 
Berikut ini, setelah mengembara ke sana ke sini di dunia Internet, saya sajikan apa yang saya telah temukan tentang berapa jauh sains sudah berhasil memahami orientasi seksual (OS) manusia, apakah homoseksual, ataukah heteroseksual, biseksual, dan lain-lain. Adakah hubungan biologi (genetik, neural, hormonal, dll) dengan OS seseorang?

Neurosaintis Simon LeVay di tahun 1991 menemukan bahwa suatu bagian di dalam hypothalamus otak manusia yang berhubungan dengan seksualitas, yang berupa sekumpulan sel-sel saraf yang berukuran sebesar sebutir padi, yang dikenal sebagai INAH3, ternyata lebih kecil dalam diri kalangan gay dan lesbi dibandingkan dalam diri kalangan heteroseksual. Tidak ada perbedaan ukuran INAH3 pada pria gay dan perempuan lesbi. Selain itu, LeVay juga menemukan bahwa otak gay bukan saja tampak berbeda dari otak heteroseksual, tapi juga berfungsi berbeda. LeVay juga menemukan bahwa pembawaan-pembawaan psikologis yang berbeda pada gay biasanya begitu rupa sehingga gay dapat bergeser ke OS lain jika dibandingkan dengan individu-individu heteroseksual dari jenis mereka sendiri. Tulis LeVay, sukar untuk menjelaskan pergeseran ini ini hanya sebagai akibat dari kondisi sebagai gay saja. Sangat mungkin pergerseran OS kalangan gay ini menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dalam perkembangan seksual dini dalam otak, perbedaan-perbedaan yang berpengaruh pada satu "paket" pembawaan-pembawaan psikologis gender, termasuk OS. Dari fakta-fakta neural ini LeVay menyimpulkan bahwa ada proses-proses biologis yang terlibat dalam perkembangan otak yang berpengaruh pada orientasi seksual seseorang. Di tahun 2011, LeVay menerbitkan bukunya yang sangat penting untuk anda baca dan pahami, berjudul Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2011). /1/ Buku ini menyajikan kembali penelitian-penelitian LeVay sebelumnya, dan diperluas dengan banyak info tentang kajian-kajian seksualitas mutakhir.

Di tahun berikutnya, 1992, tim peneliti dari UCLA menemukan suatu bagian lain dalam otak yang berhubungan dengan seksualitas (yakni “midsagittal plane of the anterior commissure”), yang ukurannya 18% lebih besar pada diri kalangan gay dibandingkan kalangan perempuan heteroseksual dan 34% lebih besar dibandingkan kalangan pria heteroseksual. Perbedaan-perbedaan anatomis ini, yang berhubungan dengan gender dan OS, sebagian melandasi perbedaan-perbedaan dalam fungsi kognitif dan lateralisasi serebral di antara kalangan gay, pria heteroseksual dan perempuan heteroseksual./2/

Di tahun 1993, suatu kajian yang tidak terlalu besar (terdiri atas 38 pasangan gay bersaudara) yang dilakukan Dean Hamer menemukan adanya suatu hubungan OS dengan suatu bagian kromosom X yang dinamakan Xq28, yang dapat membentuk kecondongan OS seseorang ke homoseksualitas. Tetapi pencarian “gen gay” masih terus berlangsung. Suatu kajian yang jauh lebih besar (mencakup 409 pasangan gay bersaudara) yang dilakukan tahun 2004 oleh psikolog J. Michael Bailey dan psikiatris Alan R. Sanders tiba pada kesimpulan yang sama: ada hubungan antara Xq28 dan suatu bagian dari kromosom 8.”/3/ Di lain pihak, teknik menemukan “hubungan genetik” antara gen dan homoseksualitas kini mulai beralih ke pendekatan yang lebih luas, yang dinamakan “Asosiasi Luas Genom”, atau “Genome-Wide Association” (atau GWA) untuk menemukan “gen spesifik” yang berhubungan dengan homoseksualitas dalam suatu populasi.

Kondisi lingkungan dalam rahim juga dipikirkan berperan penting dalam membentuk OS, sebab sebagian faktor yang menentukan perkembangan suatu janin adalah peringkat dan campuran hormon-hormon yang melingkungi setiap janin selama masa kehamilan. Di tahun 2006, psikolog Anthony Bogaert dari Universitas Brock di Kanada menyelidiki fenomena yang tidak pernah dapat dijelaskan, yakni fenomena urutan kelahiran yang kelihatannya ikut membentuk seksualitas: pria gay cenderung memiliki lebih banyak kakak lelaki ketimbang pria heteroseksual. Dengan menggunakan sejumlah 944 pria homoseksual dan heteroseksual sebagai sampel, Bogaert menemukan fakta-fakta ini: seorang anak sulung pria memiliki 3% peluang untuk menjadi gay, dan persentase ini naik 1% untuk setiap anak lelaki berikutnya sampai menjadi dua kali lipat (yakni 6%) pada anak lelaki keempat.

Mungkin sekali keadaan yang dibentuk oleh urutan kelahiran ini melibatkan juga sistem kekebalan tubuh sang ibu. Setiap bayi, lelaki atau perempuan, mula-mula diperlakukan sebagai sosok penyerbu yang masuk ke dalam tubuh sang ibu. Beranekaragam mekanisme bekerja otomatis untuk mencegah sistem tubuhnya menolak si janin dalam kandungannya. Bayi-bayi lelaki, dengan protein-protein lelaki mereka, dipersepsi sedikit lebih asing ketimbang bayi-bayi perempuan; akibatnya, tubuh sang ibu memproduksi lebih banyak antibodi khusus gender untuk melawan bayi-bayi lelaki itu. Setelah melewati banyak kali kelahiran bayi-bayi lelaki, rahim sang ibu menjadi lebih “terfeminisasi”, dan kondisi ini dapat membentuk seksualitas./4/

Selain itu, panjang jari juga menunjukkan seksualitas manusia dibentuk oleh biologi. Telunjuk para pria heteroseksual kentara lebih pendek dibandingkan jari tengah mereka. Jari telunjuk dan jari tengah perempuan heteroseksual nyaris sama panjang. Jari seorang lesbian seringkali sama panjang dengan jari lelaki heteroseksual. Keadaan-keadaan ini telah lama secara informal diamati, tetapi suatu kajian yang dilakukan tahun 2000 di Universitas of California, Berkeley, tampak membenarkan pengamatan ini.

Kalangan lesbian juga tampak memiliki perbedaan-perbedaan pada bagian dalam telinga mereka, di tempat-tempat yang sebenarnya tidak dimungkinkan. Dalam diri semua orang, suara bukan hanya masuk tetapi juga meninggalkan telinga dalam bentuk yang dikenal sebagai emisi otoakustik, yakni getaran-getaran yang muncul dari interaksi kokhlea dan tambur telinga, dan getaran-getaran ini dapat dideteksi oleh instrumen-instrumen. Perempuan heteroseksual cenderung memiliki frekuensi emisi otoakustik yang lebih tinggi dibandingkan lelaki heteroseksual, tetapi para lesbian tidak.

Kajian-kajian lain telah mengeksplorasi adanya suatu hubungan antara homoseksualitas dan kebiasaan bertangan kidal dan juga gelungan rambut. Pria gay lebih mungkin kidal atau memakai kedua belah tangannya. Diusulkan ada tiga faktor yang mungkin menghubungkan orentasi seksual dengan kidal atau bukan-kidal, yakni: lateralitas serebral dan hormon-hormon seks yang mempengaruhi janin-janin; reaksi-reaksi imunologis sang ibu terhadap janin-janin; ketidakstabilan perkembangan janin-janin. Penelitian kebiasaan bertangan kidal atau tidak, dan hubungan kondisi ini dengan homoseksualitas, telah dilakukan oleh suatu tim yang menggunakan metaanalisis terhadap 20 studi yang membandingkan peringkat kidal pada 6.987 homoseksual (6.182 gay, dan 805 lesbi) dan 16.423 heteroseksual (14.808 pria dan 1.615 wanita)./5/

Selain itu, ditemukan bahwa rambut pada bagian mahkota kepala pria gay cenderung tumbuh berlawanan arah dengan gerak jarum jam. Tetapi belum ada kesepakatan bulat mengenai pengaruh hal ini pada seksualitas./6/

Jelas, genetika atau biologi adalah faktor kuat dalam memunculkan OS manusia, termasuk manusia homoseksual. Ini fakta yang tidak boleh disangkal atas nama doktrin agama atau ideologi apapun. Jika sesuatu itu genetik atau biologis, itu artinya jika seseorang menjadi homoseksual, kondisi OS-nya ini berada di luar kekuasaannya untuk menolaknya, sama seperti seseorang tidak bisa menolak apakah akan dilahirkan sebagai lelaki ataukah sebagai perempuan. Dalam bahasa keagamaan--tentunya para agamawan yang kebanyakan membenci LGBT bisa memahami--kita katakan bahwa seseorang menjadi homoseksual adalah karena takdir ilahi, yang dia tidak bisa tolak atau lawan sejak sebagai janin. Dus, membenci LGBT pasti di luar kehendak sang Pencipta yang mahabesar, al-Rahman dan al-Rahim.

Tetapi, tentu saja, genetika atau biologi bukan segala-galanya yang membentuk jatidiri seksual anda. Semua aspek kehidupan kita tidak hanya genetis atau biologis (nature), tetapi juga dibentuk oleh pendidikan dan pengasuhan (nurture), lingkungan sosial kita hidup sehari-hari (social life environment), kebudayaan, kondisi ekologis, gaya hidup, dan tentu saja teknologi. Kemauan gen tidak otomatis akan menjadi terwujud. Semua faktor ini berinteraksi, ada yang berpengaruh sangat kuat dan ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang lemah. Kelly Servick dengan tepat menyatakan bahwa “Setiap kecondongan pembawaan genetik mungkin sekali berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan kehidupan yang mempengaruhi perkembangan suatu orientasi seksual.”/7/

Karena itu, saya memandang, seksualitas manusia juga dinamis, bukan sesuatu yang sudah jadi dan final begitu dilahirkan hingga ajal, sama halnya dengan segi-segi lain dari diri kita, misalnya kecerdasan dan kearifan, kematangan emosional, serta bentuk tubuh dan perawakan. Oleh teknologi, tubuh dan perawakan serta penampilan kita (mau sexy, jantan, atau biasa-biasa saja) dapat dibentuk. Begitu juga gen-gen kita sekarang sudah dapat direkayasa, di-edit, dimodifikasi, untuk menghasilkan spesies homo sapiens yang berpenampilan lain, makin cerdas dan makin kuat, lewat teknik mutakhir yang dinamakan DNA-editing (Crispr-Cas9). Dalam dunia dan jaga raya ini, segalanya mengalir, impermanen, berubah. Tanpa perubahan, sesuatu akan mati. Perubahan di era modern ini ibarat sebuah kereta listrik magnetik cepat yang sedang melesat ke depan. Jika anda melawan dan mau menghentikan perubahan, anda akan digilas lumat habis oleh kereta ini. Menghadapi perubahan, yang diperlukan dari anda adalah keterbukaan, sikap pro-aktif dan kritis.

Saya kutipkan kesimpulan Simon LeVay tentang orientasi seksual. Tulisnya, "Orientasi seksual adalah suatu aspek yang cukup stabil dari kodrat manusia, dan bahwa kalangan heteroseksual, gay dan biseksual telah ada di semua kebudayaan. Hal ini menyarankan bahwa faktor-faktor biologis yang umum terdapat di seluruh umat manusia dapat bertanggungjawab bagi kemunculan individu-individu yang memiliki OS berbeda-beda. Namun kita perlu juga berpikir berbeda tentang OS dalam diri pria dan wanita, dan bahwa faktor-faktor kultural juga berpengaruh besar pada bagaimana homoseksualitas diekspresikan dalam masyarakat-masyarakat yang berlainan dan di sepanjang sejarah manusia. Dengan kata lain, penjelasan-penjelasan berbasis ide-ide biologis tentang OS manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan juga, tidak seperti yang kita harapkan."/8/

Saya juga mau ingatkan bahwa dalam bab terakhir bukunya, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation, LeVay mengusulkan segi-segi lain dari seksualitas manusia, khususnya OS homoseksual, yang perlu diteliti dalam kajian-kajian mendatang. Ini adalah sebuah sikap ilmiah tulen, sikap yang tidak melihat temuan-temuan ilmiah sendiri apapun sudah final, yang tidak menyisakan segi-segi lain yang harus diteliti lebih lanjut. Tidak ada sains yang sudah final. Sains selalu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, yang bisa menfalsifikasi temuan-temuan sebelumnya atau malah memperkuat. Sejauh ini, LeVay menemukan semua temuan kajian OS homoseksual sebelumnya valid, terverifikasi. Meskipun demikian, sebagai sains, kajian-kajian tentang homoseksualitas tidak akan berhenti, kapanpun juga.

Sikap dan posisi para saintis sangat berbeda dari sikap para agamawan dan hakikat agama. Agama dan para agamawan memandang semua pengetahuan kuno manusia di era pra-modern dan pra-ilmiah tentang seksualitas, yang masuk ke dalam kitab-kitab suci zaman kuno, sudah final dan benar mutlak. Ketika mereka diminta untuk memberi bukti-bukti atas klaim mutlak-mutlakan mereka ini, mereka selalu mengelak dengan menjawab, “Wah, itu semua wahyu Allah yang pasti tidak bisa salah.” Betulkah? Ya, betul, sejauh hanya sebagai asumsi-asumsi belaka tanpa pembuktian empiris klinis apapun.

Jakarta, 17-7-2015

Salam,
ioanes rakhmat

P.S. Silakan share seluas-luasnya tanpa perlu minta izin lebih dulu. Ilmu pengetahuan itu milik dunia. Jika ada teman-teman yang kebetulan menjumpai kajian-kajian mutakhir lainnya tentang OS, saya meminta link-linknya diberikan ke saya untuk saya tambahkan pada daftar di atas. Thanks.

Rujukan-rujukan:

/1/ Lihat lebih jauh kajian-kajian luas tentang seksualitas manusia dalam buku Simon LeVay yang berjudul Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2011).

/2/ Laura S. Allen dan Roger A. Gorski, “Sexual Orientation and the Size of the Anterior Commissure in the Human Brain”, The Proceedings of the National Academy of Science, USA, Vol. 89, August 1992, hlm. 7199-7202, pada https://timedotcom.files.wordpress.com/2015/03/7199.full.pdf.

/3/ Lihat kolom Kelly Servick, “Study of gay brothers may confirm X chromosome link to homosexuality”, Science, 17 November 2014, pada http://news.sciencemag.org/…/study-gay-brothers-may-confirm…. Untuk makalah ilmiah kajian ini, lihat J.M. Bailey, Alan R. Sanders, E.R. Martin, et al., “Genome-Wide Scan Demonstrates Significant Linkage for Male Sexual Orientation”, Psychological Medicine, Vol. 45, Issue 07, May 2015, hlm. 1379-1388, pada http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract….

/4/ Lihat bab 10 buku Levay, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2011).

/5/ Lihat Lalumière ML, Blanchard R, Zucker KJ, “Sexual orientation and handedness in men and women: A meta-analysis”, NCBI. Psychological Bulletin, July 2000, No. 126 (4), hlm. 575-592, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10900997.

/6/ Lihat Rahman Q, Clarke K, Morera T, “Hair whorl direction and sexual orientation in human males”, NCBI. Behavioral Neuroscience, April 2009, No. 123 (2), hlm. 252-258, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19331448.

/7/ Kelly Servick, “Study of gay brothers may confirm X chromosome link to homosexuality”, Science, 17 November 2014, pada http://news.sciencemag.org/…/study-gay-brothers-may-confirm….

/8/ LeVay, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation, hlm. xii.

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis