skip to main |
skip to sidebar
Kampus-kampus
perguruan tinggi di Indonesia belakangan ini kosong karena eksodus
dosen-dosen dalam tiga gelombang.Pertama, dosen-dosen itu bereksodus
dari profesi kedosenan. Banyak dosen berpindah menjadi pengurus partai
politik atau pejabat pada birokrasi pemerintah. Meskipun ada banyak
dosen cum politisi-birokrat itu akhirnya berlabuh di penjara karena
korupsi, hasrat untuk hijrah ke pusaran kekuasaan terus meluas. Seorang
rekan dosen yang baru menjadi doktor bercerita, ia ingin menjadi
politisi lewat Pemilu 2014.
Kedua, eksodus dosen dari niat dan
orientasi kehidupan intelektual. Sebagian dosen yang tetap di kampus
umumnya tak lagi berniat menjadi intelektual, tetapi pejabat struktural
kampus. Orientasinya bukan lagi karya penelitian, publikasi ilmiah, dan
pelayanan bermutu kepada mahasiswa, melainkan posisi manajerial.
Hal itu tergambarkan dalam pertanyaan, ”Setelah lulus S-3 jadi apa?”
Seolah-olah seorang doktor harus menduduki posisi struktural di kampus.
Kehausan akan kekuasaan terpancar sama gamblangnya pada kelompok dosen
yang beralih profesi menjadi politisi partai atau pejabat pemerintah.
Seperti koleganya yang telah hijrah ke pemerintahan, saat ini satu demi
satu akademisi cum politisi kampus, yakni rektor dan mantan rektor atau
pejabat perguruan tinggi serta guru besar, sedang diadili dengan dugaan
tindak pidana korupsi (Kompas 25/9/2013). Meskipun demikian, posisi
struktural seperti dekan dan rektor tetap diperebutkan.
Ketiga,
eksodus dosen dari profil dan watak kecendekiawanan. Mereka umumnya
semakin tidak menunjukkan gereget kerja akademik yang menginspirasi.
Sebagian menjalani profesi kedosenan sebagai business as usual dengan
menjadikan tuntutan administratif karier (kepangkatan, sertifikasi,
lembar kinerja) sebagai acuan produktivitas tertinggi dan satu-satunya.
Profil kecendekiawanan tereduksi menjadi sebatas terpenuhinya tuntutan
administrasi karier, yang memang berdampak pada penghasilan dosen. Dalam
konteks ini, lenyapnya watak kecendekiawanan sebagaimana tecermin dalam
pelanggaran etika akademik, misalnya plagiarisme, adalah akibat, bukan
sebab, dari merosotnya mutu profesionalitas dosen sebagai akademisi.
Delegitimasi
Gelombang eksodus dosen menegaskan bahwa pendidikan tinggi kita sedang
menghadapi problem delegitimasi parah. Di tengah lemahnya legasi
intelektual (Kompas, 19/9/2013) dan lenyapnya ruh perguruan tinggi
(Kompas, 17/9/2013), indikasi praktik korupsi oleh insan-insan akademisi
menunjukkan bahwa institusi publik mana pun rentan oleh praktik-praktik
penyalahgunaan wewenang dan anggaran.
Selain itu, jelaslah
bahwa penyebab brain-drain tenaga terdidik Indonesia bukan melulu dampak
negeri-negeri tetangga merekrut dosen-dosen terbaik kita, melainkan
juga menguatnya syahwat akan kekuasaan para akademisi yang kehilangan
jati diri intelektualnya.
Delegitimasi pendidikan tinggi juga
berarti bahwa kampus-kampus kita kosong dari nilai-nilai dan standar
moral untuk rujukan. Gambaran tentang universitas sebagai sumber terang
kebajikan telah tertutupi aneka kasus etika dan pidana yang justru
mengukuhkan pendidikan tinggi sebagai salah satu sumber imoralitas
masyarakat.
Apalagi, sejumlah mantan dosen cum narapidana
korupsi dengan mudah kembali mengajar di kampus sebagai ”orang hebat di
bidangnya”. Atau, dosen yang dipecat karena kasus plagiarisme di suatu
perguruan tinggi dengan mudah diterima di perguruan tinggi lain.
Tak perlu heran jika suatu saat nanti kampus-kampus di Indonesia akan
berisi pengajar berprofil ”istimewa”: mantan narapidana, plagiaris,
politisi kampus, dan mantan pemangku kuasa negeri yang, merujuk Sukardi
Rinakit (Kompas, 8/10/2013), ”pintar tetapi tidak terpelajar”.
Kasus-kasus hukum pada sejumlah pejabat struktural kampus tampaknya
belum mengubah cara pandang sivitas akademika tentang karakter kehidupan
dan kepemimpinan kampus yang seharusnya. Semangat melayani dalam
kesetaraan dan subsidiaritas (primus inter pares) yang menjadi ciri
keutamaan pendidikan universiter digeser oleh semangat saling menguasai.
Prinsip-prinsip kolegialitas dalam kehidupan kampus telah lenyap.
Asketisme
Kampus kosong adalah fenomena pergeseran ”nilai asketisme intelektual”,
yaitu etos kerja akademik yang menuntut ketekunan dan kesetiaan dalam
pencarian kebenaran ilmiah. Menjadi asketis secara intelektual berarti
menapaki alam pikir sunyi, jauh dari gegap gempita apresiasi publik dan
kekuasaan politik.
Pergeseran nilai-nilai asketis ditandai
migrasi akademisi dari elite fungsional menjadi elite politik.
Nilai-nilai asketisme bergeser maknanya karena tekanan ekosistem sosial.
Nilai-nilai asketis suatu generasi, meskipun dapat dibandingkan, tidak
dapat diukur dengan tolok nilai serupa karena setiap zaman punya standar
dan moralitasnya sendiri.
Dengan pemahaman tersebut, fenomena
kampus kosong sebenarnya bukan persoalan individual dosen. Ia persoalan
kolektif dan sistemik, yang bersumber pada ketidaksesuaian perubahan
cepat pranata sosial (misal menyangkut transparansi pengelolaan
perguruan tinggi), dengan perubahan karakter kolektif manusia yang
lambat.
Untuk menghentikan fenomena kosongnya kampus, perlu
upaya sistemis melalui kebijakan hulu hilir yang integral dan bersifat
ngemong. bukan sekadar menghakimi.
Agus Suwignyo, 30 Oktober 2013
(Pedagog Cum Sejarawan Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya UGM)