Friday, November 1, 2013

Memaknai Kesetaraan Gender


Pasangan suami-istri asal Canada, Kathy Witterick (38) dan David Stocker (39) dianggap aneh.  Bertubi-tubi kecaman dilontarkan kepada mereka, tapi keduanya bergeming.  Tepat pada hari Tahun Baru 2011, lahirlah bayi mereka bernama Storm.  Tapi, pasangan ini tidak mau menyatakan kepada siapapun apa jenis kelamin bayi tersebut.  Kedua saudara Storm, Kio (berumur 2 tahun) dan Jazz (5 tahun) juga tidak mau menyebutkan jenis kelamin adiknya.  Orang-orang terdekat mereka telah membungkam mulut juga.  Mengapa sampai pasangan ini melakukan hal yang dianggap "ekstrim“?
 Bagi pasangan ini, jenis kelamin anak mereka bukan urusan publik.  Menurut Witterick, Storm (4 bulan) berhak mengembangkan identitas seksualnya sendiri, tanpa harus menyesuaikannya dengan stereotip sosial: menjadi laki-laki atau perempuan hanya karena patuh pada berbagai keharusan gender. 
Ketika bayi lahir, kata pasangan ini, semua orang ingin mengetahui "laki-laki atau perempuan?“.  Menurut mereka, hal ini adalah pelanggaran hak bagi bayi tersebut.  Seharusnya anak bisa memilih sendiri gender mereka.  Tidak ditentukan oleh masyarakat. 
“Bayi kami tidak mempunyai ambiguitas jenis kelamin.  Tapi, bila dunia perlu mengetahui tentang anak kami, mereka tidak perlu tahu apa yang ada di selangkangannya.    Hal ini adalah penghargaan kami terhadap kebebasan individu”, tegas  Witterick dan Stocker.  Kasus yang dipublikasikan dalam MajalahToronto Star pada bulan Mei 2011 itu memicu polemik baru mengenai  hak gender.  


Lelaki Feminin dan Perempuan Maskulin?

Sebelum bayi lahir pun, banyak orang tua yang ingin tahu apa jenis kelamin bayi mereka, supaya mereka bisa mempersiapkan diri menyediakan baju dan barang-barang yang dianggap "sesuai“ bagi jenis kelamin sang bayi. 
Setelah bayi lahir, identitas lelaki atau perempuan segera ditempelkan.  Lalu, bayi yang diberi identitas ini, secara sosial diberi peran dan sifat-sifat tertentu sejak dini.  Misalnya, kalau di Barat, bayi lelaki diberi warna serba biru.  Sedangkan bayi perempuan diberi warna serba pink (merah muda).  Lalu, mainan pun berbeda.  Lelaki diberi mobil-mobilan dan pistol-pistolan, misalnya.  Sedangkan perempuan diberi boneka dan peralatan memasak. 
Dalam ruang seperti ini, akan sulit bagi mereka yang tidak sesuai dengan "keharusan“ yang ditetapkan masyarakat.  Karena itu, seharusnya identitas gender tidak saja lelaki dan perempuan, tapi juga mencakup kelompok transgender (di antara lelaki/perempuan, atau tidak bisa didefinisikan sebagai lelaki/perempuan).  
Karena, walaupun masyarakat menekankan bahwa hanya ada dua jenis kelamin, dan dua gender, dalam kenyataannya, terdapat banyak sekali perbedaan dan variasi.  Misalnya, anak dengan identitas lelaki yang suka bermain boneka dan terlihat lemah lembut, akan diejek.  Bahkan, tidak jarang yang kemudian melontarkan ejekan "banci“ kepada bocah seperti ini. 
Begitu pula dengan perempuan yang tomboi.  Perempuan demikian biasanya mendapat teguran dari masyarakat.  Misalnya, anak perempuan yang lebih suka memakai celana, berambut cepak dan bermain sepak bola, akan ditanya: “Perempuan kok gitu?”.  Hal ini yang kemudian mengubah perilaku anak tersebut, terkadang bukan karena kemauan mereka sendiri tapi karena stigma.   
Anak kandung Angelina Jolie, Shiloh (5 tahun) begitu gemar memakai celana dan berambut cepak.  Cara berpakainnya, menurut beberapa orang, tidak sesuai dengan kelaminnya yang perempuan.  Tapi, Angelina Jolie menyatakan bahwa hal ini adalah pilihan sang anak dan dia membebaskan pilihan tersebut: "Anak saya mempunyai kemauan yang kuat dan saya membebaskan dia untuk menjadi diri sendiri.“


Andrew Pejik: Perempuan Bukan, Lelaki juga Bukan!

Keputusan pasangan Witterick – Stocker dan Angelina Jolie didukung oleh model tersohor, Andrew Pejic, yang lahir di Serbia lalu menetap di Australia.  Wajahnya yang cantik dan rambutnya yang panjang terurai, seringkali mengenakan rok feminin.  Namun, ia mempunyai penis dan dilahirkan sebagai lelaki.  Pejic dikenal sebagai model androgin (mempunyai sifat gabungan antara lelaki dan perempuan), karena ia juga dengan leluasanya melenggang di panggung pria dengan busana yang dianggap maskulin seperti celana Koboi dan sepatu lars.  Ia mengaku bahagia dengan identitasnya dan merasa mempunyai kebebasan tersendiri dengan menjadi androgin. 
"Pada usia 14 tahun, saya mulai bereksperimen dengan penampilan saya,“ jelasnya.  Saat itu, ia menyadari bahwa identitas lelaki yang ditempelkan padanya hanyalah bentukan masyarakat.  Ibunya sangat mendukung keputusan ini dan akhirnya, Pejic pun mengenyam sukses besar dengan keunikannya. 


Kecaman dan Nasib Kaum Perempuan
            Tentu tidak sedikit yang mengecam keputusan pasangan Witterick – Stocker ini.  Dr Eugene Berensin, direktur di bidang kejiwaan anak-anak dan remaja di Rumah Sakit Umum Massachusetts menyatakan bahwa dengan meniadakan jenis kelamin anaknya, pasangan Witterick – Stocker telah membuat kekacauan identitas.  Namun, keterbatasan dan keharusan identitas seksual juga telah membawa dampak yang cukup besar.   Salah satunya adalah ketertindasan kaum perempuan. 
Tak sulit untuk melihat kenyataan, bahwa sampai sekarang jutaan kaum perempuan masih hidup di bawah tekanan dan penderitaan yang disebabkan oleh pasangan pria.  Rumah tangga, yang seyogianya menjadi tempat perlindungan aman, justru rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, mulai dari penyerangan ringan berupa  kata-kata, ancaman, intimindasi, hingga penganiayaan fisik berat dan bahkan pembunuhan.
Kekerasan terhadap kaum perempuan, terutama dalam rumah tangga, hemat penulis merupakan salah satu ungkapan paling nyata mengenai fakta ketertindasan kaum perempuan. Ironisnya, dalam struktur sosial yang canggih sekalipun, perempuan yang berpendidikan tinggi masih kurang berani mengungkapkan secara terbuka persoalan mereka, apalagi memperjuangkannya.  Banyak sekali perempuan yang masih harus menurut perintah sang suami atau minta ijin suami bila ingin bekerja atau melakukan pekerjaan tertentu.  Sebaliknya, sang suami tidak perlu minta ijin istri dalam memilih karier.  Mengapa? Karena kaum perempuan sendiri masih takut terhadap stigma ciptaan sistem patriarkat, sehingga dalam ruang tertutup pun, ketakutan ini dibawa oleh mereka.     
Dalam masyarakat patriarkat, fenomena kekerasan terhadap kaum perempuan ini akan terus berlanjut tanpa hambatan bila faktor-faktor budaya, agama, dan ekonomi "berkonspirasi“ menekan perempuan agar patuh pada dominasi kaum pria.  Misalnya, dalam agama mayoritas diajarkan bahwa lelakilah pemimpin dan perempuan harus patuh kepada suami.  Lalu, budaya pasrah dan melayani ditimpakan kepada perempuan.  Pada ekonomi, gaji perempuan biasanya lebih rendah dari lelaki; dan perempuan juga lebih sukar mendapat kedudukan sebagai pemimpin (seperti manajer).   
Sosiolog Prafulla Mohanty (2012), secara miris mengemukakan bahwa ide patriarki ini akan terus diwariskan.  Jadi, bila tidak dilawan, dominasi kaum pria akan berlanjut.  Predikat "keibuan“, "kesetiaan“, "istri penuh pengorbanan diri“ seringkali memperparah kedudukan perempuan.
Sebuah pernyataan dari badan dunia WHO menyebutkan, "kejahatan terhadap kaum perempuan merata hampir di semua masyarakat dunia. Namun demikian hal itu dianggap lazim.“  Pada 1997, dari berbagai belahan dunia, 16 hingga 52 persen kaum perempuan menderita kekerasan fisik, bukan dari orang lain tetapi justru dari suami mereka sendiri.  Pada tahun 2011, WHO melaporkan bahwa jumlah kekerasan domestik terhadap perempuan meningkat.  Banyak perempuan menerima ancaman fisik bahkan juga pukulan dan serangan fatal dari pasangan atau anggota keluarganya sendiri.  


Kesetaraan Gender

Isu kesetaraan gender selalu bermuara pada upaya pemberdayaan kaum perempuan. Pemberdayaan adalah sebuah konsep multi-faset, multi dimensional dan multi lapis. Pemberdayaan mengandaikan sebuah proses, di mana  subyek perempuan berhasil memperoleh kendali yang lebih besar (dari pada sebelumnya),  terhadap sumber daya – material, pengetahuan, informasi, gagasan dan juga sumber-sumber keuangan, termasuk pembuatan keputusan di rumah, di dalam masyarakat, bangsa, negara, bahkan dunia.  
Jadi sederhananya, pemberdayaan artinya bergerak dari sebuah posisi tak berdaya ke posisi yang berdaya.  Perjuangan bagi kesetaraan gender sejatinya bukanlah perjuangan melawan kaum pria, melainkan perjuangan melawan tradisi yang tak adil.  Tegasnya perjuangan melawan sistem.  Perjuangan ini tidak akan berhasil, jika dilakukan sepihak saja.  Singkatnya, perjuangan kesetaraan gender  seharusnya merupakan  perjuangan yang memelekkan mata masyarakat untuk mengakui bahwa pria dan wanita adalah partner setara di dalam hidup.  Keduanya adalah pribadi unik yang memiliki identitas masing-masing.  
Dan hal ini bisa dimulai sejak dini pula, dengan meniadakan penjara keharusan bagi identitas anak dan membebaskan mereka mengembangkan potensi.  Mungkin, kita tidak bisa "seberani“ pasangan Witterick – Stocker.  Namun, kita bisa memulai dengan cara kita sendiri.   


 John de Santo, pemerhati wacana pencerdasan bangsa; menetap di Yogakarta. 


 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis