Denial: Apa Penyebabnya?
Dalam psikologi, terma “denial” (kata Inggris; artinya “penyangkalan”) dikenakan pada seseorang yang dengan kuat menyangkal dan menolak serta tak mau melihat fakta-fakta yang menyakitkan dirinya atau yang tak sejalan dengan keyakinan-keyakinan, pengharapan-pengharapan, dan pandangan-pandangannya. Orang ini dikatakan sedang berada dalam sikon “in denial”, terkurung dalam denialisme.
Denialisme membuat seseorang hidup dalam dunia ilusifnya sendiri, terpangkas dari realitas kehidupan, dan orang ini nyaris tidak lagi mampu keluar dari cengkeramannya. Pikirannya diisi sendiri dengan, dan dimanfaatkan orang lain sebagai balon yang diisi, banyak khayalan, fantasi, reka-rekan ngalor-ngidul liar tak terkendali, dan teori-teori konspirasi yang tidak berpijak pada fakta dan bukti objektif yang terverifikasi. Inilah hidup “in denial of reality”!
Ketika seseorang hidup dalam denial, “backfire effect” atau “efek bumerang” sangat mungkin terjadi pada dirinya: Alih-alih membenahi dan mengoreksi diri, dia berbalik makin ekstrim dan ngotot mempertahankan pandangan dan keyakinannya semula walaupun pandangan dan keyakinannya ini sudah diargumentasikan dan dibuktikan salah! Semua argumen anda dan bukti-bukti yang anda ajukan untuk menolak pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya seolah berbalik menyerang anda!
Saat terbenam dalam denial, orang hidup dalam ilusi dan delusi. Hidup “in denial”. Orang ini lebih suka memilih mempersalahkan dan menyerang orang lain dengan membabi-buta, alih-alih memeriksa diri sendiri dan kelompoknya. Hidup dalam denial adalah hidup dengan menanggung beban batin dan beban pikiran yang sangat berat. Orang yang hidup dalam denial tentu saja sangat tidak berbahagia. Dirinya sendiri tidak berbahagia, dan juga membuat banyak orang lain tidak berbahagia.
Selain itu, setiap orang yang makin dalam terserang efek bumerang, makin mustahil baginya untuk menemukan kebenaran dan fakta; hidup mereka makin penuh dengan kebohongan, tipu daya, ilusi, delusi, dan makin banyak gangguan mental menyerangnya. Ingatlah, hidup semacam ini bisa sangat pendek dengan anda mati muda tanpa makna; tetapi anda juga bisa berumur panjang tapi nanti ketika anda wafat, anda wafat tanpa makna.
Model Kübler-Ross
Menurut model psikiater Swiss, Elisabeth Kübler-Ross, ada empat tahap yang menyusul dan harus dilalui seseorang yang sedang terpenjara denialisme jika ingin akhirnya keluar dari penjara ini, atau sampai kehidupannya berakhir dengan kepasrahan dan kedamaian.
Pertama, tahap marah atau ngamuk karena menemukan fakta-fakta yang tidak sejalan dengan keinginan-keinginan, pengharapan-pengharapan dan keyakinan-keyakinannya. Dalam tahap ini, akal dan kesadarannya atas fakta-fakta tidak bekerja. Dia hidup dalam bahaya dan sekaligus membahayakan orang lain. Tahap ini bisa berlangsung sangat lama.
Kedua, tahap tawar-menawar, dengan keinginan dan harapan semua hal yang didambakannya akan akhirnya diperolehnya hanya dengan sedikit ongkos dan pengorbanan. Tahap ini pun dapat berlangsung lama, diisi dengan pertarungan antara realitas, keinginan diri sendiri, dan kesediaan memberi sedikit untuk meraih kemenangan.
Ketiga, tahap depresi. Setelah tahap tawar-menawar gagal, si individu masuk ke dalam tahap tekanan jiwa yang besar. Tahap ini adalah tahap paling sulit baginya untuk keluar dari penyangkalannya atas fakta-fakta. Depresi yang tak teratasi bisa bermuara pada tindakan bunuh diri atau berbagai tindakan yang merusak lainnya.
Tetapi jika tahap ketiga ini dengan susah-payah berhasil dilewati, si penderita masuk ke tahap terakhir, menuju kesembuhan, jika dia mau sembuh, atau dengan ikhlas menerima fakta bahwa dia akan mati.
Keempat, si individu akhirnya pasrah, menerima kenyataan yang pahit dan berat, kendatipun kenyataan ini tidak sejalan dengan semua keinginan dan harapannya. Lama kelamaan, dia mulai bisa hidup dalam kenyataan lagi, mula-mula tertatih-tatih. Atau, dia akhirnya rela menerima fakta bahwa penyakitnya akan segera merenggut nyawanya, dan tak lama kemudian dia mati dengan tenang dan ikhlas.
Elisabeth Kübler-Ross menyusun model tersebut dari pengalaman-pengalaman realnya di sekolah kedokteran Universitas Chicago, ketika sedang menangani pasien-pasien yang sedang menderita suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan sedang menanti ajal atau sedang sekarat. Temuan-temuannya dituangkan dalam bukunya On Death and Dying: What the Dying Have to Teach Doctors, Nurses, Clergy and Their Own Families./1/
Pada kesempatan ini, saya mau menelusuri penyebab-penyebab yang lebih luas dari denialisme yang memenjara orang bukan hanya karena mereka sedang menderita penyakit-penyakit yang tidak tersembuhkan. Ada banyak faktor yang dapat mendorong seseorang atau sekelompok orang jatuh ke dalam denial, mulai dari persoalan pribadinya sendiri (misalnya dia menemukan dirinya menderita suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau seorang istri tidak bisa menerima fakta bahwa suaminya telah meninggalkannya) hingga ke persoalan-persoalan sosial yang melibatkan lebih banyak orang dan variabel sosial lain (misalnya agama, ideologi, kekuasaan, ketamakan, atau persoalan ekonomi, dll).
Denialisme dalam intensitas keparahan yang berbeda khususnya sangat kuat menguasai orang yang beragama dalam zaman modern ini, ketika banyak klaim keagamaan tak sejalan lagi dengan fakta-fakta objektif dalam masyarakat atau fakta-fakta sains, yakni fakta-fakta apapun yang diungkap dan dibeberkan lewat metodologi saintifik; dan juga ketika agama-agama banyak dipakai sebagai ideologi-ideologi sektarian separatis pelegitimasi pendapat dan aksi politik yang tidak sedikit di antaranya menghalalkan jalan kekerasan dan pembunuhan sebagai sebuah metode pergerakan.
Ketimbang dengan terbuka menerima fakta-fakta objektif dalam masyarakat dan fakta-fakta sains, dan meninjau kembali keyakinan-keyakinan keagamaan mereka, orang yang beragama memilih denial, termasuk para pemimpin mereka yang mengklaim diri atau diklaim sebagai orang-orang yang terpelajar dan saleh.
Pertanyaannya: Mengapa banyak sekali para penganut agama-agama memilih denial dengan sadar, ketimbang menerima fakta-fakta dengan terbuka? Berikut ini sejumlah jawabannya.
Indoktrinasi intensif
Indoktrinasi kuat doktrin-doktrin keagamaan yang sudah dialami sejak kecil adalah salah satu penyebab denial pada orang beragama yang sudah dewasa. Sejak kecil, orang beragama apapun sudah diindoktrinasi dengan kepercayaan-kepercayaan bahwa agama mereka adalah agama yang paling sempurna dan tak bisa salah selamanya. Agama-agama lain bercacat dan salah semua. Indoktrinasi ini menyebabkan mereka tidak bisa menerima fakta-fakta bahwa setiap agama apapun selalu punya kekurangan dan keterbatasan, bahkan bisa tidak relevan lagi dalam dunia modern.
Tidak banyak orang beragama yang sudah dewasa yang bisa keluar dari penjara doktrin yang sudah ditanamkan kuat-kuat dalam pikiran mereka sejak kecil. Hanya segelintir! Dari yang segelintir ini, sebagian kecil mungkin pindah agama, dan sebagian terbesar memilih jadi ateis diam-diam yang lembut dan sebagian lagi menjalani kehidupan sebagai para ateis terang-terangan yang kerap vokal dan agresif.
Ada juga yang tidak mau menjadi ateis, tetapi juga tidak mau diam abadi dalam satu rumah teis, tetapi memilih menjadi sosok-sosok pemikir bebas yang mencari dan menggali nilai-nilai positif yang bisa masih ada dalam agama-agama, dan juga dalam ateisme, lalu mengembangkan nilai-nilai positif ini bagi 4 milyar orang dewasa yang kini masih beragama. Para pemikir bebas ini hanya bebas dalam berpikir dan mencari kebenaran dan fakta, tetapi mereka dengan sadar dan ikhlas mengikatkan diri pada kebajikan-kebajikan universal dan cinta kasih kepada segenap makhluk hidup.
Cuci otak
Indoktrinasi yang masif dan intensif, yang dilakukan dengan segala cara yang tidak membuka peluang apapun untuk orang bertanya, meragukan dan menolak, akan mengubah total isi dan cara kerja otak para korban. Inilah yang dinamakan cuci otak atau brainwashing. Para neurosaintis dan psikolog sosial sudah lama mempelajari cuci otak sebagai sebuah kegiatan propaganda yang berbahaya dan keji, yang merampas dan mematikan kebebasan dan hak setiap orang untuk menentukan jalan kehidupan dan isi pikiran mereka sendiri. Mari kita perhatikan hal berikut ini yang ditulis oleh neurosaintis Kathleen Taylor tentang cuci otak./2/
“Pada intinya cuci otak adalah suatu ide yang sangat jahat, yang didasarkan pada impian untuk sepenuh-penuhnya mengontrol pikiran manusia, yang mempengaruhi kita semua dengan cara-cara tertentu. Cuci otak pada dasarnya adalah penyerbuan terhadap privasi, yang berusaha mengendalikan bukan hanya bagaimana orang bertindak, tetapi juga apa yang mereka pikirkan. Cuci otak menimbulkan ketakutan-ketakutan kita yang terdalam karena mengancam akan menghilangkan kebebasan dan bahkan identitas manusia.
Kami menemukan bahwa cuci otak adalah suatu bentuk ekstrim pengaruh sosial yang menggunakan mekanisme-mekanisme yang makin banyak dikaji dan dipahami para psikolog sosial. Pengaruh sosial tersebut dapat sangat bervariasi dalam intensitasnya. Dan kami mengeksplorasi sejumlah situasi yang melibatkan individu-individu, kelompok-kelompok kecil, dan keseluruhan masyarakat-masyarakat. Dalam semua segmen ini, tipe-tipe pengaruh yang kami sebut cuci otak dicirikan oleh penggunaan kekuatan pemaksa atau tipu daya atau keduanya sekaligus.”
Identitas individual dan komunal
Agama dengan kuat juga membentuk identitas seseorang, khususnya dalam masyarakat tradisional. Keluar dari agama, berarti kehilangan identitas, dan kehilangan identitas sama artinya dengan dicabutnya kemanusiaan seseorang. Agama sebagai identitas yang harus dipertahankan, juga salah satu penyebab denial dalam diri orang beragama.
Ada orang yang secara personal cukup mudah mengubah identitas keagamaan mereka; ada juga yang sangat sulit. Tetapi sampai wafat banyak orang kokoh mempertahankan identitas keagamaan mereka apapun juga yang sudah dan sedang terjadi pada agama anutan mereka sejak kecil. Neuroplastisitas otak kalangan yang terakhir ini mengalami kendala untuk berfungsi dengan baik, bisa karena bentuk pendidikan, pembelajaran, pengasuhan, kegiatan bermain, dan pergaulan yang sudah diterima dan dialami mereka sejak kecil memang telah mematikan kelenturan dan kreativitas kerja sel-sel saraf dalam otak mereka.
Jangan ganggu aku dengan kenyataan! Aku sudah senang hidup dalam duniaku sendiri! Sana, sana, pergi, jangan ganggu kenikmatanku! Fakta-fakta menggigit aku!
Agama bukan saja membentuk identitas pribadi seseorang, tapi juga identitas komunal, yang harus dijaga dan dipertahankan, apapun juga taruhannya, termasuk menindas kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan atau yang berbeda keyakinan.
Demi tetap setia pada identitas komunal ini, atau demi solidaritas komunal, seorang beragama yang sudah dewasa dapat terpaksa melakukan denial atas fakta-fakta nyata yang sebagian besar orang ketahui dan akui, misalnya fakta bahwa kelompok-kelompok lain yang berbeda adalah juga sesama warganegara dan sesama manusia, yang juga berhak hidup dengan bebas.
Denial dilakukan bukan saja karena seseorang mau tetap setia pada identitas komunal, tapi juga karena komunitasnya mengontrolnya dengan kuat. Ketimbang menolak dan melawan kontrol kuat komunitasnya atas dirinya, yang akan berakibat fatal bagi kehidupannya dalam banyak segi, juga segi ekonomi, seorang beragama lebih memilih hidup aman dengan melakukan denial. Dalam konteks ini, memilih hidup aman dan melakukan denial, dan takluk total pada komunitas pengontrol, ketimbang membuka diri pada fakta dan berani berbeda dari komunitas, adalah suatu keputusan politis individual seorang beragama, yang dengan sadar diambilnya, meskipun hati nuraninya mungkin menentang keputusannya ini.
Kondisi dikucilkan atau dibuang dari suatu komunitas sosial tempat seseorang dilahirkan, dibesarkan dan hidup, dengan akibat kehilangan semua status, hak dan kewajibannya, dinamakan ostrasisme (Inggris: ostracism; kata kerja Yunani ostrakizein bermakna “membuang”, “mengucilkan”). Benarlah pernyataan psikolog dari Universitas Purdue, Prof. Kip Williams, bahwa “Ostrasisme bukan semata-mata suatu bentuk kematian sosial, tapi juga berakibat kematian. Sang organisme tidak bisa melindungi dirinya sendiri lagi dari para predator, tidak dapat memperoleh makanan yang cukup, dan lazimnya mati dalam waktu singkat.”
Tidak heran, cuma para pemberani yang tegar, tangguh dan siap menderita yang bisa menjadi para pelintas batas-batas komunitas-komunitas sosialreligius asali mereka, lalu masuk ke dunia-dunia lain yang berbeda dalam sangat banyak hal.
Janji-janji agama
Selain memberi identitas dan manfaat ekonomi, agama juga, umumnya dalam batas-batas tertentu, tetapi bisa juga sangat kuat, memberi rasa aman dan rasa tenteram lewat janji-janji tertentu yang diberikannya, misalnya janji hidup akan diberkati dan berkelimpahan dan selalu sukses, atau janji akan masuk surga dan menerima pahala besar setelah kematian, apalagi mati sebagai martir. Mereka yakin sekali bahwa “there is a pie in the sky if we die!”
Meskipun rasa aman dan tenteram ini seringkali terbukti palsu dan meninabobokan orang, dan hujan duit dari langit tidak kunjung turun, seorang beragama lebih memilih melakukan denial atas fakta-fakta, ketimbang kehilangan rasa aman dan rasa tenteram yang diberikan janji-janji keagamaan ini. Setuju atau tidak setuju, benarlah apa yang pernah dikatakan bahwa agama adalah sejenis narkotik yang mampu mencandu dan membius orang. Ketika kita terbius, kita kehilangan kontrol atas diri kita sendiri.
Tidaklah salah jika ada sebuah ucapan yang sangat menyentak, ini: “Pakailah agama sebagai pemoles wajah dan kedok bagus anda jika anda ingin menggiring sekumpulan besar manusia yang tidak terpelajar dan yang terpelajar, khususnya manusia-manusia yang bodoh, ke tujuan-tujuan politik sektarian anda dan ke pemuasan habis-habisan kerakusan anda terhadap uang!”
Yuup, agama-agama bisa menjadikan anda manusia-manusia besar, para mahatma, seperti Martin Luther King, Jr., Desmond Tutu, atau Mahatma Gandhi, atau Dalai Lama XIV, atau Abdurrahman Wahid. Tetapi sebaliknya juga betul: agama-agama bisa menjadikan anda manusia-manusia kerdil sekerdil-kerdilnya, bahkan semut-semut dan kunang-kunang jauh lebih besar jika dikomparasi dengan anda yang kerdil ini. Tetapi, tentu saja, anda, rekan-rekan saya, tidaklah kerdil semacam ini.
Fanatisme
Fanatisme yang terbangun dalam mental si agamawan lewat indoktrinasi sejak kecil, juga harus ditunjuk sebagai penyebab denial dalam dirinya. Semakin seseorang “committed and fanatic” pada agamanya, semakin banyak denial yang dilakukannya, alhasil semakin menjauhkannya dari realitas objektif.
Fanatisme terhadap apapun selalu merusak mental seorang manusia; membuatnya tidak bisa belajar kearifan dan pengetahuan dari pihak-pihak lain yang berbeda. Fanatisme apapun membuat seseorang hanya mau memakai sebuah kacamata kuda hitam tebal dalam memandang realitas dunia yang sebetulnya dipenuhi warna-warni bak setengah lingkaran pelangi yang muncul sehabis hujan dan langit cerah.
Sumber besar denialisme adalah fanatisme buta yang dibangun secara bertahap lewat kegiatan cuci otak. Fanatisme buta ini menutup orang dari pengetahuan objektif mengenai berbagai realitas kehidupan, dari hati nurani yang tulus dan cerdas, dan dari martabat diri yang semustinya dijaga setiap orang yang sadar.
Kepentingan duit
Jangan dilupakan, agama juga adalah bisnis, yang darinya orang menerima manfaat-manfaat dan keuntungan-keuntungan ekonomi, besar atau kecil. Meragukan agama sendiri, apalagi meninggalkannya, akan dapat berdampak fatal pada kehidupan ekonomi seorang beragama. Dapat terjadi, alih-alih menjadi tuan atas uang, para agamawan lebih cenderung memilih untuk menjadi hamba uang. Demi mendapatkan dan mempertahankan keuntungan-keuntungan ekonomi, apalagi keuntungan ekonomi yang besar yang diberikan agamanya, seorang beragama jelas akan memilih denial ketimbang bersikap kritis pada ketamakan dirinya sendiri, pada agamanya, atau terbuka pada fakta-fakta sosial dalam masyarakatnya.
Tidak salah jika banyak orang bijak yang menyatakan bahwa Tuhan sebenarnya bagi manusia pada umumnya adalah ketamakan pribadi. Ketika ketamakan pribadi ini mengendalikan seseorang, maka bukan lagi agamanya yang mengendalikan dirinya, tetapi sebaliknya: dirinyalah yang mengendalikan agamanya. Ini memang luar biasa: agama cuma jadi alat kamuflase, dan kebanyakan umat tidak bisa melihat kamuflase ini. Di tangan orang-orang semacam inilah yang ada di seluruh dunia, agama-agama terus tergerus dan mengalami pendangkalan substansi, makna, fungsi dan tujuan.
Dalam zaman modern ini, orang yang sangat kaya tetapi juga sangat dermawan bagi dunia seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg tentu saja sangat langka. Bagi mereka, yang sekarang ini dijuluki para kapitalis filantropis, orang itu baru betul-betul kaya raya kalau mereka rela menyumbangkan nyaris seluruh kekayaan besar mereka untuk pencerdasan manusia sedunia dan pembangunan peradaban dan kehidupan yang makin baik bagi sebanyak mungkin orang. Orang yang sudah sangat kaya tetapi masih terus tamak mencari dan menghimpun kekayaan buat kepentingan diri mereka sendiri lewat segala cara, adalah orang yang masih sangat kekurangan, masih sangat miskin, tidak pernah sungguh-sungguh kaya raya.
Mungkin sosok besar ini seekor organisme alien, atau seekor rayap raksasa, pemakan kertas! Aliens semacam ini banyak loh.
Orang kaya yang semacam ini tidak berbeda pada hakikat dasarnya dari orang yang makan sangat banyak tetapi bertubuh tetap kurus karena mengalami gangguan parah pada organ pencernaan dan sistem metabolisme tubuh mereka. Merekalah para kapitalis rakus, serakus-rakusnya; dan mereka memenuhi dunia kita dewasa ini. Mereka menutup mati hati dan mata akal mereka sehingga mereka tidak bisa atau tidak mau melihat dan menerima fakta bahwa kapitalisme rakus sedang memperlebar jurang pendapatan per kepala antara kaum kaya dan kaum miskin. Mereka sungguh-sungguh hidup dalam denial, yang mereka nikmati saja dengan asyik seperti asyiknya orang mengunyah permen karet yang baru dimasukkan ke dalam mulut.
Kepentingan politik
Agama adalah politik, karena setiap agama, baik agama kaum minoritas maupun agama kaum mayoritas, adalah sebuah pranata sosial yang ingin mengatur dan mengendalikan masyarakat ke arah tujuan-tujuan yang diatur dalam kitab suci ataupun yang digariskan para pemimpin umat. Orang yang mengklaim bahwa agamanya hanya bergerak di bidang kerohanian saja dan disiarkan untuk membawa orang ke surga after death, sangat tidak jujur, atau mungkin naif, sebab dia tidak menyadari bahwa di ujung setiap kegiatan siar agama yang sukses menunggu persoalan politik yang besar: bagaimana mengatur masyarakat yang telah dikuasai suatu agama, dengan menenggelamkan agama-agama lain yang sudah ada sebelumnya.
Nah, telah banyak terjadi, demi mempertahankan dan menggolkan tujuan dan kepentingan politik agama mereka, kaum agamawan lebih memilih melakukan denial, ketimbang menerima fakta-fakta yang tak sejalan dengan kepentingan politik mereka.
Denialisme karena fanatisme sempit dan picik tumbuh bukan saja dalam dunia agama-agama, tapi juga dalam dunia ideologi-ideologi besar. Seseorang memilih untuk melakukan denialisme bukan hanya karena dia mau membela dengan membuta agamanya sendiri, tetapi juga karena mau membela habis-habisan partai politiknya sendiri, aliran ideologisnya, atau sistem ekonominya sendiri (entah kapitalisme atau sosialisme, dll), atau apapun yang berhubungan dengan ide-ide lain yang diabsolutkannya sehingga menjadi ide-ide yang bantut dan tertutup dan dapat mengancam perdamaian global.
Dalam dunia politik, apalagi jika orang mencari duit di dunia ini, denialisme akan membuat siapapun membutakan diri terhadap fakta-fakta objektif yang dikuak oleh ilmu pengetahuan mengenai banyak hal: rekam jejak sejarah kehidupan sang tokoh pemimpin yang diidolakan, ideologi politis separatis yang dibela, partai-partai dan kelompok-kelompok yang menjadi mitra koalisinya, kampanye-kampanye hitam yang mempermainkan berbagai isu SARA, serangan politik uang, keutuhan negara sendiri, perilaku anti-toleransi, kasus-kasus KKN, dan banyak lagi.
Sekarang ini, misalnya, sangat banyak para ideolog yang menolak fakta real bahwa perubahan iklim sedang terjadi di planet Bumi kita, yang berdampingan dengan pemanasan global, sebagai efek gas rumah kaca. Kondisi buruk ini akan berakibat sangat mengerikan bagi umat manusia dan semua spesies lain dalam beberapa dekade mendatang jika gas CO2 dan gas-gas lain yang masuk ke atmosfir Bumi tidak berhasil dikurangi dalam jumlah yang signifikan.
Gas CO2 khususnya yang makin menumpuk dan tersebar di atmosfir Bumi kini sedang membentuk semacam selimut tebal yang menghalangi pembuangan sebagian panas dari muka Bumi (yang berasal dari cahaya Matahari, banyak produk teknologi, atau berbagai kegiatan banyak pabrik, dll) yang seharusnya mengalir keluar, masuk ke angkasa luar. Akibatnya, panas itu memantul balik ke permukaan Bumi; alhasil, menaikkan suhu global yang selanjutnya sedang mencairkan es-es di kutub-kutub Bumi.
Dalam beberapa dekade mendatang, jika pemanasan global yang makin meningkat ini tidak dapat diatasi dengan efektif, banyak bagian benua-benua akan tenggelam. Perpindahan penduduk dunia besar-besaran dan kerusakan berbagai ekosistem akan terjadi dengan akibat-akibat yang sangat mengerikan dalam nyaris semua bidang kehidupan.
Yang sangat memprihatinkan adalah kenyataan bahwa masih ada sangat banyak orang yang menyangkal fakta perubahan iklim dan pemanasan global ini. Mereka yang disebut sebagai “climate change deniers” sering menggunakan data tidak lengkap atau data yang setengah benar atau dipalsukan dalam banyak perdebatan politik tentang fakta perubahan iklim dunia ini.
Perubahan iklim itu real, dan sedang mengancam banyak spesies!
Saya pernah mendengar suatu alasan keagamaan dipakai para penyangkal ini, yakni kepercayaan keagamaan pada janji Allah bahwa air bah tidak akan pernah lagi melanda permukaan Bumi sebagaimana diucapkan Allah sehabis air bah melanda dunia konon pada zaman Nabi Nuh seperti dituturkan dalam kitab Kejadian (9:8-17). Mereka memilih untuk jauh lebih percaya pada janji Allah dalam kitab suci Yahudi ini ketimbang pada para saintis masa kini yang menyimpulkan sesuatu berdasarkan bukti-bukti.
Pada 13 November 2014 sekitar 400 pendemo membenamkan kepala mereka masing-masing ke dalam pasir di Pantai Bondi, Sydney, Australia, sebagai aksi protes simbolik kepada para penyangkal perubahan iklim, sebelum pertemuan para pemimpin negara-negara G-20 yang tahun itu akan berlangsung di Brisbane. Empat ratus orang ini bersujud hingga kepala terbenam dalam pasir tentu bukan untuk menyembah Nyai Loro Kidul di Pantai Bondi itu!
Mereka tidak sedang menyembah sang Dewi Laut loh! Mereka sedang berdemo!
Dangkal atau salah pengetahuan
Jangan juga dilupakan, denial dilakukan orang beragama karena si agamawan ini tidak atau kurang memiliki ilmu pengetahuan, sehingga buta pada fakta-fakta, atau terus-menerus dicekoki banyak pengetahuan yang salah atau pseudosains.
Ketimbang berlelah-lelah mempelajari sains terus-menerus yang membuat orang dapat berpandangan makin jauh dan luas dan mengenal fakta-fakta dengan objektif, seorang agamawan umumnya lebih suka melakukan denial atas semua fakta sains. Denial ini dilakukannya dengan berlindung pada teks-teks suci yang olehnya tidak pernah dengan kritis dipertanyakan kebenarannya, relevansinya, manfaatnya buat dunia dan umat manusia, dan nilai-nilai kebajikannya.
Dalam sikon ini, agama yang mustinya membawa setiap penganutnya ke dalam dunia yang terang dan ke dalam kecerdasan, malah menjerumuskan mereka ke dalam dunia gelap kebodohan dan kedangkalan. Banyak organisasi dengan basis keagamaan (terang-terangan atau tersamar) didirikan dan bergerak untuk tujuan ini: memperbodoh manusia dengan data dan info-info palsu tentang fakta-fakta.
Misalnya organisasi keagamaan yang sangat aktif mempropagandakan doktrin keagamaan Bumi Datar, Flat Earth, yang jelas-jelas melawan sangat banyak fakta sains yang sudah tidak bisa dibantah lagi. Begitu juga, sains evolusi biologis, evolusi kosmik, dan evolusi sosialbudaya, yang sudah teruji oleh banyak bukti lintasilmu, dilecehkan dan dibuang begitu saja oleh sangat banyak penganut agama-agama karena mereka telah menjadi korban cekokan pseudosains yang dinamakan kreasionisme, “Intelligent Design”, dan “Bumi Usia Muda” (Young Earth), maksudnya: umur planet Bumi kita, bagi mereka, baru 6.000 tahun, paling banter 10.000 tahun, padahal lewat kajian ilmiah kita ketahui bahwa usia sistem Matahari kita, termasuk planet Bumi, 4,6 milyar tahun./3/
Bagaimana kalangan Bumi Bulat dan kalangan Bumi Datar bisa berdamai? Akar persoalannya bukan pada fakta sains bahwa Bumi itu bulat, tapi pada rasa terancam dalam diri kalangan pembela Bumi Datar bahwa ideologi religiopolitik mereka akan lenyap!
Sesungguhnya, pseudoscience atau junk science sedang mengancam generasi muda banyak agama di dunia dewasa ini, yang lebih memilih denial ketimbang menerima fakta-fakta ilmiah.
Pseudoscience atau sains gadungan, sesuai namanya, adalah sekumpulan kepercayaan atau tindakan-tindakan yang dengan keliru dipandang ilmiah, padahal tidak dibangun berdasarkan fakta-fakta ilmiah dan metode-metode riset ilmiah. Cara paling mudah untuk mencirikan suatu sains itu sains gadungan adalah dengan memperhatikan sikap dan perilaku si penyusunnya: jika dia merasa selalu terancam dengan teori-teorinya dan tidak bersedia ditantang oleh para saintis lain untuk dengan terbuka membuktikan kebenaran atau kesalahan teori-teorinya, dan kegunaannya untuk dunia keilmuwan yang lebih luas dan terus berkembang lewat debat tesis versus antitesis, maka dia adalah seorang saintis gadungan./4/
Jika anda belum tahu apa itu junk science, baiklah saya jelaskan. Sulit mencari terjemahan yang pas untuk junk science. Perbolehkan saya menyebutnya “sains rongsokan”, yaitu hal-hal yang diklaim ilmiah tetapi sesungguhnya tidak pernah terbukti, atau telah terbukti salah total, tidak memiliki basis keilmuwan yang akurat, dan, ini yang terpenting, digunakan untuk menggolkan tujuan-tujuan sosioekonomi dan sosiopolitik seseorang atau sekelompok orang. Yang mereka perjuangkan dan kedepankan bukan ilmu pengetahuan, tetapi ideologi atau worldview mereka; dan sains digunakan sekenanya hanya sebagai pupur kosmetik saja.
Pada intinya, junk science adalah kepentingan sosiopolitik dan ekonomi yang dibungkus tidak rapi dengan dalih-dalih rongsokan yang diklaim ilmiah dengan memakai landasan bukti-bukti, data serta info palsu, reka-rekaan atau periferial. Para pembela junk science ya bukan saintis, tetapi orang-orang yang mencari dan mengejar keuntungan ekonomi dan politik lewat proposisi-proposisi teoretis yang mereka bangun sendiri yang diklaim ilmiah oleh mereka sendiri. Para junk scientists adalah para pelacur dalam dunia sains, sama sekali bukan para saintis. Tetapi, pengaruh mereka bisa luas khususnya di kalangan yang buta ilmu pengetahuan, tetapi sangat fanatik mempertahankan pandangan dunia atau ideologi mereka, entah ideologi sekular atau ideologi keagamaan.
Amygdala yang tidak aktif
Kita semua sudah tahu bahwa sesuatu yang kita lakukan terus berulang-ulang, akan menjadi bagian dari kebiasaan kita yang akhirnya mendarahdaging, lalu menjadi watak yang menetap sebagai bagian dari jati diri kita. Begitulah yang akan terjadi pada anda jika anda tidak henti-hentinya menyangkal fakta-fakta. Hidup “in denial of reality” akan menjadi watak anda.
Jika sesuatu itu A, tetapi anda terus menyangkalinya dan anda terus ngotot menyatakan itu B, maka denialisme sudah menjadi kebiasaan anda. Mengatakan B tentang sesuatu yang sebenarnya A, sama artinya dengan berdusta, berbohong, dalam tingkat patologi mental yang sudah parah.
Satu kali bohong, amygdala sangat aktif memperingatkan anda. Sering bohong, amygdala akhirnya tidak aktif lagi. BOHONG atau SANGKAL FAKTA pun menjadi WATAK anda! OTAK anda menyesuaikan diri pada kemauan dan kelakuan anda loh!
Para neurosaintis sudah menemukan bukti-bukti bahwa ketika anda pertama kali berdusta atau menyangkal fakta, emosi anda terusik dan memperingatkan anda bahwa kelakuan anda itu tidak benar dan tidak sesuai dengan citra diri dan martabat anda. Pada saat kondisi ini terjadi dalam mental anda, pusat emosi dalam organ otak anda yang dinamakan amygdala terpindai sangat aktif.
Tetapi ketika anda selalu melawan peringatan mental yang muncul lewat aktivitas kuat amygdala, dan mengabaikan peringatan ini berkali-kali, maka aktivitas amygdala makin lemah, dan akhirnya menjadi kurang atau tidak aktif pada saat-saat selanjutnya ketika anda berdusta atau menyangkali fakta-fakta. Saat amygdala sudah tidak aktif lagi, maka berbohong dan menyangkal fakta-fakta sudah menjadi kebiasaan anda, dan lebih buruk lagi: sudah menjadi bagian dari watak anda. Tentang kajian ini, lihat Neil Garrett, Stephanie C. Lazzaro, et al., “The Brain Adapts to Dishonesty”./5/
Dusta, kebohongan, dan hidup dalam penyangkalan atas fakta, tidak melukai akal dan batin anda lagi. Gerigi tajam cakram nurani anda semua sudah tumpul, tidak menusuk, dan tidak menimbulkan rasa sakit lagi saat berputar; dan yang menumpulkannya adalah anda sendiri dan kelompok anda. Anda bayangkanlah, masyarakat jenis apa yang terbentuk jika semua warganya sudah terperosok ke dalam kondisi mental semacam ini! Inilah yang saya sudah sebut di awal tulisan ini sebagai efek bumerang sebagai muara dari terus-menerus hidup in denial of reality. Tentu saja menyedihkan, dan menyeramkan.
Ingatlah, penyangkalan atas fakta atau dusta dan kebohongan itu bak sebuah bola salju yang sedang menggelinding di atas hamparan luas salju: semula bolanya kecil, makin lama niscaya makin besar, makin besar, dan terlihat mengerikan! Inilah A SNOWBALL EFFECT.
Ini juga ibarat anda tergelincir dari puncak sebuah lereng luas yang licin. Makin lama, makin ke bawah, tubuh anda menggelinding dengan makin cepat, dan bisa berakhir dengan benturan keras tubuh anda dengan sebuah batu besar atau sebuah pohon besar, yang akan merenggut nyawa anda. Inilah yang disebut A SLIPPERY SLOPE.
“Playing the victim”
Dalam kondisi yang sudah sangat parah, hidup in denial pada akhirnya bermuara bukan saja pada sindrom efek bumerang, tetapi juga pada apa yang para psikolog dan psikiater namakan sindrom self-victimization atau playing the victim atau victim playing. Prosesnya umumnya berlangsung begini: Si A yang keji, jahat dan tidak bermoral, yang nuraninya sudah mati, sudah berulangkali mau mengorbankan si B, si C, si D hingga si Z, dan komunitas-komunitas mereka masing-masing, lewat cara-cara yang keji, bejad, tak masuk akal, dan melawan hukum.
“Self-victimization” alias pura-pura menjadi korban atau mangsa, padahal predator!
Si A semula sangat yakin segala cara yang dia telah dan sedang jalankan akan berhasil membuat lawan-lawannya menjadi korban-korban yang jatuh bergelimpangan dan sekarat. Tetapi ketika waktu berjalan, calon-calon korban si A malah terlihat bertahan kokoh dan akhirnya malah berada di atas si A. Melihat situasi dan kondisi yang berbalik arah ini, dan mengetahui dirinya bisa terancam bahaya dan pembalasan, si A yang mulai stres berat segera memainkan peran sebagai korban atau mangsa lawan-lawannya semula, tidak lagi sebagai predator atau pemangsa atau orang yang akan mengorbankan. Ibaratnya, anak-anak panah yang semula dia lepaskan dengan kencang ke lawan-lawannya kini dia lesatkan kepada dirinya sendiri. Self-victimization. Caranya?
Ya, si A dengan licik mulai menyusun dan menyebarkan narasi-narasi fiktif lewat berbagai saluran yang menggambarkan dirinya seolah-olah sedang menjadi bidikan lawan-lawannya itu untuk dikorbankan dan dibinasakan. Korban sekarang diarahkannya sendiri kepada dirinya sendiri, bukan kepada lawan-lawannya. Dalam ketidakberdayaan dan bayangan jelas akan mengalami kekalahan yang besar, tujuan si A menebar narasi-narasi rekaannya itu tidak lain adalah untuk, lewat kamuflase, menarik perhatian orang, simpati, belas kasihan dan pembelaan masyarakat atau orang lain kepada dirinya sendiri. Jika si A makin piawai memainkan peran sebagai korban, maka si A lazimnya dijuluki sebagai korban profesional.
Untungnya, dalam kebanyakan kasus, strategi self-victimization atau playing the victim tidak efektif, alias gagal total. Ya namanya juga playing alias pretending. Tidak ada orang yang cerdas dan tahu sikon yang real yang mau masuk perangkap strategi orang yang telah kalah ini. Ketika ini terjadi, denial dalam dirinya makin kuat dan makin kuat terus. Perlu ada pertolongan terulur kepadanya dari para pakar kesehatan.
Disonansi Kognitif
Ada suatu sindroma lain yang juga masuk ke dalam kategori denialisme, yakni sindroma Disonansi Kognitif (DK). Uraian yang segera saya berikan ini adalah parafrasis dari teori DK yang awalnya diajukan oleh Leon Festinger dkk./6/
Setiap gerakan sosial (politis, ekonomis, ekologis, militeristik, dll) pasti memiliki dan mempertahankan seperangkat ide-ide, keyakinan, komitmen, visi dan misi, cita-cita, dan sarana serta wahana pelegitimasi ide-ide ini, yang keseluruhannya lazim dinamakan ideologi.
Banyak komunitas sosial ideologis mengalami fakta real yang berat dan membuat hati dan pikiran galau dan tertekan ("kognitif"), yakni ideologi mereka gagal diwujudkan, atau meleset dan lari dari fakta-fakta nyata ("disonansi") dalam masyarakat dan dunia.
Alih-alih bersikap luwes mencari dan merumuskan ideologi baru, kegagalan ideologis yang telak ini malah dengan sangat kuat mendorong komunitas sosial pendukungnya untuk mati-matian mencari dan menemukan berbagai cara dan jalan untuk tetap mempertahankan komunitas mereka dan membenarkan ideologi mereka yang sudah jelas-jelas gagal atau meleset.
Usaha yang paling umum dilakukan adalah merasionalisasi atau mengakal-akali ideologi dan pergerakan mereka yang sudah gagal telak atau sudah lari dari fakta-fakta.
Ketimbang pakai nalar dan analisis rasional, para korban DK memakai cara akal-akalan. Kiat akal-akalan ini menjadi benteng perlindungan mereka dalam sikon mental DK yang sedang mereka tanggung dengan sangat menyakitkan.
Dekonstruksi dan rekonstruksi rasional, bernalar dan ilmiah tidak mereka adakan atas ideologi mereka. Ketika akal-akalan mereka tidak diakui dan tidak diterima dunia luar (tentu saja!), mereka malah makin percaya bahwa akal-akalan mereka makin benar; dan kalau orang lain menolak mereka, mereka akal-akalan lagi dengan mendeklarasikan keyakinan fanatik mereka bahwa "Tentu saja kami ditolak, karena kami komunitas istimewa (dapat dibaca: komunitas milik Tuhan), sedangkan mereka yang di luar tidak istimewa (dapat dibaca: komunitas kafir, kepunyaan Setan)."
Lalu, sebagai kompensasi dari kegalauan dan depresi kognitif yang timbul karena kegagalan atau disonansi ideologi dan keyakinan mereka semula, mereka mengumbar desakan depresi kognitif ini keluar, lewat kegiatan besar merayu dan mencari para pengikut baru lewat propaganda gencar ideologi mereka yang sudah keliru dan, karenanya, diakal-akalin supaya tampak tidak keliru. Tujuan evangelisasi propagandis ideologi ini ya jelas: untuk mendapatkan ketenangan batin jika masih ada orang yang mau masuk ke komunitas mereka yang faktual sudah gagal.
Bagi mereka, sekalipun ideologi mereka sudah terbukti salah dan lari dari fakta, tapi jika ada anggota-anggota baru yang masuk, itu adalah bukti bahwa ideologi mereka yang sudah salah itu dapat dipercaya lagi sebagai sebuah ideologi yang benar. Buktinya? Tuh ada petobat dan anggota baru. Jadi, sudah salah tapi tetap yakin benar. Tentu saja, petobat atau anggota baru ini juga mengidap sindroma DK.
Kondisi itu bak seekor kucing yang sibuk bermain mengejar buntutnya sendiri. Tak ada jalan keluar. Tak ada yang diraih. Tapi hanya muter-muter di tempat, puyeng sendiri, mabuk sendiri, stres sendiri, karena mereka terus-menerus lari dari fakta yang telah sangat melukai mereka. Itulah kondisi mental kognitif siapapun yang terkena sindroma DK. Pada satu sisi, mereka hebat karena gigih; pada sisi lainnya, mereka buta dan kerdil karena gigih dan bertahan dalam kegagalan dan dalam pelarian dari fakta-fakta yang sedang dan terus menggigit dan mengunyah jantung mereka.
Mental pecundang
Ketahuilah juga, siapapun yang mati-matian hidup “in denial” dan membela taklid buta ideologi apapun (yang religius dan yang non-religius), pada akhirnya akan menjadi para pecundang, kalah, dan mau tak mau akan berakhir dalam kematian dan kepunahan, secara individual dan secara kolektif. Mengapa?
Ini jawabannya: Adaptasi, fleksibilitas, keterbukaan terus-menerus pada pembaruan, penyesuaian dan perubahan, dan dinamika, akan membuat siapapun dan ideologi apapun bertahan, berkembang dan makin bermanfaat buat pembangunan kemanusiaan dan peradaban. Inilah hukum evolusi yang berlaku di seantero jagat raya. Evolusi alamiah membutuhkan waktu sangat panjang. Kini, dengan bantuan sains-tek modern, kita dapat mempercepat jalannya evolusi dalam bidang apapun, menjadi superevolusi, termasuk mempercepat evolusi fisik dan mental Homo sapiens lewat teknik rekayasa genetik yang dinamakan DNA-editing (CRISPR-Cas9) yang kini tekniknya sudah makin bervariasi dan makin cermat.
Sesuatu yang hidup itu pasti berubah; hanya sesuatu yang sudah mati tidak berubah lagi. Hanya sesuatu yang berubah, akan punya masa depan, karena dimensi ruangwaktu dalam jagat raya ini tidak statis, tetapi dinamis, terus mengembang, tanpa garis akhir.
Jalan keluar
Apakah ada jalan keluar untuk kita bisa terbebas dari kekuatan denialisme dalam segala bidang kehidupan kita? Menurut saya, ada.
Hanya orang yang melihat hidup beragama sebagai hidup dalam suatu ziarah yang belum selesai, dan yang terus-menerus membuka diri pada berbagai kemungkinan baru di masa depan, kemungkinan-kemungkinan baru yang juga ditawarkan sains modern, dan menempatkan kejujuran, kebaikan hati dan kemanusiaan jauh di atas agama atau ideologinya, akan bisa luput dari kekuatan denialisme, yang setiap saat bisa mendatangi dan mengancamnya.
Hanya jika orang sudah bisa berpindah dari kesadaran naif dan picik, masuk ke kesadaran kritis dan membebaskan, dalam hubungan dirinya dengan dunia ide-ide apapun atau dengan kondisi-kondisi apapun, akan dapat lepas dari denialisme lalu akan dapat hidup dengan autentik dan bermarwah. Di tangan orang-orang semacam inilah agama, politik dan ide-ide besar dan kehidupan akan memberi manfaat besar bagi umat manusia.
Supaya dalam segala hal anda tidak terjatuh ke dalam denialisme, ujilah setiap fenomena lewat tiga sarana berikut ini dengan seksama.
Pertama, pakailah sarana ilmu pengetahuan saat anda mau mengetahui mana fakta dan mana fiksi, mana sejarah dan mana mitos, dan dengan landasan ilmu pengetahuan ambillah fakta dan buanglah fiksi, raihlah sejarah dan singkirkan mitos.
Kedua, pakailah sarana hati nurani yang jujur dan cerdas dalam anda menjatuhkan pilihan saat anda berhadapan dengan kebenaran atau kebohongan, kebaikan atau keburukan. Hati nurani dapat diandalkan sejauh menerima masukan tentang berbagai hal dari ilmu pengetahuan.
Ketiga, jadikanlah martabat diri anda sebagai fondasi moral saat anda harus memilih apapun, alhasil anda tidak akan menjual diri anda berapapun harga yang ditawarkan. Dengan mempertahankan martabat atau marwah diri anda, anda akan selalu bisa menjadi seorang mahatma.
Selain itu, kita bisa melakukan sesuatu yang akan menolong teman-teman atau anggota keluarga kita yang sedang hidup dalam penyangkalan atas fakta-fakta dan kebohongan yang terus-menerus. Yaitu, kita perlu membangun komunitas-komunitas alternatif yang berbeda ideologi, pilihan pengetahuan, nilai-nilai dan cara hidup, yang menolak denialisme dan menerima fakta-fakta dengan terbuka. Orang-orang yang sedang terpenjara dalam denial perlu kita bawa dan libatkan dalam pergaulan yang menetap dan percakapan yang ramah dan bersahabat dengan anggota-anggota komunitas-komunitas alternatif ini, untuk mereka akhirnya dapat memandang dunia ini dengan lebih luas dan tidak melarikan diri dari fakta-fakta, lalu mengalami perubahan dan kesembuhan mental.
Penutup
Jika ada orang yang ngotot bertahan terus dalam denial, ini nasihat saya: Jika anda punya mata, janganlah melihat. Jika anda punya telinga, janganlah mendengar. Sebab anda mau lihat dan dengar hanya hal-hal yang anda mau lihat dan dengar saja, padahal realitas yang ada berbeda sama sekali. Hiduplah terus di luar masyarakat umum, di luar realitas objektif, sampai anda wafat tanpa makna sama sekali. Anda pernah hidup tapi seolah anda tak pernah hidup. Anda pernah ada, tapi seolah anda tidak pernah lahir. Kesia-siaan.
Tetapi jika anda terbuka menerima fakta-fakta, sekalipun fakta-fakta ini tidak sejalan dengan kemauan dan keyakinan anda semula, atau semula menyiksa anda, dan anda seterusnya berubah, dan mau hidup realistik, anda adalah seorang besar.
Akhirulkalam, mari kita keluar dari denialisme, jangan biarkan diri kita terus dipenjara olehnya, supaya kita bisa menyumbang sesuatu yang bermakna dan agung buat dunia ini, buat ilmu pengetahuan, buat agama-agama, buat ide-ide besar, dan buat kemanusiaan global.
31 Juli 2012
Salam,
ioanes rakhmat
Note:
Editing mutakhir 25 Januari 2017
Catatan-catatan
/1/ Lihat Kübler-Ross, On Death and Dying: What the Dying Have to Teach Doctors, Nurses, Clergy and Their Own Families (New York, etc.: Scribner, 1969; edisi tahun 2014 dilengkapi kata pengantar oleh Ira Byock. Edisi paperback Agustus 2014). Lebih jauh, lihat juga Kübler-Ross dan David Kessler, On Grief and Grieving: Finding the Meaning of Grief Through the Five Stages of Loss (kata pengantar oleh Maria Shriver; New York, NY.: Scribner, 2005. Edisi paperback Agustus 2014), khususnya bab 1 (hlm. 7-28).
/2/ Kathleen Taylor, Brainwashing: The Science of Thought Control (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2004; edisi paperback 2006), hlm. ix-x.
/3/ Keyakinan bahwa planet Bumi baru berusia 6.000 tahun sudah dimunculkan berabad-abad lampau, persisnya pada abad ke-17, oleh literalis Katolik yang menjadi uskup agung Almargh yang bernama James Usher. Menurutnya, persis di hari Minggu, 23 Oktober 4004 SM, Tuhan Allah menciptakan langit dan Bumi. Pada sisi lain, dengan mengkaji terutama meteor-meteor, dengan menggunakan teknik radioactive dating, yang khususnya terfokus pada isotop-isotop yang tertinggal dari peluruhan radioaktif, para ilmuwan tiba pada kesimpulan bahwa sistem Matahari kita berusia 4,6 milyar tahun.
/6/ Gambaran tentang DK ini parafrasis dari teori DK yang disusun Leon Festinger, H.W. Riecken dan S. Schachter, When Prophecy Fails: A Social and Psychological Study of a Modern Group That Predicted the Destruction of the World (New York: Harper and Row, 1956). Pemaparan lebih jauh teori ini, lihat Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Stanford, California: Stanford University Press, 1957). Pengenaan teori ini pada kekristenan perdana, lihat John G. Gager, Kingdom and Community: The Social World of Early Christianity (New Jersey: Prentice Hall, 1975) 37-49.