Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts

Friday, November 14, 2014

The Look Of Silence

'The Look of Silence': The film making Indonesia face its brutal history


By Dean Irvine, CNN

Skewed view:
Skewed view: "The Look of Silence" examines the little spoken of massacres that took place in Indonesia in 1965 and 1966


(CNN) -- The Graha Bhakti Budaya (or GBB as it's locally known), is a care-worn, 1960s slab of a building, popular as part of Jakarta's largest arts center, but outwardly unremarkable.
Yet what happened inside on Monday, the Indonesian premiere of documentary "The Look of Silence", has for some made it more than a theater space and transformed it into a site of huge importance for the development of Indonesia's democracy.
"That screening on Monday night was a big, big moment," says 54-year-old Irawan Karseno. "There are deep wounds in our nation since 1965 and this movie is like a healing process."
As head of the Jakarta Arts Council, Karseno was instrumental in bringing the film, Joshua Oppenheimer's companion piece to last year's Oscar-nominated "The Act of Killing", to a captivated audience of around 1,500 people.

Oppenheimer's 2012 film helped open up public discussion about a troubling and little-spoken of period in Indonesia's recent history: human rights groups estimate between 500,000 to 1 million Indonesians were killed by military death squads during anti-communist purges in 1965 and 1966 that helped cement the "New Order" regime of General Suharto.
While "The Act of Killing" told the story from the killers' side, "The Look of Silence" takes an unflinching look at the situation from the viewpoint of the survivors. The film's protagonist is Adi, a 45-year-old optometrist, who tries to understand why his parents remain so 
Adi studies Joshua Oppenheimer's footage of perpetrators of the 1965 Indonesian genocide. Photo: Courtesy Lars Skree/Final Cut for Real











deeply traumatized by his brother Ramli's murder in 1965, and the culture of fear and lies he believes pervades his community and country.
Adi's unflinching gaze when he confronts members of the militia involved in his brother's brutal death is juxtaposed with the attitude of perpetrators and survivors in the film, and many Indonesians as a whole, who prefer to say the "past is the past".
"But the younger generation are more open-minded," says Karseno. "I was only five years old when these events happened and I'm still ashamed by them.
"Next year is 50 years since (the killings of) 1965. How can we prepare for next year? How can we see the events more sensitively? I hope it can be like when Germany came to terms with the holocaust and they had a healing process with each other."

There are deep wounds in our nation since 1965 and this movie is like a healing process.
Irawan Karseno, Jakarta Arts Council

After a multi-year investigation, the country's National Commission on Human Rights in 2012 declared the massacre a gross violation of human rights. Yet Indonesia is still a distance from any official truth and reconciliation process. No one has been brought to trial for the alleged crimes. The Attorney General's office has not yet replied to CNN's requests for comment.
Many survivors' families across Indonesia still live in fear of reprisals if they should speak openly against those responsible for the crimes.
During filming Oppenheimer made sure precautions were taken should things take a turn for the worse; a getaway car was on hand, no-one carried ID, phones were data-free and in some cases Adi's family were on standby at the airport to leave at a moment's notice.

Adi confronts a high-ranking death squad commander and present-day paramilitary leader. Photo: Courtesy Lars Skree/Final Cut for Real


"It's a terrible situation that Adi and his family had to move away like fugitives (after the film was made), especially when he was just trying to create the conditions for forgiveness," says Oppenheimer.
"But it shows just how far Indonesia has to go before it can be called a genuine democracy with rule of law and that because of the impunity the perpetrators and gangsters have Adi's family has to run away, when they've done only the most beautiful and dignified thing."
For Oppenheimer, Monday's premier was the most important screening of either "The Act of Killing" or "The Look of Silence" (which has appeared at a number of international film festivals), as it was hosted by Indonesian government agencies-- the Jakarta Arts Council and the National Human Rights Commission.

It shows just how far Indonesia has to go before it can be called a genuine democracy with rule of law. 
Joshua Oppenheimer, director, The Look of Silence

While "The Act of Killing" first had to be shown at private screenings, even public showings initially had to have heavy security, "The Look of Silence" premier was publicly announced, proving to Oppenheimer, that a space is opening up for the country to continue to heal.
In December community screenings will take place across Indonesia, and Karseno, encouraged by the recent election of Joko Widodo as president, feels optimistic that the country can get over its "mental block."
"We are pushing hard for Jokowi (Joko Widodo) to see the film," says Karseno.
"We have a problem in our culture. It's not just about 1960s for us, but how we as a country are connected to the rest of the world."
According to Karseno the atmosphere on Monday was only tense with expectation rather than from any safety worries, and two screenings had be shown as twice as many people turned up as could be accommodated by the auditorium.
Adi was one of those present at the premier.
"After watching the film and seeing the victims I felt sad," says Karseno. "I then met Adi and I just cried."

Monday, November 10, 2014

Soekarno vs Tan Malaka (Meluruskan Sejarah Mengenai Romusha)

       



Headline


Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.

Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.

Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu bara.

Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah—sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.

Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. ”Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar,” kata Parino.

Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah membutuhkan 30 pekerja—bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.

Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.

Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.

Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.

Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.

Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. ”Kita dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang,” kata Tan suatu ketika.

Nasib para romusha itu sedikit berubah setelah datangnya Tan Malaka ke Bayah yang bekerja sebagai juru tulis di kantor sosial setempat. Tan Malaka sangat memperhatikan nasib para romusha, ia sering memberikan saran tentang kesehatan dan kesejahteraan para romusha kepada pejabat direktur di tempat ia bekerja Kolonel Tamura, namun tidak berhasil. Tidak hanya hal itu yang ia lakukan, tidak jarang ia juga pernah membelikan para romusha nasi dengan upahnya sendiri. Ia juga meminta bantuan pemuda di sekitar Bayah untuk membangun dapur umum bagi para romusha, membangun rumah sakit di Bayah, dan membuka kebun buah-buahan dan sayur-sayuran di Tegal Lumbu dekat Bayah.

Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.

Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.

Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. ”Seratus ton arang itu diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun digedor,” ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.

Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.

Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga Peta—organisasi sosial yang membantu tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.

Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah—kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.

Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu.Soekarno berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.

Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus ”Pangreh Praja”.

Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.


Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.

“Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya tidak akan menerima.” Suara Bung Karno tegas ketika rangkaian kalimat itu meluncur dari mulutnya. Tegas, tak hanya karena ia ingin menguatkan sikapnya, tetapi juga segera hendak mengakhiri perdebatan yang menurutnya debat kusir dengan lelaki kecil bertopi mandor onderneming yang ngotot itu.
Pelan-pelan Bung Karno mengenali lelaki itu. Benar, dia Tan Malaka, pejuang yang selama ini menghilang dikejar-kejar tak hanya dinas intelijen Hindia Belanda (PID), atau Kempeitay Jepang, melainkan semua aparat penjajah; Inggris, Amerika.
Bung Karno melihat lelaki yang mengaku bernama Ilyas Hussein itu sigap hendak merebut mikropon, hanya gagal karena Son Co wilayah Bayah lebih dulu mengambilnya. Perdebatan pun berakhir, hingga pertemuan itu usai. Bahkan sampai Soekarno dan rombongan pulang ke Jakarta, beberapa hari kemudian.
Adegan itu terekam dalam buku Harry A Poeze, penulis paling otoritatif tentang Tan Malaka, ‘Pergulatan Menuju Republik’, terbitan Grafiti Pers. Bung Karno, dalam kampanye untuk menarik rakyat menjadi romusha—sering diartikan sebagai kerja paksa khas Jepang, sempat mengunjungi Bayah, Banten Selatan, tempat romusha dipekerjakan untuk membangun jaringan rel kereta api Saketi-Bayah, sepanjang 150-an km.
Bung Karno datang bersama Bung Hatta dan para anggota Jawa Hokokai. Kedatangan itu bagian dari kampanye Bung Karno untuk bekerja sama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang, yang ia yakini akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sebelumnya, pada 3 September 1944, Bung Karno telah memberangkatkan 500-an romusha ke Burma.
Para romusha itu berangkat dengan bangga, diiringi pidato Soekarno,” Tujuan usaha ini adalah untuk menunjukkan kepada Jepang bahwa penduduk Jawa telah siap sehidup semati dengan Dai Nippon. Kita berjanji tidak akan bercukur selama pengabdian sebagai romusha, sebagai tanda bukti kepada negara,” kata Bung Karno, seperti tertuang dalam buku yang ditulis Aiko Kurasawa.
Bung Karno sendiri datang ke Bayah sebagai romusha. Pada lengannya tertulis pita besar bernomor 970. Romusha bernama Soekarno itu ditulis koran-koran zaman itu tinggal di pondokan sederhana romusha, makan makanan mereka. Koran juga memuat foto saat Bung Karno mengangkat karung pasir dalam pekerjaan sehari-hari romusha.
Bedanya, Bung Karno dan rombongan beberapa hari kemudian pulang ke Jakarta, dan para romusha asli tidak.
Pada saat acara penyambutan kedatangan Bung Karno dkk itulah, terjadi perdebatan antara Bung Karno dengan Ilyas—Tan Malaka. Pidato Soekarno bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu dan setelah itu Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia, dibantah Tan Malaka. Itulah perbedaan sikap kedua pemimpin, pejuang yang sama-sama mencita-citakan kemerdekaan Indonesia itu.
Kita tahu, soal romusha seringkali menjadi titik hitam yang kerap dialamatkan kepada hidup Bung Karno. Pasalnya, sebagaimana kerja paksa yang digelar Jepang di sepanjang Nok Pla Duk (Thailand) ke Thanbyuzayet (Burma), yang menurut sejarahwan Aiko Kurasawa menyebabkan kematian 30 ribu romusha diantaranya asal Indonesia, demikian pula di pembuatan rel Saketi-Bayah. Ribuan romusha mati kelaparan dan diserang penyakit. Dalam catatannya, Tan Malaka menulis, di sarang malaria dan kolera itu, setidaknya 300-an romusha mati setiap bulan.
Tetapi bukankah manusia memang layak punya cela? Bung Karno sendiri bukan seorang berhati keras membatu. Kepada penulis biografinya, Cindy Adam, almarhum menyampaikan pengakuan, yang lebih laik satu penyesalan.
Sesungguhnya akulah –Sukarno – yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha. Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha. Dengan para wartawan, juru potret, Gunseikan –Kepala Pemerintahan Militer- dan para pembesar pemerintahan aku membuat perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang-kerangka-hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis-belakang, itu jauh di dalam tambang batubara dan tambang mas. Mengerikan. Ini membikin hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan—sebagai Hussein—didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.

Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.

Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.

Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein.
 Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.

Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.

Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.

Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.

Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an. ”Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang,” kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.

Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo—bersama penulis buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze—menelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980. Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang….




Sumber :

http://nasional.inilah.com/read/detail/2127251/soekarno-romusha-bernomor-lengan-970#.VGCaMvmUf_E

http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000012328131/the-indonesian-death-railway--jejak-jejak-romusha-di-indonesia/


Thursday, October 23, 2014

Kurikulum 2013 Indonesia VS Kurikulum Finlandia

Masykur


Lagi-lagi Indonesia untuk kesekian kalinya berencana menggantikan kurikulum. ada beberapa perubahan yang telah dirombak dari kurikulum lama yaitu penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar serta pendakatan tematik integratif yang katanya pada pendekatan ini siswa akan belajar dengan tema yang akan di kombinasikan dengan mata pelajaran, yaitu :PPKN, Agama, bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya dan Pendidikan jasmani.
Kurikulum ini sendiri seperti kata Kemendikbud bukanlah kurikulum baru di dunia, bahkan sudah diterapkan di Finlandia, Jerman dan prancis. pertanyaannya apakah kurikulum ini bisa di operasionalkan di Indonesia dengan pertimbangan keadaan lingkungan yang bisa dikatakan masih jauh berbeda dengan negara yang disebutkan diatas? tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini secara langsung karena kita belum melihat dampak kurikulum ini kedepan. untuk itu mari kita melihat secara sekilas bagaimana kontras kurikulum Finlandia dan Indonesia


Kurikulum di Finlandia
salah satu prinsip kurikulum di Finlandia adalah Non-discrimination and equal treatment yang berarti tidak ada diskriminasi dan mendapat perlakuan yang sama. di Finlandia semua anak punya hak sama dalam pendidikan, tidak dibedakan antara si kaya dan si miskin dan semua sekolah tidak dibedakan baik itu sekolah favorit atau tidak. jadi siswa bisa masuk ke sekolah mana saja karena semua sekolah sama. hal lain yang membuat sistem pendidikan di Finlandia berbeda adalah karena tidak adaassessment atau penilaian. siswa-siswa di Finlandia dibimbing untuk memiliki hak yang sama ketika belajar, maka tidak heran jika di dalam kelas mereka memiliki minimal dua guru untuk mengajar, 1 bertindak sebagai guru utama dan 1-nya sebagai asisten. di sisi lain berdasarkan hak dasar warga Finlandia, prinsip Receive understanding and have their say in accordance with their age and maturity yaitu menerima pemahaman dan pendapat sesuai umur dan kedewasaan. jadi mereka memiliki hak mendapatkan ilmu sesuai umur mereka tanpa diskriminasi. mereka juga mendapatakan dukungan spesial jika dibutuhkan seperti anak cacat dan anak-anak yang membutuhkan waktu ektra akan memiliki kelas tambahan untuk diajarkan secara khusus agar mereka mendapatkan hal yang sama seperti anak lainnya.
Dari segi mata pelajaran di Finlandia memiliki 6 mata pelajaran inti yang semuanya terbungkus dengan kata orientation. kenapa ada kata orientation? karena kurikulum di Finlandia memiliki konsep gagasan bahwa 6 mata pelajaran ini bukan mengharuskan siswa belajar isi dari seluruh pelajaran ini namun mengajak anak didik untuk mulai memperoleh kemampuan menjelajah dan memahami fenomena-fenomena alam yang ada disekitar mereka. maka jika anda melihat ada tiga kata yang dipakai disini yaitu examine, understand, & experience. jadi siswa melatih kemudian memahami dan mencoba. jadi pada hakikatnya siswa di Finlandia tidak belajar isi dari buku-buku tetapi berinteraksi dengan ilmu-ilmu tersebut. tentunya dengan fasilitas yang lengkap di setiap sekolah, baik desa maupun kota.
Hal menarik lainnya adalah bagaimana seorang guru mengajar di Finlandia tidak sebatas hanya di dalam kelas. siswa diajak mengekplorasi pengetahuan secara langsung di luar kelas ketika bahan ajar berkaitan dengan lingkungan. jadi dalam hal ini siswa tidak semata-mata belajar teori namun terjun ke lapangan untuk membuka wawasan mereka tentang alam demi mendapatkan pengetahuan dari pengalaman secara langsung.
jangan heran jika di Finlandia ada yang namanya Parental engagement, orang tua siswa juga terlibat dalam pendidikan anak jadi mereka juga secara tidak langsung memiliki ikatan kerjasama dengan sekolah. tujuannya adalah agar memungkinkan pihak sekolah tahu bakat anak secara akurat lebih dini jadi apa yang dibutuhkan si anak lebih tersalurkan di sekolah dengan informasi dari orangtuanya ke pihak sekolah. luar biasa bukan? dan ini mereka lakukan dalam bentuk diskusi bersama orangtua dan staff.
tidak hanya itu, orang tua juga memiliki hak mengevaluasi kurikulum sehingga mereka punya hak memberikan saran untuk perkembangan si anak. ini adalah peran nyata orangtua dalam pendidikan. jadi orantua di Finlandia tidak sekedar mendaftarkan anak ke sekolah dan terus selesai, mereka punya tanggungjawab sebagai orangtua untuk memonitor kemajuan si anak dengan baik melalui keterlibatan memberikan saran dan pendapat untuk perbaikan kurikulum jika dibutuhkan.


Kurikulum di Indonesia
di atas saya sudah menjelaskan bagaimana kurikulum di Finlandia di Jalankan. nah, sekarang mari kita bandingkan dengan kurikulum di Indonesia. di Indonesia kurikulum di atur oleh pemerintah pusat dengan keterlibatan mereka yang ahli dalam bidang kurikulum. kurikulum hanya bisa diubah oleh pemerintah sementara masyarakat hanya menjadi konsumen yang patuh dan taat. orangtua didik juga tidak terlibat apapun dalam hal kurikulum. lantas, bagaimana melihat kurikulum kita berhasil atau tidak? apa cukup dengan nilai UAN?
untuk menjawab pertanyaan diatas mungkin anda bisa menerka-nerka jawaban sesuai pengalaman anda yang sudah lama belajar di Indonesia dan tanyakan pada diri anda sendiri apakah selama ini anda merasa puasa dengan sistem pembelajaran yang ada.
menerapkan kurikulum dari negara maju sah-sah saja selama diterapkan dengan benar dan tepat sasaran. namun dari itu apakah kita siap mengadopsi sistem negara maju yang mereka memang kondisi pendidikan didukung baik oleh sarana dan prasarana dan guru yang memiliki latar belakang keilmuan dan pengalaman yang baik. sementara di Indonesia, secara kasat mata kita bisa melihat bahwa pendidikan kita sama sekali belum merata. Di desa dan di kota sangat berbeda dari segi fasilitas, guru dan lingkungan. jadi jelas kompetensi gurunya berbeda dan sistem pembelajarannya juga akan berbeda.
Dalam hal fasilitas kita masih tertingga jauh dengan negara maju seperti Finlandia. yang saya maksud disini adalah fasilitas sekolah untuk mendukung kegiatan belajar. termasuk laboratorium bahasa, sains dan lainnya. tanpa fasilitas yang memadai sangat sulit untuk menelurkan siswa yang berprestasi dibidangnya. terlebih jika kita berbicara dengan sekolah-sekolah di pinggiran desa yang jauh dari kata wajar dan bahkan jarang mendapat bantuan, dikunjungipun hampir tidak pernah. jadi siapkah mereka memulai kurikulum baru ini.
Guru juga memiliki peran aktif dalam hal menjalankan kurikulum ini. sosialisai tentang kurikulum 2013 ini sangat penting agar guru tidak mengalami “serangan jantung” tiba-tiba. tanpa pengetahuan yang cukup maka guru tidak akan bisa mengaplikasikan kurikulum baru ini. terlebih lagi dalam kurikulum baru ini guru dituntut lebih mandari dan aktif menciptakan bahan. disini guru dituntut melakukan tiga hal yaitu Guide, teach, explain. guru diharapkan dapat membimbing siswa, mengajarkan mereka dan menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. jadi tidak sebatas mengeluarkan isi buku dan dimasukkan ke kepala siswa, tetapi peran aktif guru lebih dituntut untuk menuntun siswa mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapat di sekolah.
Keterlibatan pihak ketiga seperti orang tua juga harus dipikirkan kedepan. jadi tidak hanya sebatas belajar di sekolah dan selesai. orangtua harus diajak terlibat dengan pendidikan anak agar mereka mengerti akan apa yang dibutuhkan anak. dalam hal ini pihak sekolah memiliki peran menghubungkan orangtua dan guru sehingga bakat anak bisa tersalurkan dengan tepat. orangtua tentu mengetahui bakat anak lebih baik dari guru jadi tugas orangtua adalah berkoordinasi dengan guru melalui keterlibatan dalam evaluasi. nantinya ini bisa menjadi masukan bagi guru dan juga pemerintah dalam hal evaluasi kurikulum.
Akhirnya saya berharap pemerintah dapat lebih terbuka dalam hal perubahan kurikulum dengan melibatkan siswa, guru dan masyarakat. karena pada hakikinya merekalah yang lebih berperan dalan hal pendidikan karena mereka lebih tahu dengan pengalaman dilapangan. semoga kurikulum 2013 akan lebih baik dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. semoga!


Thursday, October 16, 2014

Jokowi Jadi Sampul Majalah TIME "A New Hope"



Jakarta - Presiden terpilih Jokowi menjadi sampul majalah terkemuka di AS, TIME. Wajah Jokowi menghiasi halaman depan di edisi Oktober ini. Sebuah tulisan besar terpampang jelas, 'A New Hope'.

Seperti dikutip dari TIME, Kamis (16/10/2014), Jokowi disebutkan sebagai presiden yang menjadi harapan baru bagi Indonesia. Kepada wartawan TIME Hannah Beech yang mewawancarainya, Widodo begitu TIME menulisnya, Jokowi menyebut kalau orang-orang khawatir dengan dia karena selalu blusukan.

"Saya selalu mengecek. Saya ingin orang takut karena ada sidak, dan kemudian mereka akan mendengar instruksi," jelas Jokowi.

"Ekspestasi orang-orang sangat tinggi. Itu berbahaya buat saya, jika saya tidak bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan, apa yang saya janjikan," tutur Jokowi kepada wartawan TIME.

Di tulisan itu, TIME menulis kalau Jokowi akan memimpin Indonesia, negara nomor empat dengan jumlah penduduk terbanyak. Sebuah negara demokrasi yang memiliki kekayaan alam melimpah. Jokowi menang dalam pemilihan presiden Juli lalu, mengalahkan Prabowo Subianto. 

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis