Empat penari
meliuk-liukkan badannya dengn gemulai dan luwes di atas panggung
mengikuti irama lagu yang ceria. Dengan senyum yang tak henti menghiasi
wajah-wajah manis keempat penari tersebut, tubuh mereka terus bergerak
kesana kemari dengan lincahnya. Sehabis mereka menari penonton pun
langsung memberikan tepukan meriah yang diiringi dengan yel-yel menggoda
para penari.
“Cantik-cantik banget ya”, celetuk salah seorang penonton, “siapa yang dapat menyangka kalau mereka adalah waria?” lanjutnya.
“Iya ya. Cewek asli saja sampai kalah cantik,” kata yang lain
mengomentari. Wah, sama sekali tidak terlintas sedikitpun di pikiranku
kalau ternyata keempat penari tersebut adalah waria. Takjub dan kagum
memenuhi benakku.
Komunitas waria, setuju atau tidak mereka ada
diantara kita. Era tahun 70an hingga 90an waria hanya bisa kita lihat
di jalanan sebagai pekerja seks dengan dandanan mencolok dan pakaian
seksi. Tak jarang mereka menjadi bahan olok-olokkan masyarakat di
sekitarnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak waria yang
mulai membenahi hidup mereka, sehingga di era globalisasi ini kita
tidak lagi melihat waria hanya sebagai komunitas marginal yang hanya
bisa mejeng di jalanan mengadu nasib, namun sekarang sudah ada waria
yang hidup layak diantara masyarakat walau jumlahnya masih dapat
dihitung dengan jari. Ada yang bekerja sebagai penata rias, designer,
pemain sinetron, aktifis, penulis, bahkan ada juga yang bekerja
ditempat-tempat umum seperti salon, cafe, restoran, dan tempat hiburan.
Jumlah waria pun terus bertambah seiring dengan perkembangan jaman,
hingga pernah muncul guyonan : “Waria tidak memiliki rahim, tapi kok
jumlahnya terus bertambah, ya?”
Hingga saat ini kota
metropolitan Jakarta masih merupakan tempat favorit bagi waria untuk
mengadu nasib. Padahal tidak sedikit waria yang menyadari kerasnya
kehidupan di ibu kota Indonesia ini. Minimnya bahkan seringnya akses
waria ‘ditutup’ untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan kehidupan yang
lebih baik, serta masih tingginya penolakan terhadap waria oleh
masyarakat, membuat mereka kembali memilih mejeng di jalanan untuk
mencari nafkah memenuhi kehidupannya sehari-hari.
Ironisnya,
waria yang bekerja di tempat layak pun masih sering mendapat perlakuan
yang tidak adil karena dituntut untuk berpenampilan sebagai laki-laki,
sehingga banyak yang mundur dari pekerjaannya dan kembali turun ke
jalanan. Padahal keinginan mereka sangatlah sederhana. Ingin diakui sama
dengan masyarakat umum layaknya. Hal inilah yang merupakan impian
setiap waria. Baik dalam hal pergaulan, bermasyarakat, maupun kesempatan
bekerja.
Aku teringat ketika berkunjung ke kota Bangkok,
Thailand. Saya bertemu dan kenalan dengan seorang waria yang bekerja di
sebuah bank besar dan ternama di Bangkok. Tak tanggung-tanggung,
jabatannya adalah Branch Manager. Dia menjelaskan kalau di Thailand,
orang dinilai dari kemampuan otak dan pikirannya, bukan dari
penampilannya. Karena penampilan akan mengikuti pikiran, bukan pikiran
yang mengikuti penampilan. Itulah sebabnya kesempatan bekerja di
Thailand terbuka bagi siapa saja dari segala lapisan masyarakat tanpa
harus mempermasalahkan gender dan orientasi seksual. Sungguh suatu hal
yang sangat bertolak belakang dengan keadaan di Indonesia. Dimana isu
gender dan seksualitas masih menjadi permasalahan yang tidak ada
habisnya. Jangankan dari segi kesempatan bekerja, waria-waria yang masih
suka mejeng di jalanan saja masih sering mendapat perlakuan tidak
pantas oleh pihak-pihak tertentu.
Di Taman Lawang saja yang
merupakan tempat favorit waria sering terjadi peristiwa yang
mengenaskan. Masih jelas terbayang peristiwa meninggalnya seorang waria
akibat tenggelam karena panik ketika terjadi penggrebekan hingga terjun
ke kali yang hitam legam di malam hari. Kemudian hilangnya sosok sahabat
yang penuh keceriaan akibat meninggal dalam kasus penembakan oleh oknum
yang tidak bertanggungjawab. Juga penyerangan-penyerangan yang sering
dilakukan oleh beberapa ormas yang berbasiskan agama dalam pada beberapa
kegiatan yang dilakukan oleh waria. Belum lagi peristiwa-peristiwa
pemukulan, pengeroyokan, dan tindak kekerasan terhadap waria lainnya
yang sering terjadi dimana-mana. Tragisnya sering kali kasus-kasus
tersebut hilang begitu saja tanpa pernah ada penyelesaiannya. Hal ini
tentunya membuat waria merasa dirugikan, sedangkan para pelaku hidup
bebas tanpa pernah merasa terbeban atas perbuatan yang dilakukannya.
Sampai kapankah waria di negeri kita ini terus hidup dalam penindasan?
Mereka juga ciptaan Tuhan yang memiliki hak yang sama dengan komunitas
lainnya sebagai bangsa Indonesia. Mereka juga memenuhi kewajiban sebagai
warga negara. Perbedaan nyata pada waria hanyalah penampilan dan
ekpresi gendernya saja. Apakah hal tersebut dianggap suatu kesalahan?
Suatu dosakah jika seseorang ingin terlihat menarik? Bukankah tubuh kita
adalah hak asasi kita sepenuhnya? Lantas kenapa berekspresi menjadi
suatu hal yang terlarang? Sekarang saatnya kita bertindak, sebagai wujud
kepedulian pada teman-teman waria. Mari kita wujudkan : STOP BULLIYING
PADA WARIA !!!
Oleh : Ryan Hutagalung
Copy From : Gita Yoanita Rachman (Facebook)