Friday, November 1, 2013

Papua adalah Sebuah “Ironi”


Jika Ironi identik dengan Penyesalan,
Saya harus mengakui bahwa saya menyesal …ujaran tersebut tidak akan anda dapatkan dalam Indonesia yang sesungguhnya,karena ironi tersebut belum pada masanya terlebih tepatnya pada tahun 2013 ini .Namun saya sebagai masyarakat memang mengatakan bahwa papua adalah sebuah ironi…karena perspektif pandangan saya bukan pada ke”Indonesia”an namun karena berlandaskan kemanusiaan..
Awalnya pada tahun 1967,ironi dimulai dengan sepak terjang Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc Group untuk menanamkan sahamnya ditanah mitologi (Baca : Amungsal),yang kemudian suku-sukunya (Baca : Amugme) diasingkan ke tepi pegunungan,jauh dari tanah mitologi mereka tersebut .
Mungkin dulu Soeharto (INDONESIA) sedang membutuhkan uang yang banyak sehingga menandatangani perjanjian kontrak,tanpa memikirkan dampak apa yang akan ditimbulkan dalam jangka pendek maupun panjang. Yang penting kontrak ditandatangani sekalipun Freeport sedang bermain dalam bisnisnya .
Benar,Soeharto sejak dari awal sudah mengetahui dampak-dampak yang akan dihasilkan oleh perusahaan raksasa tersebut,salah satu bagian terkecilnya yaitu masalah limbah yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan raksasa sekaliber Freeport .
Orde Soeharto,mengarahkan kekuatan intelijen TNI yang bertujuan untuk menyadap info dengan tujuan agar ekspektasi maupun proyek Freeport tidak terhambat dan dapat berjalan mulus tanpa ada gangguan dari aktivis lingkungan maupun publik .
“Tidak ada investigasi yang me nemukan keterkaitan Freeport se ca ra langsung dengan pe lang ga ran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang meng hu bungkan Freeport dengan tin dak kekerasan yang dila kukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus keke ra san itu dilakukan dengan meng gu na kan fa si­litas Freeport. Seo rang ahli antro pologi Australia, Chris Ballard, yang pernah be kerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, mem perkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer an tara tahun 1975-1997 di dae rah tambang dan sekitar nya” .
(Sumber : Wikipedia)
Yah !benar..semua itu dilakukan demi “UANG” .Papua adalah sebuah ironi karena mempunyai kekayaan alam yang tinggi harga nilainya .Papua ibaratkan seorang perempuan yang dijadikan Negara untuk memenuhi hasrat sexnya yang tidak terkendalikan .
Papua menjadi penghasil pajak tertinggi (Baca : Dari Freeport) sebesar kurang lebihsebanyak US$955,6 juta pada periode 1998-2004. Namun sebagian besar pendapatan tersebut didistribusikan terhadap pemerintahan pusat yang sampai saat ini seakan-akan pendapatan tersebut tidak berarti apa-apa bagi inflasi Negara .
Muncul pertanyaan,bukankah pendapatan sebanyak itu demi menyelamatkan keberadaan Negara ?
Tapi muncul juga pertanyaan,”mengapa dan kenapa papua se-ironi ini ??”
Bukan hanya ekspektasi Freeport,bagaimana lagi dengan perusahaan-perusahaan asing yang sedang “mencangkul” kekayaan ditanah papua ?Uranium,Emas,petroleum ??
Semua ini hanya tentang Ironi…Saya merasakan Ironi sebagai masyarakat,Papua mengalami Ironi sebagai anak negara,namun beda dengan Indonesia yang menjadi Ibu dan Bapak dari anak dan masyarakat…kembali kepada hakikatnya,bahwa beberapa tahun kedepan saya percaya bahwa Indonesia juga akan mengalami ironi…bukankah kekayaan bersifat tidak kekal ?? Inalum yang ada di Sumatera Utara telah memberikan ironi terlebih dahulu ?bagaimana dengan papua ?kapan akan memberikan ironi kepada Indonesia ?
Seharusnya dengan kekayaan sebanyak itu seluruh masyarakat papua akan menjadi jutawan…namun karena papua adalah anak yang sedang dimanfaatkan oleh Indonesia,jangan sekali-kali membahas tentang kesejahteraan di Papua .Jauh dari kesejahteraan,Indonesia sedang asik-asiknya menggali dan papua sibuk akan urusan internalnya…
Jika sudah begini,seharusnya papua harus mengikuti falsafah orang minang,”anak harus menjauh dari orangtuanya dan mendapatkan emas sebanyak-banyaknya “ .jika memang melihat sisi yang paling alternative,papua harusnya menjadi malin kundang .
Bukankah lebih baik disaat “anak tidak selamanya berada dipangkuan orangtua ?"

Chances are they already speak more languages than you: children from Papua New Guinea's Andai tribe of hunter-gatherers wait for their parents to vote in the village of Kaiam. Over 800 languages are spoken in PNG, a country of about six million people.

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis