Thursday, November 7, 2013

Raising Freethinker




Judul Buku

Raising Freethinkers: A Practical Guide for Parenting Beyond Belief

Penulis:

Dale McGowan, Molleen Matsumura, Amanda Metskas, and Jan Devor 

Penerbit:

New York, AMACOM (2009)

Halaman: 270
Whatever conclusions we reach about the reality of God, the history of this idea must tell us something important about the human mind and the nature of our aspiration. – Karen Armstrong, A History of God.

Dalam hasil survei lembaga survei baik online maupun tidak, seperti dilansir oleh The Pluralism Project at Harvard University: http://www.pluralism.org, ABC News poll (February 2004), Gallup Organization (2005-2007), American Religious Identification Survey (ARIS) University of New York: http://www.gc.cuny.edu/faculty/research_briefs/aris/aris_index.htm (2008 projected),

diketahui bahwa apa yang diyakini orang Amerika sebagai hal-hal yang bersifat transenden, religius, spiritual sangatlah beragam:
Jika ditinjau dari segi kepercayaan masyarakat Amerika didapatkan:

  • Percaya adanya Tuhan 86%.
  • Percaya kepada surga 81%. 
  • Percaya kepada setan 70%. 
  • Percaya kepada neraka 69%. 
  • Percaya kepada isi Alkitab tentang Tuhan 31%. 
  • Percaya kepada hal-hal yang menginspirasi akan ketuhanan 47%. 
  • Percaya bahwa Tuhan yang menyebabkan evolusi terjadi 38%. 
  • Percaya bahwa evolusi manusia terjadi tanpa campur tangan Tuhan 13%. 
  • Percaya kepada kisah penciptaan manusia dalam Alkitab 61%. 
  • Percaya kepada kisah banjir besar Nuh 60%. 
  • Percaya kepada prinsip-prinsip astrologi 25%.

Sedangkan jika ditinjau dari sisi religiositasnya didapatkan:
- Penganut Kristen (apapun sektenya): 88% (1990), 77% (2001), 70% (2008) – Jumlah penurunan yang signifikan, tapi tidak terlalu signifikan jika dilihat jangka waktunya dari 1990 ke 2001.
- Tidak beragama: 8% (1990), 14% (2001), 18% (2008).
- Agama selain Kristen: 4% (1990), 9% (2001), 12% (2008) – Mengalami kenaikan dalam beberapa tahun belakangan.

Lanskap keagamaan di Amerika Serikat berubah dengan cepat. Misalnya ketika 1990, sembilan dari sepuluh warga AS mengklaim berafiliasi dengan Protestan maupun Katolik, sedangkan nonreligius mencapai 8 persen dan agama non-Kristen sebesar 3 persen. Hanya satu generasi kemudian, keragaman jauh lebih kaya. Tiga dari empat warga AS mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Kristen, satu dari sepuluh mengidentifikasi dengan agama lain, dan satu dari enam yang nonreligius. Meskipun persentase nonreligius terus meningkat, tetapi jelas bahwa agama, dalam berbagai bentuk, akan terus menjadi bagian dari mereka.

Orang-orang dari berbagai kalangan agama saling berinteraksi. Anak-anak mereka bertemu dan berinteraksi dengan orang banyak yang berbeda agama; di sekolah-sekolah, di tempat kerja, dalam politik, dalam olahraga, dan sosial. Termasuk media televisi. Dalam waktu empat puluh tahun, wajah imigrasi telah berubah secara dramatis dan berbagai agama, atau ajaran teologis, masuk ke dalam lanskap keagamaan di Amerika Serikat serta menambah kemajemukan tersebut; mewakili Hindu, Buddha, Kristen, Sikh, Islam, Yahudi dan lainnya. Stephen Prothero berpendapat bahwa banyak doktrin teologis yang sekarang ini diabaikan orang Eropa sebagai dongeng-surga dan neraka, justru sangat antusias disambut oleh mayoritas orang Amerika.

Dari setiap sepuluh orang dewasa di Amerika Serikat, lebih dari sembilan percaya pada Tuhan, lebih dari delapan mengatakan bahwa agama itu penting untuk mereka secara pribadi, dan lebih dari tujuh menganggap agama penting sebagai laporan setiap hari kepada sesuatu yang mereka anggap Tuhan, atau sekedar menjalankan rutinitas ritual.
Ketika anak-anak di lingkungan rumah-rumah warga Amerika melihat orang-orang yang berpakaian berbeda karena agama mereka, yang mencari ruang alternatif untuk sholat di sekolah, yang berkumpul di sekitar tiang bendera untuk berdoa, dan yang tidak bisa pergi ke pertandingan sepak bola Jumat malam karena besoknya hari Sabat.

Bahkan, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan nonreligius di rumahnya pun akan bertanya-tanya seputar hal-hal yang mereka amati. Ketika salah satu keluarga mendapatkan undangan jamuan yang berkaitan dengan hal-hal religius dari tetangganya, anak-anak yang belum memasuki sekolah dasar pun akan tergerak untuk kritis menanyakan hal itu pada orang tua mereka. Bagi orang-orang tua yang tidak mengajarkan hal-hal berbau kisah-kisah religius atau nilai-nilai etik berdasarkan aturan ajaran agama dan kepercayaan tertentu, akan susah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka tidak bisa hanya sekadar berkata, “We don’t believe that, honey.”

Sekolah-sekolah Amerika tidak mengajarkan ajaran-ajaran agama tertentu karena pendidikan agama (apapun yang Anda pilih) diserahkan kepada masing-masing orang tua. Orang tua agama dapat mengambil keuntungan dalam pendidikan agama yang ditawarkan di gereja, atau tempat ibadah lainnya, tapi tak berperan banyak di sekolah ketika anak-anak mereka berinteraksi dengan penganut agama lain. Sedangkan orang tua yang nonreligius menjadi terpolarisasi, sehingga tak jarang anak-anak mereka menjadi sasaran dari kalangan-kalangan tertentu yang ingin mengindoktrinasi anak-anak mereka tanpa para orang tua itu ketahui.

Buku ini akan membantu para orang tua semacam itu;agnostik, sekuler, nonreligius, atau mungkin ateis, tentang bagaimana cara mereka bisa menjawab pertanyaan anak-anak mereka ketika mereka ditanyai apa yang disaksikan anak-anak mereka di luar lingkungan pergaulan rumah. Semisal, bagaimana jika anak-anak Anda sepulang sekolah, atau bermain dari rumah kawannya dan bertanya;

How does white milk come from a red cow? (Bagaimana susu putih berasal dari sapi merah?)

Why doesn’t the sun fall down? (Mengapa matahari tidak jatuh?)
How is it that all rivers flow into the ocean without ever filling it? 
 (Bagaimana air sungai jatuh ke laut tanpa pernah merasakannya)

Or, who is God? (atau, Tuhan itu siapa sih?)

Anda tak mungkin menjelaskan ilmu biologi, genetika, gravitasi atau evolusi kepada mereka. Anda pun tidak akan bilang kepada mereka all comes by nature (sudah dari sononya). Mantra seperti itu mungkin berhasil bagi Anda sekali, tapi takkan terus menerus sukses untuk mengelabui mereka. Sesuatu yang sangat manusiawi jika manusia mempunyai dorongan untuk mempertanyakan apapun dan karena “pertanyaan” pula kemudian lahir dua kutub; agama dan sains, sebagai dua cara yang berbeda untuk merespon tantangan yang sama: sebuah neokorteks yang terus berkembang dan lapar akan jawaban.

Meskipun kita dapat dan sering berakhir mengejar tujuan yang sama, tetapi pendidikan orang tua di lingkungan religius dan nonreligius tidaklah sama. Ada perbedaan yang mendalam dalam konteks, ruang di mana orang tua sebagai aktor dan agama, atau tidak beragama sebagai model pengasuhan orang tua. Semestinya kedua jenis orang tua ini mempunyai kompetensi dan potensi yang setara untuk tidak mengenal kata takut atas tekanan dari luar. Mereka seharusnya sama-sama bebas dalam membesarkan anak-anak sesuai nilai yang mereka anut. Toh, ketika anak-anak mereka besar pun mereka bebas menentukan atas hal-hal yang mereka yakini, percayai, atau sebaliknya.

Bagi orang tua yang tidak menerapkan pendidikan agama dalam model pengasuhan dapat menumbuhkembangkan potensi kritis anak tanpa rasa takut. Justru pertanyaan-pertanyaan anak-anak yang beragam dapat dijadikan modal dasar pengikutsertaan anak dalam perbincangan seru menarik walau bagi Anda pun terasa irasional. Di antara langkah yang harus dilakukan:

1. Encourage ever-wider circles of empathy.

Mengajarkan bahwa ada banyak cara pandang di dunia ini yang memutus dan membatasi empati manusia dari kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, orang tua harus mendorong anak-anak mereka untuk mencapai tahapan bagaimana paradigma mereka bisa melampaui batasan-batasan itu.

2. Encourage active moral development.

Anak-anak dapat dan harus didorong untuk secara aktif mengembangkan dalam proses active moral reasoning ketika belajar memahami alasan untuk menjadi dan melakukan kebaikan.

3. Promote ravenous curiosity.

Rasa ingin tahu anak agar selalu diasah karena itulah kunci bagi anak-anak untuk mempelajari sesuatu, dengan cara terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang positif dan produktif.

4. Teach engaged coexistence.

Mengajarkan kepada anak-anak untuk dapat hidup berdampingan dengan teman-teman dan lingkungan lain apapun agamanya, dengan hal-hal bisa memberikan pengaruh bahwa manusia harus saling memanusiakan sesamanya.

5. Encourage religious literacy.

Anak-anak harus mengetahui seputar pengetahuan mengenai agama tanpa harus mengindoktrinasi mereka ke dalam agama.

6. Leave kids unlabeled.

Jangan biasakan melabeli anak Anda dengan sesuatu, apalagi mendukung tindakan mereka ketika anak-anak Anda melabeli atau memanggil teman sesamanya dengan sebutan “Hei, orang Kristen.”, “Hei, orang Yahudi.”, sekalipun “Hei, Ateis.” Karena sesungguhnya, yang seperti itu sangat kontraproduktif dalam menjalin ko-eksistensi antarsesama manusia.

7. Make death natural and familiar.

Katakan pada anak-anak Anda bahwa kelahiran dan kematian adalah sesuatu yang natural bagi manusia tanpa harus Anda jelaskan ke mana perginya anak Anda setelah meninggal dunia. Daripada mengisolasi anak Anda dalam merenungi kematian, ajak anak Anda mengisi kehidupan ini dengan saling berbagi satu sama lain sebagai entitas yang setara di sebuah wadah bernama bumi.

8. Invite the questioning of authority.

Dukung anak Anda untuk selalu mempertanyakan alasan di balik adanya peraturan yang anda terapkan di dalam rumah dan alasan di balik jawaban-jawaban yang Anda berikan kepada mereka.

9. Normalize disbelief.

Ketidakpercayaan, atau ketidakberagamaan adalah sesuatu yang normal. Biasakanlah anak Anda untuk berparadigma demikian.
Model praktik pengasuhan seperti ini memerlukan kerja keras dari Anda untuk mengajak anak-anak Anda mau mempelajari filsafat dan membimbing mereka secara filosofis, tapi tak dilepaskan dari kasih sayang Anda. Sebagaimana dikatakan oleh Bertrand Russell, “Kehidupan yang baik adalah salah satu yang terinspirasi oleh cinta dan dibimbing oleh pengetahuan.” Kebanyakan pemula ketika membaca buku-buku filsafat atau mempelajari filsafat, tiba-tiba merasa berada dalam keterasingan karena mereka menemukan bahwa masyarakat mainstream umumnya berbeda dengan mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan kasih sayang Anda agar mereka justru tergerak untuk memberikan kontribusi positif terhadap dunia dan sesama manusia.

Contoh percakapan yang dibangun dengan anak;

INVITE A GUESS

KID: “How far away is the sun?”
MOM:“What would you guess?”
KID: “100 miles!”
MOM: “Good guess! That’s what people thought a long time ago. They thought it was attached to the sky about 100 miles away, but now we know it’s a star out in space. Okay now. Grandma’s house is 700 miles away. Do you think the sun is closer than that?”

FIND OUT TOGETHER

“How far away is the sun?”
“I dunno. Let’s get a tape measure and find out!”
“Dad!! You’re such a dork.”
“Well, how can we find out then, smarty pants?”
“Google it!”
(After Googling it . . .) “Now I wonder how they figured that out without a tape measure?”

THE OBVIOUS FIB

“How far away is the sun?”
“About 20 feet.”
“No, it isn’t!”
“I’m pretty sure it is. Maybe 21.”
“It’s MUCH more than that!”
“Well, how far do YOU think it is?”

VALUE-ADDED ANSWER

“How far away is the sun?”
“93 million miles.”
“Wow, that’s far!”
“Wouldn’t want to walk it. Hey, you know how they figured that out? It’s the most amazing story . . .”

THE QUESTION CHAIN

Eventually, the child will pick up the rhythm herself and provide the next question herself:
“How far away is the sun?”
“93 million miles.”
“Wow, that’s far! How did they figure that out?”
“You know, it’s the most amazing story . . .”



NB : Diterjemahkan dengan bebas oleh TACU.
Copy From : Archer Clear (Facebook)

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis