Friday, November 1, 2013

Bagaimana seharusnya manusia dalam memaknai kehidupannya (theis-non theis)


Banyak perspektif bahwa moral,akhlak,etika,dll hanya didapat jika kita sebagai umat yang beragama .Selebihnya jika kita hidup tidak berlandaskan tuhan maupun agama,kita hanya akan menjadi manusia yang linglung,tidak mempunyai tujuan hidup,tidak mempunyai etika,moral,akhlak dan bahkan mati dengan sia-sia .
Hal tersebut memunculkan pertanyaan tersendiri bagi saya,apa sebenarnya lingkupan moral,akhlak,maupun etika yang dimaksud? Atau sudah sejauh itukah kaum theis dalam memaknai bagaimana liku kehidupan yang sebenarnya ?Bagaimana seharusnya kita sesama manusia  dalam menghadapi tantangan kehidupan?

Saya mempertanyakan keberadaan perspektif kalangan theis tersebut. Jika memang agama dapat bertanggung jawab dalam menjamin masyarakat yang bermoral, ber-etika, maupun berakhlak, mengapa korupsi masih ditemukan disana-sini? mengapa masih ada pertentangan dalam agama? mengapa masih banyak kemiskinan?  kemelaratan? pembunuhan? mengapa masih banyak tindak-tindak criminal lainnya?

Bukankah kesempatan agama yang telah ada selama beribu-ribu tahun lalu masih hitungan gagal dalam mengatasi hal-hal tersebut?
Jika melihat sisi kegagalan agama, dimulai dari tahun 4M pun, kristen dan kepercayaan yahudi sudah menunjukkan kegagalan perannya sebagai agama, yang bahkan jauh sebelum dari zaman 4M tersebut.
Namun ini bukanlah tentang kegagalan agama maupun kegagalan tuhan, hal ini tentang bagaimana cara kita dalam memaknai kehidupan termasuk kodrat kita sebagai manusia .

Sering sekali baik itu kaum atheis, agnostic, free thinker, sampai yg berada diluar lingkup KTYME mendapat celaan dari masyarakat, karena pada hakekatnya, negara kita adalah penganut paham falsafah ketuhanan yang maha esa (KTYME) yang berarti seluruh lapisan masyarakat haruslah ber-Tuhan. Tidak jarang personal-personal  tersebut diasingkan dari tengah-tengah masyarakat dan mendapat perlakuan yang timpang dalam kehidupan bersosialisasi.
Pada umumnya hal tersebut disebabkan oleh perspektif bahwa kaum theis adalah kalangan yang mengenal kebenaran, moral, dan etika .

Namun kembali kepada kodrat kita sebagai manusia, contoh kecilnya, disaat saya berjalan dan melihat seorang pengemis, hal natural yg ada pada diri saya setidaknya menyisihkan jajan agar dia dapat makan dalam 1 hari itu dan bertahan untuk hidup. Disaat saya melihat dan menyaksikan bahwa masih banyak anak-anak yang terlantar dan tidak mempunyai siapa-siapa, terbesit dipikiran saya disaat saya sudah menjadi orang yang sukses nantinya setidaknya saya tidak ingin melihat hal-hal seperti itu lagi. :)

1 pertanyaan, apakah saya harus beragama agar dapat melakukan tindakan-tindakan tersebut ??
Tentu tidak !
Hal tersebut natural adanya karena pada dasarnya kita semua mempunyai dorongan akan hati nurani.
Lalu, apa yang harus disalahkan dari mimpi maupun tindakan saya tersebut? Bahwa saya tidak beragama? Tidak bertuhan? Segala hal yang saya lakukan harus berlandas kepada Tuhan? karena atas nama Tuhan ?

Manusia dilahirkan mempunyai estetika hidup seiring dengan kesadaran akan kehidupan yang sosialis dan hidup berinteraksi terhadap sesama. Masalah etika singkat saja, berada dalam lingkup tindakan-tindakan terpuji/baik dan dapat diterima oleh banyak kalangan.
Etika sekalipun lahir dalam kenaturalan jika kita menjalani hidup sosial dan dapat berinteraksi ditengah masyarakat. Etika dapat digali, tidak selamanya oleh dorongan agama, melainkan bagaimana cara kita untuk menghidupkan nilai-nilai etiket, bukan malah menenggelamkannya sejak mulai dini.

Pertanyaan ini tidak jarang dilontarkan kaum theis kepada kaum non-theis yaitu apakah anda sebatas hidup? bagaimana anda nantinya jika sudah mati? tidakkah anda cemburu kepada kalangan theis yang sedang menanggul kehidupan afterlife/kehidupan setelah kematian?
“kalau tidak percaya kepada afterlife, berarti hidup kalian sangat singkat dong” .

Sampai saat ini,saya masih mentuhankan kutipan-kutipan ini .

Kurt Vonnegut: "Kita di sini untuk saling membantu satu sama lain melewati hal ini, apa pun itu."

Dalai Lama: "Tujuan hidup kita adalah untuk menjadi bahagia."

 Ralph Waldo Emerson: "Tujuan hidup bukanlah untuk menjadi bahagia .Hal ini akan berguna, untuk menjadi terhormat, berbelas kasih, untuk memilikinya membuat beberapa perbedaan yang Anda telah hidup dan hidup dengan baik.."

 Nelson Henderson: "Makna sesungguhnya dari kehidupan adalah seperti istilah menanam pohon, yang di bawah naungan Anda tidak berharap untuk duduk."

 HL Mencken: "Kita datang ke dunia dengan tanpa apa-apa, dan tujuan hidup Anda adalah untuk membuat sesuatu dari ketiadaan."

 Monty Python:  "Ini ada yang sangat istimewa Cobalah untuk bersikap baik kepada orang-orang, menghindari makan-makanan lemak, membaca buku yang bagus setiap sekarang dan kemudian, dan mencoba untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni dengan orang-orang dari semua kepercayaan dan bangsa."


Intinya yaitu, ”disaat saya bahagia saya telah hidup dan mati”.
Semua manusia bebas terhadap eksistensialisnya, namun harus berlandaskan bagaimana kita dalam memaknai hidup yang sosialis dan menghargai keberadaan akan sesama manusia. saya tidak menyalahkan akan kepercayaan apapun itu, termasuk keberadaan surga-neraka yang dimaksud oleh kalangan theis. namun disaat saya menggali suatu kepercayaan yang secara jelas merendahkan kehidupan humanism, kepercayaan tersebut harusnya direkontruksi dan saya jelas-jelas tidak bisa menghargai terhadap keberadaan kepercayaan tersebut .
Kita semua hidup dalam lingkup kodrati manusia yang sesungguhnya, tentunya kita hidup bukan tentang agama yang kita anut.
Sudah saatnya kita bisa saling menjabat tangan dalam lingkup kemanusiaan tanpa memandang perbedaan baik dari segi suku, ras, maupun agama (believe or don’t believe).

Disaat Atheis percaya akan evolusi, sedangkan Theis percaya akan penciptaan Tuhan harusnya perbedaan tersebut berada dalam lingkaran humanism, yang sebaliknya bukan menjadikan perbedaan tersebut sebagai pertentangan konsep maupun kepercayaan yang menyalahi HUMANIS.
HUMANIS adalah jawabannya !!!

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis