Showing posts with label Humanisme. Show all posts
Showing posts with label Humanisme. Show all posts

Friday, November 14, 2014

The Look Of Silence

'The Look of Silence': The film making Indonesia face its brutal history


By Dean Irvine, CNN

Skewed view:
Skewed view: "The Look of Silence" examines the little spoken of massacres that took place in Indonesia in 1965 and 1966


(CNN) -- The Graha Bhakti Budaya (or GBB as it's locally known), is a care-worn, 1960s slab of a building, popular as part of Jakarta's largest arts center, but outwardly unremarkable.
Yet what happened inside on Monday, the Indonesian premiere of documentary "The Look of Silence", has for some made it more than a theater space and transformed it into a site of huge importance for the development of Indonesia's democracy.
"That screening on Monday night was a big, big moment," says 54-year-old Irawan Karseno. "There are deep wounds in our nation since 1965 and this movie is like a healing process."
As head of the Jakarta Arts Council, Karseno was instrumental in bringing the film, Joshua Oppenheimer's companion piece to last year's Oscar-nominated "The Act of Killing", to a captivated audience of around 1,500 people.

Oppenheimer's 2012 film helped open up public discussion about a troubling and little-spoken of period in Indonesia's recent history: human rights groups estimate between 500,000 to 1 million Indonesians were killed by military death squads during anti-communist purges in 1965 and 1966 that helped cement the "New Order" regime of General Suharto.
While "The Act of Killing" told the story from the killers' side, "The Look of Silence" takes an unflinching look at the situation from the viewpoint of the survivors. The film's protagonist is Adi, a 45-year-old optometrist, who tries to understand why his parents remain so 
Adi studies Joshua Oppenheimer's footage of perpetrators of the 1965 Indonesian genocide. Photo: Courtesy Lars Skree/Final Cut for Real











deeply traumatized by his brother Ramli's murder in 1965, and the culture of fear and lies he believes pervades his community and country.
Adi's unflinching gaze when he confronts members of the militia involved in his brother's brutal death is juxtaposed with the attitude of perpetrators and survivors in the film, and many Indonesians as a whole, who prefer to say the "past is the past".
"But the younger generation are more open-minded," says Karseno. "I was only five years old when these events happened and I'm still ashamed by them.
"Next year is 50 years since (the killings of) 1965. How can we prepare for next year? How can we see the events more sensitively? I hope it can be like when Germany came to terms with the holocaust and they had a healing process with each other."

There are deep wounds in our nation since 1965 and this movie is like a healing process.
Irawan Karseno, Jakarta Arts Council

After a multi-year investigation, the country's National Commission on Human Rights in 2012 declared the massacre a gross violation of human rights. Yet Indonesia is still a distance from any official truth and reconciliation process. No one has been brought to trial for the alleged crimes. The Attorney General's office has not yet replied to CNN's requests for comment.
Many survivors' families across Indonesia still live in fear of reprisals if they should speak openly against those responsible for the crimes.
During filming Oppenheimer made sure precautions were taken should things take a turn for the worse; a getaway car was on hand, no-one carried ID, phones were data-free and in some cases Adi's family were on standby at the airport to leave at a moment's notice.

Adi confronts a high-ranking death squad commander and present-day paramilitary leader. Photo: Courtesy Lars Skree/Final Cut for Real


"It's a terrible situation that Adi and his family had to move away like fugitives (after the film was made), especially when he was just trying to create the conditions for forgiveness," says Oppenheimer.
"But it shows just how far Indonesia has to go before it can be called a genuine democracy with rule of law and that because of the impunity the perpetrators and gangsters have Adi's family has to run away, when they've done only the most beautiful and dignified thing."
For Oppenheimer, Monday's premier was the most important screening of either "The Act of Killing" or "The Look of Silence" (which has appeared at a number of international film festivals), as it was hosted by Indonesian government agencies-- the Jakarta Arts Council and the National Human Rights Commission.

It shows just how far Indonesia has to go before it can be called a genuine democracy with rule of law. 
Joshua Oppenheimer, director, The Look of Silence

While "The Act of Killing" first had to be shown at private screenings, even public showings initially had to have heavy security, "The Look of Silence" premier was publicly announced, proving to Oppenheimer, that a space is opening up for the country to continue to heal.
In December community screenings will take place across Indonesia, and Karseno, encouraged by the recent election of Joko Widodo as president, feels optimistic that the country can get over its "mental block."
"We are pushing hard for Jokowi (Joko Widodo) to see the film," says Karseno.
"We have a problem in our culture. It's not just about 1960s for us, but how we as a country are connected to the rest of the world."
According to Karseno the atmosphere on Monday was only tense with expectation rather than from any safety worries, and two screenings had be shown as twice as many people turned up as could be accommodated by the auditorium.
Adi was one of those present at the premier.
"After watching the film and seeing the victims I felt sad," says Karseno. "I then met Adi and I just cried."

Wednesday, November 5, 2014

Desiderius Erasmus

id


Erasmus mempunyai hubungan yang ganjil dengan tanah kelahirannya. Beliau senang menyebut dirinya sebagai Desiderius Erasmus asal Rotterdam namun demikian beliau kerap mengkritik perilaku kasar dan selera yang buruk dari orang-orang Rotterdam dan warga Belanda.
Beliau lahir mungkin pada tahun 1469 sebagai anak tidak sah seorang pendeta. Hal ini berarti bahwa masa depan sebagai pendeta merupakan pilihan yang tak terelakkan baginya. Setelah menyelesaikan pendidikan, salahsatunya di seminari Persaudaraan Kehidupan Umum, beliau bergabung dengan biara Agustinus di Steyn dekat Gouda. Erasmus sangat terkesan dengan perpustakaan di biara tersebut dan menenggelamkan dirinya dengan menekuni buku-buku antik kesusastraan dunia melalui karya-karya klasik ternama dan karya-karya para humanis Italia. Kelompok yang terakhir, melalui pendekatan yang kritis dan penuh pembelajaran, seakan-akan menghadirkan masa lalu terasa begitu dekatnya.
Kehidupan biara dengan aturan dan tugas-tugas yang ketat terasa menyesakkan bagi Erasmus. Pengetahuan Erasmus yang luar biasa tentang Bahasa Latin memberinya kesempatan untuk meninggalkan biara. Beliau berkelana mengelilingi Eropa sebagai seorang cendekiawan mandiri, hidup dari penghasilannya sebagai penulis dan belas kasihan para pengagumnya yang semakin banyak.Erasmus memelihara hubungan dengan teman-temannya, para cendekiawan yang sependapat dengannya dan para pemberi informasi melalui jejaring korespondensi yang ekstensif.
Pada tahun 1500 beliau menulis Adagia, salah satu buku pertama yang paling laku di dunia, diuntungkan oleh adanya penemuan mesin cetak yang masih baru. Kumpulan tulisan klasik tersebut memberi pelajaran kilat pada para pembacanya tentang gaya hidup dan cara berpikir kaum humanis. Selain itu, Erasmus menerbitkan buku tentang etiket, panduan untuk para kepala negara, dan dialog serta brosur yang ditujukan untuk mendidik para bangsawan dan rakyat biasa agar menjadi penganut Kristen yang baik dan taat.

Holbein-erasmus.jpg

Erasmus menjadi orang pertama yang mengaplikasikan pendekatan kritis humanis dalam tulisan-tulisannya tentang agama Kristen. Beliau mempelajari Bahasa Yunani dengan tujuan spesifik agar mampu membaca tulisan-tulisan para pendiri Gereja dan teks Perjanjian Baru dalam bahasa aslinya. Hasil jerih payahnya membuahkan serangkaian pemikiran kritis terhadap tulisan-tulisan Kristen lama, termasuk edisi baru Perjanjian Baru dalam Bahasa Yunani dengan penerjemahan baru dalam Bahasa Latin. Melalui Novum Instrumentum ini, Erasmus secara sengaja mengambil jarak dari Vulgata (terjemahan resmi dari gereja) dan mempertahankan haknya untuk bersikap kritis terhadap Injil dengan tujuan memperkuat persepsi tentang keyakinan. Erasmus berharap bahwa pada suatu hari semua orang akan mampu menyitir Injil –petani di belakang bajaknya, penenun di belakang mesin tenunnya dan pengelana dalam pengembaraannya; beliau bahkan yakin bahwa kaum wanita pun seharusnya membaca Injil. Idealismenya adalah pencapaian kedamaian, pengabdian penuh yang berakar pada refleksi batin.
Saat terjadinya polarisasi yang dimulai tahun 1517 dengan reformasi agama oleh Martin Luther, Erasmus tidak mau menunjukkan keberpihakannya – atau mungkin tidak mempunyai nyali. Beliau tidak siap untuk berpisah dengan Gereja Katolik dan berharap bahwa perbedaan yang muncul dapat diatasi dengan alasan yang masuk akal. Sikapnya mengundang kritik dari kedua belah pihak. Erasmus meninggal dunia pada musim panas tahun 1536 di rumah seorang tukang cetak Froben, di Basel.

Monday, November 3, 2014

Feminisme dan feminis

Feminisme itu sebuah ideologi dan gerakan untuk menempatkan kedudukan perempuan setara dengan kedudukan pria, dan memperlihatkan kaum perempuan mampu hidup mandiri tanpa pria pendamping manapun.

Feminisme dapat dikata menemukan kembali harga diri dan kehormatan diri serta martabat dan harkat perempuan yang dalam sejarah panjang perkembangan peradaban manusia pernah diperlakukan sebagai insan rendahan, kelas dua atau kelas tiga dalam masyarakat patriarkal.

Jadi, feminisme itu sebetulnya gerakan dan paham yang bagus. Sangat demokratis dan humanitarian, karena memperjuangkan manusia perempuan untuk diterima setara dengan manusia lelaki dalam kedudukan dan peran mereka. Sebagaimana dalam setiap ideologi dan gerakan, dalam feminisme juga ditemukan berbagai aliran yang masing-masing menekankan segi-segi khusus gerakan, dan setiap aliran ini membentuk perilaku dan watak yang spesifik dari setiap feminis. 

Feminis adalah setiap orang, lelaki maupun perempuan, yang berkomitmen untuk merealisasi ideal-ideal dan tujuan-tujuan gerakan feminisme. Umumnya, yang biasa disebut feminis adalah kaum perempuan dalam gerakan feminisme.

Banyak feminis yang saya kenal berwatak ramah, elegan dan simpatik, sangat terbuka jika diajak berdiskusi hal apapun, termasuk jika yang mengajak orang lelaki yang sinis atau anti terhadap gerakan dan ideologi feminisme. Tidak sedikit di antara mereka adalah juga para ibu rumah tangga, selain banyak juga yang menjomblo. Feminis jenis ini melihat manusia lelaki dan manusia perempuan saling melengkapi dan harus bekerja sama untuk memajukan peradaban insani. Mereka tidak melihat dunia hitam atau putih yang terpisah dan terbelah. Perpaduan hitam dan putih, atau (memakai terminologi filsafat Timur) perpaduan dinamis Yin dan Yang, dilihat mereka sebagai sesuatu yang indah dan powerful.






Tetapi, dalam pengalaman saya, ada juga perempuan feminis yang berangasan, suka marah, dan terlalu percaya diri dan tertutup. Mereka yang tergolong feminis jenis ini sangat tidak suka bahkan sering berang dan emosional kalau dirinya dibicarakan dalam hubungan dengan kaum pria, termasuk jika prianya suaminya sendiri. Feminis jenis ini kerap kelihatan radikal dan penuh permusuhan terhadap dunia, yang dipersepsi mereka dengan keliru sebagai para penindas manusia perempuan. Feminis jenis ini umumnya memilih hidup tidak menikah seumur kehidupan mereka. Tetapi jika mereka menikah, mereka tidak mau direndengkan dengan suami mereka yang sah. Ini aneh, bukan?

Pengalaman pertama saya berjumpa dengan perempuan feminis pemberang terjadi di negeri Inggris. Ketika itu, saya ikut hadir dalam suatu acara gerakan feminis internasional, yang panitianya umumnya perempuan Inggris. Saya terlibat percakapan yang hangat dengan dua perempuan feminis saat itu. Mengasyikkan. Tetapi ketika saya bertanya kepada keduanya tentang bagaimana keadaan keluarga mereka, khususnya suami dan anak-anak mereka, dan bolehkah saya berkenalan dengan mereka, keduanya (saya sudah tahu mereka menikah) langsung berubah tidak ramah dan sekaligus berang. Saya kaget dan tidak paham. Langsung saya menghentikan percakapan.

Bagi kita sebagai orang Timur, adalah lazim dan baik jika kita bertanya tentang keadaan keluarga seseorang yang kebetulan kita jumpai, tanpa bermaksud mencampuri urusan rumah tangganya. Tetapi mungkin, hal ini dinilai tidak lazim dan terlalu rewel dan mau mencampuri urusan privat, oleh para perempuan Inggris yang feminis. Saya kadangkala ditanyai oleh para ibu dan para bapa yang kebetulan sudah lama tidak jumpa atau malah baru jumpa, bagaimana keadaan rumah tangga, dengan istri dan anak-anak, dengan pekerjaan, dengan kesehatan, dengan masa depan, dll. Saya malah senang ditanyai demikian. Bagi saya mereka ramah dan simpatik serta peduli. Jadi saya jawab dengan ringan dan happy, tanpa beban apapun.

Ternyata pengalaman pertama saya itu bukan yang terakhir. Saya menemukan makin jelas, memang ada banyak feminis yang memandang kehidupan mereka sebagai peperangan melawan dengan agresif struktur dan sistem yang mereka dengan sepihak nilai sebagai penindas perempuan, termasuk melawan orang-orang yang mendukung struktur dan sistem ini. Ideologi feminis mereka memang ideologi yang agresif dan ideologi kemarahan, alhasil mereka juga terbentuk sebagai pribadi-pribadi yang agresif dan suka berang.  

Apakah para feminis pemberang itu berwatak demikian hanya karena faktor-faktor bawaan lahir saja, sebagai perangai yang diwariskan, dan tidak ada hubungannya dengan ekologi sosial yang di dalamnya mereka hidup dan menerima ideologi feminisme aliran tertentu? Jawabannya sebenarnya sudah jelas. Selain faktor genetik (disebut juga faktor "nature"), watak dan kelakuan manusia juga dibentuk oleh faktor ekologi sosial dan ideologi-ideologi yang dianut dalam ekologi ini. Faktor kedua ini biasanya disebut sebagai faktor "nurture", atau dalam istilah genetikanya dinamakan faktor "epigenetik". Siapa diri kita, dibentuk oleh faktor genetik sekaligus oleh faktor epigenetik. Begitu juga halnya dengan watak dan kelakuan para feminis: watak dan kelakuan setiap feminis dibentuk selain oleh faktor genetik mereka, juga dibentuk oleh lingkungan sosial feminis yang di dalamnya mereka hidup dan oleh ideologi-ideologi feminis yang mereka yakini dan mereka jalankan. 

Jika anda feminis, termasuk jenis feminis apakah diri anda?

Apapun pilihan jenis feminisme anda, sebaiknya kita semua menyadari pentingnya feminisme berubah, dari gerakan kultural dan sosiopolitik yang penuh kemarahan (karena berakar pada sejarah yang penuh kepahitan), menjadi gerakan intelektual yang cerdas, kritis, jelas, ekspresif sekaligus santun, tenang, terpelajar dan bersahabat, sebagaimana patutnya sikap dan penampilan para intelektual. Jika perubahan ini terjadi, saya kira feminisme akan jauh lebih mudah dipahami, dimengerti dan diterima dalam masyarakat bahkan akan lebih kuat dan lebih luas didukung, termasuk dalam dunia Islam masa kini.
 



Tuesday, October 14, 2014

Hate Speech

Hate Speech yang artinya Ucapan Kebencian juga ada landasannya yaitu sebuah fakta yang menunjukkan bahwa baik itu sebuah lembaga/institusi, pemerintahan, agama, personal, dll sedang melakukan tindakan berdasarkan sebuah aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang implikasinya merugikan khalayak orang banyak. 

Misal, Seperti Ucapan Kebencian terhadap Civitas Dei oleh kaum-kaum sekuler pada abad pertengahan, yang dimana Civitas Dei melabeli diri sebagai negara tuhan ( negara agama ). Didalam unsur logikanya, sangat wajar bagi kaum sekuler untuk melakukan hate speech kepada otoritas agama kristen, karena bagaimanapun didalam negara yang pluralis legalisasi agama untuk menguasai negara adalah suatu unsur yang tidak manusiawi & tidak menghargai status dan posisi masyarakatnya.

Taliban disebut sebagai teroris, serigala, tidak berperikemanusiaan, monster, jelas karena gerakan taliban memang mulai dari awal sudah sangat tidak manusiawi dan merugikan banyak orang melalui tindakan-tindakan terorismenya.


Pol Pot, Hitler, dan Mussolini dikatakan sebagai manusia monster, penggenosida, binatang, pecundang, dll, juga karena disertai landasan fakta yang terjadi sebelumnya. Kesimpulannya "Hate Speech" itu adalah sebuah hal yang wajar, selama substansi yang menjadi sasaran hate speech terkait memang berdasarkan fakta-fakta yang jelas-jelas merugikan bagi kemanusiaan.
.
Sementara, kenapa merasa tersinggung jika hate speech sedang ditujukan publik kepada anda? Tentu ada yang tidak beres dengan anda bukan?


Monday, October 13, 2014

Australian researchers have created the most accurate quantum computing technology to date

Researchers have developed the first silicon quantum computer building blocks that can process data with more than 99 percent accuracy, overcoming a major hurdle in the race to develop reliable quantum computers.


Lattice_blue3_smallzoomout_1_web3
Artist impression of an electron wave function (blue), confined in a crystal of silicon-28 atoms (black), controlled by a nanofabricated metal gate (silver)

Researchers from the University of New South Wales (UNSW) in Australia have achieved a huge breakthrough in quantum computing - they’ve created two kinds of silicon quantum bit, or qubits, the building blocks that make up any quantum computer, that are more than 99 percent accurate.
These quantum bits are made from silicon, the same material that makes up the transistors in today’s computers and phones, but the information in these bits is processed and stored in atoms, which means they’re capable of storing exponentially more information. In fact, if scientists can reliably create a functioning quantum computer out of these quantum bits, it has the potential to be millions of times more powerful than today’s most powerful supercomputers.
"For quantum computing to become a reality we need to operate the bits with very low error rates," said Andrew Dzurak, the director of the Australian National Fabrication Facility at UNSW, where the devices were made, in a press release.
Now the teams from UNSW have managed to create not just one, but two quantum bits with more 99 percent accuracy, and their results have been published simultaneously in Nature Nanotechnology (here and here).
“We have demonstrated that with silicon qubit we can have the accuracy needed to build a real quantum computer," Dzurak told ABC Science. "That's the first time this has been done in silicon.”
The interesting thing is that the two groups, who both work in the same laboratories, used different approaches to come to the same result - one team embedded a phosphorous atom into the silicon, and the other, led by Dzurak, embedded an artificial atom.
"We've now come up with two parallel pathways for building a quantum computer in silicon, each of which shows this super accuracy,” said Andrea Morello from the UNSW School of Electrical Engineering and Telecommunications, who led the phosphorous atom team, in the press release.
Morello’s team based their advances on previous research on phosphorous atom quantum bits. Prior to this, the team had only managed to achieve around 50 percent accuracy with these chips, but by purifying the silicon that the atoms were embedded in, they have now achieved an incredible 99.99 percent accuracy.
The postdoctoral researcher who was lead author on Morello’s paper explained in the press release: “The phosphorus atom contains in fact two qubits: the electron, and the nucleus. With the nucleus in particular, we have achieved accuracy close to 99.99 percent. That means only one error for every 10,000 quantum operations.”
Dzurak’s team was able to create an “artificial atom” quantum bit that’s remarkably similar to the transistors used in commercial electronics. Today’s transistors work by turning on or off a flow of electrons, resulting in binary zeros and ones. In Dzurak’s quantum bit, this transistor has just one electron trapped inside, which can be on, off or in a superposition.
"This lets us use exactly the same sort of transistor that we use in computer chips and operate it as a qubit, opening the potential to mass-produce this technology using the same sort of equipment used for chip manufacturing,” Dzurak told ABC Science.
Both the breakthroughs were achieved by embedding the atoms in a thin layer of specially purified silicon, which contains only the silicon-28 isotope. Naturally occurring silicon is magnetic and therefore disturbs the quantum bit, messing with the accuracy of its data processing, but silicon-28 is perfectly non-magnetic.
The teams were also able to set a new record for how long a silicon quantum system retains information, known as coherence time.
“Coherence time is a measure of how long you can preserve quantum information before it’s lost," said Morello in the press release. And the longer coherence time, the easier it is for computers to perform complex calculations.
The researchers were able to store quantum information in the phosphorous nucleus for 35 seconds - something unheard of in quantum computing.
"Half a minute is an eternity in the quantum world. Preserving a ‘quantum superposition’ for such a long time, and inside what is basically a modified version of a normal transistor, is something that almost nobody believed possible until today," said Morello.
The research teams are now working together to take the best elements from each system to make a superior quantum bit. They’re hoping it will be the model that will be used to finally create the real quantum computers the world’s been waiting for.
“For our two groups to simultaneously obtain these dramatic results with two quite different systems is very special, in particular because we are really great mates,” said Dzurack in the press release. Aw, we love collaboration.
Find out more about the breakthrough in the video below:






CC : http://www.sciencealert.com.au/news/20141310-26322.html

Monday, November 25, 2013

STOP BULLIYING PADA WARIA

Empat penari meliuk-liukkan badannya dengn gemulai dan luwes di atas panggung mengikuti irama lagu yang ceria. Dengan senyum yang tak henti menghiasi wajah-wajah manis keempat penari tersebut, tubuh mereka terus bergerak kesana kemari dengan lincahnya. Sehabis mereka menari penonton pun langsung memberikan tepukan meriah yang diiringi dengan yel-yel menggoda para penari.

“Cantik-cantik banget ya”, celetuk salah seorang penonton, “siapa yang dapat menyangka kalau mereka adalah waria?” lanjutnya.

“Iya ya. Cewek asli saja sampai kalah cantik,” kata yang lain mengomentari. Wah, sama sekali tidak terlintas sedikitpun di pikiranku kalau ternyata keempat penari tersebut adalah waria. Takjub dan kagum memenuhi benakku.

Komunitas waria, setuju atau tidak mereka ada diantara kita. Era tahun 70an hingga 90an waria hanya bisa kita lihat di jalanan sebagai pekerja seks dengan dandanan mencolok dan pakaian seksi. Tak jarang mereka menjadi bahan olok-olokkan masyarakat di sekitarnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak waria yang mulai membenahi hidup mereka, sehingga di era globalisasi ini kita tidak lagi melihat waria hanya sebagai komunitas marginal yang hanya bisa mejeng di jalanan mengadu nasib, namun sekarang sudah ada waria yang hidup layak diantara masyarakat walau jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari. Ada yang bekerja sebagai penata rias, designer, pemain sinetron, aktifis, penulis, bahkan ada juga yang bekerja ditempat-tempat umum seperti salon, cafe, restoran, dan tempat hiburan. Jumlah waria pun terus bertambah seiring dengan perkembangan jaman, hingga pernah muncul guyonan : “Waria tidak memiliki rahim, tapi kok jumlahnya terus bertambah, ya?”

Hingga saat ini kota metropolitan Jakarta masih merupakan tempat favorit bagi waria untuk mengadu nasib. Padahal tidak sedikit waria yang menyadari kerasnya kehidupan di ibu kota Indonesia ini. Minimnya bahkan seringnya akses waria ‘ditutup’ untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan kehidupan yang lebih baik, serta masih tingginya penolakan terhadap waria oleh masyarakat, membuat mereka kembali memilih mejeng di jalanan untuk mencari nafkah memenuhi kehidupannya sehari-hari.

Ironisnya, waria yang bekerja di tempat layak pun masih sering mendapat perlakuan yang tidak adil karena dituntut untuk berpenampilan sebagai laki-laki, sehingga banyak yang mundur dari pekerjaannya dan kembali turun ke jalanan. Padahal keinginan mereka sangatlah sederhana. Ingin diakui sama dengan masyarakat umum layaknya. Hal inilah yang merupakan impian setiap waria. Baik dalam hal pergaulan, bermasyarakat, maupun kesempatan bekerja.

Aku teringat ketika berkunjung ke kota Bangkok, Thailand. Saya bertemu dan kenalan dengan seorang waria yang bekerja di sebuah bank besar dan ternama di Bangkok. Tak tanggung-tanggung, jabatannya adalah Branch Manager. Dia menjelaskan kalau di Thailand, orang dinilai dari kemampuan otak dan pikirannya, bukan dari penampilannya. Karena penampilan akan mengikuti pikiran, bukan pikiran yang mengikuti penampilan. Itulah sebabnya kesempatan bekerja di Thailand terbuka bagi siapa saja dari segala lapisan masyarakat tanpa harus mempermasalahkan gender dan orientasi seksual. Sungguh suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan keadaan di Indonesia. Dimana isu gender dan seksualitas masih menjadi permasalahan yang tidak ada habisnya. Jangankan dari segi kesempatan bekerja, waria-waria yang masih suka mejeng di jalanan saja masih sering mendapat perlakuan tidak pantas oleh pihak-pihak tertentu.

Di Taman Lawang saja yang merupakan tempat favorit waria sering terjadi peristiwa yang mengenaskan. Masih jelas terbayang peristiwa meninggalnya seorang waria akibat tenggelam karena panik ketika terjadi penggrebekan hingga terjun ke kali yang hitam legam di malam hari. Kemudian hilangnya sosok sahabat yang penuh keceriaan akibat meninggal dalam kasus penembakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Juga penyerangan-penyerangan yang sering dilakukan oleh beberapa ormas yang berbasiskan agama dalam pada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh waria. Belum lagi peristiwa-peristiwa pemukulan, pengeroyokan, dan tindak kekerasan terhadap waria lainnya yang sering terjadi dimana-mana. Tragisnya sering kali kasus-kasus tersebut hilang begitu saja tanpa pernah ada penyelesaiannya. Hal ini tentunya membuat waria merasa dirugikan, sedangkan para pelaku hidup bebas tanpa pernah merasa terbeban atas perbuatan yang dilakukannya.

Sampai kapankah waria di negeri kita ini terus hidup dalam penindasan? Mereka juga ciptaan Tuhan yang memiliki hak yang sama dengan komunitas lainnya sebagai bangsa Indonesia. Mereka juga memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Perbedaan nyata pada waria hanyalah penampilan dan ekpresi gendernya saja. Apakah hal tersebut dianggap suatu kesalahan? Suatu dosakah jika seseorang ingin terlihat menarik? Bukankah tubuh kita adalah hak asasi kita sepenuhnya? Lantas kenapa berekspresi menjadi suatu hal yang terlarang? Sekarang saatnya kita bertindak, sebagai wujud kepedulian pada teman-teman waria. Mari kita wujudkan : STOP BULLIYING PADA WARIA !!!


 
Oleh : Ryan Hutagalung
Copy From : Gita Yoanita Rachman (Facebook) 

Sunday, November 10, 2013

NEGARA SEKULER

Pada senja 14 Juli 1942, lelaki tirus dengan secarik kain penutup tubuh, menyusuri tanah yang kerontang berdebu. Mereka yang tak mengenalnya akan menyangka lelaki ini sebagai gembel peminta-minta. Namun, “gembel“ bernama Mahatma Gandhi ini tidak sedang meminta-minta. Dia baru saja memutuskan sesuatu yang akan mengguncangkan dunia. Bersama dengan Kongres Nasional India, ia meluncurkan dekrit yang mendesak pemerintah Inggris untuk segera keluar dari tanah itu. India akan memerintah Negaranya sendiri, dan Gandhi merencanakan suatu sistem bagi Bangsa ini, untuk menentang kolonialisme: pemerintahan sekuler.

Sekulerisme dalam Negara secara umum dikenal sebagai sistem pemerintahan yang memisahkan agama dari politik dan kenegaraan. Inilah yang menakutkan bagi beberapa orang: bila tidak ada lagi agama yang dipegang oleh penguasa, apa yang akan mengarahkan nurani mereka?

Agama adalah untuk membuat manusia lebih manusiawi, demi kebaikan, sebuah pegangan untuk moralitas manusia.

Namun, agama di tangan para pejabat telah terbukti disalahgunakan untuk semakin membohongi rakyat. Begitu pula di Indonesia. Kekerasan atas nama agama masih berlanjut. Pertempuran antar agama dibiarkan, terkadang dengan membela agama mayoritas, untuk memperoleh kepopuleran.

Pemerintah telah menggunakannya untuk ajang adu domba. Justru karena keyakinan bahwa apa saja yang menyangkut agama itu benar dan selalu baik, kebanyakan masyarakat buta. Agama bisa menjadi vitamin atau racun, tergantung dari siapa yang menyandangnya.

Dan sekali lagi, kecurigaan bahwa sekulerisme hanyalah pengaruh Barat? Mahatma Gandhi, seorang Hindu yang taat beribadah, telah mengenali muslihat agama dalam politik. Justru dengan sekulerisme, dia melawan dominasi Negara Inggris (yang dikenal sebagai “Barat” oleh kebanyakan orang).

Ia tahu, betapa mudahnya agama bisa dijadikan bulu-bulu domba bagi para serigala politik. Ucapnya: “Simpanlah agama untuk kehidupan pribadimu. . . Kita sudah cukup menderita dengan campur tangan agama atau Gereja di bawah pemerintahan Inggris. Sebuah masyarakat, yang kehidupan agamanya tergantung pada Negara, sungguhlah tidak layak mempunyai agama. . .”

Sekulerisme seringkali dihubungkan dengan ateisme dan peniadaan agama. Inilah yang seringkali membuat banyak orang di Indonesia menolak, bahkan anti terhadap kata sekulerisme, karena mereka merasa bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah mereka yang beragama. Bahkan, agama seringkali dianggap sebagai jati diri bangsa Indonesia. Tapi, apakah benar negara/pemerintahan sekuler adalah sesuatu yang bisa “mengancam“ atau “mengkontradiksi“ jati diri bangsa Indonesia? Apakah hubungan sekulerisme dan ateisme itu benar?

Seringkali istilah “negara sekuler“ ini mirip ketakutan akan kucing dalam karung. Kita tidak tahu kucing tersebut akan mencakar atau justru amat manis, tapi kita sudah ketakutan sebelum membuka karung dan melihat kucingnya. Karena itu, mari kita teliti satu-persatu, dengan mengadakan perjalanan kata, sehingga “negara sekuler“ tidak lagi membuat bulu kuduk berdiri tanpa tahu sebenarnya apa maksudnya. Mari kita buka “karung-karung“ yang menyelubungi kata ini.

Kita mulai dari definisi “sekulerisme“ dulu. Menurut pengertian umum, sekulerisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan tertentu. Perhatikan, dari definisi ini, tidak ada pesan bahwa ateisme akan dianak-emaskan atau agama akan dianak-tirikan. Sekulerisme cuma memisahkan antara agama dan negara, bukannya memaksakan atau mendorong orang agar menjadi ateis, agnostik, atau tidak beragama.

Setelah definisi “sekuler“ itu jelas, mari kita lanjutkan dengan melihat kata “negara.“ Kata negara memang sudah sangat umum, dan artinya seharusnya sudah jelas. Namun, banyak orang tak menyadari, negara/pemerintah adalah satu-satunya entitas yang bisa memenjarakan, menyita hak milik, bahkan membunuh kita secara terang-terangan dan legal. Dengan kekuatan legalitas ini, negara bisa dan berfungsi untuk “memaksa“ semua entitas lain untuk melakukan hal-hal mereka tak sukai. Contohnya, Undang-undang lingkungan hidup bisa memaksa industri untuk menjaga lingkungan, UMR bisa memaksa perusahaan membayar pegawainya dengan “layak,“ Undang-undang lalu lintas bisa memaksa semua pengendara untuk tidak menerobos lampu merah dan mengikuti jalur yang telah ditentukan.

Satu lagi hal yang sering dilupakan oleh banyak orang: negara/pemerintah itu dipenuhi oleh politikus. Apapun sistemnya, baik demokrasi, junta militer, kediktatoran proletariat, atau sistem apapun, semua yang menjadi pejabat tinggi negara, atau mau menjadi pejabat tinggi negara secara otomatis menjadi politikus.

Setelah ini, kita buka “karung penutup“ utamanya, yaitu alasan-alasan kenapa kita semua membutuhkan negara sekuler.

Alasan #1: Menjamin Keadilan dan Kerukunan Antar Agama

Mari kita hubungkan dua fakta di atas: negara memiliki kekuatan untuk memaksakan entitas-entitas lain. Kalau negara tidak sekuler, berarti negara bisa berlandaskan agama. Pertanyaan berikutnya tentu saja: agama yang mana? Ada begitu banyak agama di dunia ini dengan peraturan yang berbeda. Memberikan kekuatan legal pada salah satunya adalah bentuk ketidak-adilan yang sudah pasti akan menimbulkan gesekan sosial, kecemburuan, dan masalah-masalah lain. Jadi, pemisahan antara agama dan negara adalah syarat mutlak kerukunan antar agama, syarat mutlak persatuan Indonesia.

Alasan #2: Menjamin Kebebasan Beragama 

Satu lagi pertanyaan lanjutan selain “agama yang mana“, adalah “yakin agama X itu seperti itu?“ Bila suatu negara menjalankan sistem menurut agama tertentu, apakah sistem yang dijalankan memang betul-betul sesuai dengan agama tersebut?

Maksudnya, setiap agama memiliki banyak denominasi, banyak aliran, banyak interpretasi. Memberikan kekuatan legal pada salah satu aliran tsb berarti menyatakan bahwa aliran lain itu salah, tidak benar, sehingga tidak pantas mendapatkan kekuatan tsb. Ini adalah praktik yang amat arogan, manusia berusaha menjadi Tuhan, berusaha menentukan mana ada pesan bahwa ateisme akan dianak-emaskan atau agama akan dianak-tirikan. Sekulerisme cuma memisahkan antara agama dan negara, bukannya memaksakan atau mendorong orang agar menjadi ateis, agnostik, atau tidak beragama.

Setelah definisi “sekuler“ itu jelas, mari kita lanjutkan dengan melihat kata “negara.“ Satu lagi pertanyaan lanjutan selain “agama yang mana“, adalah “yakin agama X itu seperti itu?“ Bila suatu negara menjalankan sistem menurut agama tertentu, apakah sistem yang dijalankan memang betul-betul sesuai dengan agama tersebut?

Setiap agama memiliki banyak denominasi, banyak aliran, banyak interpretasi. Memberikan kekuatan legal pada salah satu aliran tsb berarti menyatakan bahwa aliran lain itu salah, tidak benar, sehingga tidak pantas mendapatkan kekuatan tsb. Ini adalah praktik yang amat arogan, manusia berusaha menjadi Tuhan, berusaha menentukan mana aliran yang paling benar dan memberikannya kekuatan untuk memaksakan pilihan tersebut pada orang-orang lain.

Alasan #3: Menjaga Kesucian Agama

Kita semua sudah mafhum betapa seringnya politikus memanfaatkan apapun demi mendulang popularitas. Kita juga sudah mafhum betapa seringnya para politikus berusaha membenarkan kebijakan mereka (Baca: keserakahan /kebodohan/kesalahan mereka) dengan berbagai cara. Mensekulerkan
negara berarti memisahkan agama dari tangan dan mulut para politikus, memastikan agama tidak pernah menjadi komoditas politik. Justru dengan hal ini, kita bisa lebih menjaga “kesucian“ agama.

Alasan #4: Jawaban terhadap Kekhawatiran Para Penentang Sekulerisme 

Tiga alasan di atas lebih dari cukup untuk mendukung sekulerisasi negara. Namun, para penentang sekulerisme mungkin masih khawatir sekulerisasi akan membuat orang-orang tidak mematuhi norma agama lagi.

Penulis menyampaikan ulang kekawatiran tersebut: “Saya kawatir kalau penganut-penganut beragama tidak dipaksa oleh pemerintah, mereka tidak akan melakukan perintah agamanya.“ Namun, bukankah kerohanian, keimanan, dan ketakwaan para penganut agama seharusnya datang dari hati dan lubuk terdalam, bukanlah wujud pemaksaan?

Bila negara memaksa rakyat untuk mentaati agama, hal ini hanya akan mencemari dan menihilkan fungsi agama sebagai hal yang rohaniah, yang erat hubungannya dengan penemuan diri sendiri. Ketika negara membuat berusaha mengatur dan memaksakan hal-hal yang menyangkut agama, negara sebenarnya juga sudah meremehkan kemampuan agama untuk membimbing umatnya. Karena itu, sekulerisasi negara sebenarnya tidak mencemari agama, tapi bisa diarahkan demi kebebasan beragama dan demi kesucian agama juga.

-------------------------------------------------------------






Oleh : Soe Tjen Marching
Copy From : Aliansi Sekular Indonesia (Facebook)

Thursday, November 7, 2013

Raising Freethinker




Judul Buku

Raising Freethinkers: A Practical Guide for Parenting Beyond Belief

Penulis:

Dale McGowan, Molleen Matsumura, Amanda Metskas, and Jan Devor 

Penerbit:

New York, AMACOM (2009)

Halaman: 270
Whatever conclusions we reach about the reality of God, the history of this idea must tell us something important about the human mind and the nature of our aspiration. – Karen Armstrong, A History of God.

Dalam hasil survei lembaga survei baik online maupun tidak, seperti dilansir oleh The Pluralism Project at Harvard University: http://www.pluralism.org, ABC News poll (February 2004), Gallup Organization (2005-2007), American Religious Identification Survey (ARIS) University of New York: http://www.gc.cuny.edu/faculty/research_briefs/aris/aris_index.htm (2008 projected),

diketahui bahwa apa yang diyakini orang Amerika sebagai hal-hal yang bersifat transenden, religius, spiritual sangatlah beragam:
Jika ditinjau dari segi kepercayaan masyarakat Amerika didapatkan:

  • Percaya adanya Tuhan 86%.
  • Percaya kepada surga 81%. 
  • Percaya kepada setan 70%. 
  • Percaya kepada neraka 69%. 
  • Percaya kepada isi Alkitab tentang Tuhan 31%. 
  • Percaya kepada hal-hal yang menginspirasi akan ketuhanan 47%. 
  • Percaya bahwa Tuhan yang menyebabkan evolusi terjadi 38%. 
  • Percaya bahwa evolusi manusia terjadi tanpa campur tangan Tuhan 13%. 
  • Percaya kepada kisah penciptaan manusia dalam Alkitab 61%. 
  • Percaya kepada kisah banjir besar Nuh 60%. 
  • Percaya kepada prinsip-prinsip astrologi 25%.

Sedangkan jika ditinjau dari sisi religiositasnya didapatkan:
- Penganut Kristen (apapun sektenya): 88% (1990), 77% (2001), 70% (2008) – Jumlah penurunan yang signifikan, tapi tidak terlalu signifikan jika dilihat jangka waktunya dari 1990 ke 2001.
- Tidak beragama: 8% (1990), 14% (2001), 18% (2008).
- Agama selain Kristen: 4% (1990), 9% (2001), 12% (2008) – Mengalami kenaikan dalam beberapa tahun belakangan.

Lanskap keagamaan di Amerika Serikat berubah dengan cepat. Misalnya ketika 1990, sembilan dari sepuluh warga AS mengklaim berafiliasi dengan Protestan maupun Katolik, sedangkan nonreligius mencapai 8 persen dan agama non-Kristen sebesar 3 persen. Hanya satu generasi kemudian, keragaman jauh lebih kaya. Tiga dari empat warga AS mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Kristen, satu dari sepuluh mengidentifikasi dengan agama lain, dan satu dari enam yang nonreligius. Meskipun persentase nonreligius terus meningkat, tetapi jelas bahwa agama, dalam berbagai bentuk, akan terus menjadi bagian dari mereka.

Orang-orang dari berbagai kalangan agama saling berinteraksi. Anak-anak mereka bertemu dan berinteraksi dengan orang banyak yang berbeda agama; di sekolah-sekolah, di tempat kerja, dalam politik, dalam olahraga, dan sosial. Termasuk media televisi. Dalam waktu empat puluh tahun, wajah imigrasi telah berubah secara dramatis dan berbagai agama, atau ajaran teologis, masuk ke dalam lanskap keagamaan di Amerika Serikat serta menambah kemajemukan tersebut; mewakili Hindu, Buddha, Kristen, Sikh, Islam, Yahudi dan lainnya. Stephen Prothero berpendapat bahwa banyak doktrin teologis yang sekarang ini diabaikan orang Eropa sebagai dongeng-surga dan neraka, justru sangat antusias disambut oleh mayoritas orang Amerika.

Dari setiap sepuluh orang dewasa di Amerika Serikat, lebih dari sembilan percaya pada Tuhan, lebih dari delapan mengatakan bahwa agama itu penting untuk mereka secara pribadi, dan lebih dari tujuh menganggap agama penting sebagai laporan setiap hari kepada sesuatu yang mereka anggap Tuhan, atau sekedar menjalankan rutinitas ritual.
Ketika anak-anak di lingkungan rumah-rumah warga Amerika melihat orang-orang yang berpakaian berbeda karena agama mereka, yang mencari ruang alternatif untuk sholat di sekolah, yang berkumpul di sekitar tiang bendera untuk berdoa, dan yang tidak bisa pergi ke pertandingan sepak bola Jumat malam karena besoknya hari Sabat.

Bahkan, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan nonreligius di rumahnya pun akan bertanya-tanya seputar hal-hal yang mereka amati. Ketika salah satu keluarga mendapatkan undangan jamuan yang berkaitan dengan hal-hal religius dari tetangganya, anak-anak yang belum memasuki sekolah dasar pun akan tergerak untuk kritis menanyakan hal itu pada orang tua mereka. Bagi orang-orang tua yang tidak mengajarkan hal-hal berbau kisah-kisah religius atau nilai-nilai etik berdasarkan aturan ajaran agama dan kepercayaan tertentu, akan susah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka tidak bisa hanya sekadar berkata, “We don’t believe that, honey.”

Sekolah-sekolah Amerika tidak mengajarkan ajaran-ajaran agama tertentu karena pendidikan agama (apapun yang Anda pilih) diserahkan kepada masing-masing orang tua. Orang tua agama dapat mengambil keuntungan dalam pendidikan agama yang ditawarkan di gereja, atau tempat ibadah lainnya, tapi tak berperan banyak di sekolah ketika anak-anak mereka berinteraksi dengan penganut agama lain. Sedangkan orang tua yang nonreligius menjadi terpolarisasi, sehingga tak jarang anak-anak mereka menjadi sasaran dari kalangan-kalangan tertentu yang ingin mengindoktrinasi anak-anak mereka tanpa para orang tua itu ketahui.

Buku ini akan membantu para orang tua semacam itu;agnostik, sekuler, nonreligius, atau mungkin ateis, tentang bagaimana cara mereka bisa menjawab pertanyaan anak-anak mereka ketika mereka ditanyai apa yang disaksikan anak-anak mereka di luar lingkungan pergaulan rumah. Semisal, bagaimana jika anak-anak Anda sepulang sekolah, atau bermain dari rumah kawannya dan bertanya;

How does white milk come from a red cow? (Bagaimana susu putih berasal dari sapi merah?)

Why doesn’t the sun fall down? (Mengapa matahari tidak jatuh?)
How is it that all rivers flow into the ocean without ever filling it? 
 (Bagaimana air sungai jatuh ke laut tanpa pernah merasakannya)

Or, who is God? (atau, Tuhan itu siapa sih?)

Anda tak mungkin menjelaskan ilmu biologi, genetika, gravitasi atau evolusi kepada mereka. Anda pun tidak akan bilang kepada mereka all comes by nature (sudah dari sononya). Mantra seperti itu mungkin berhasil bagi Anda sekali, tapi takkan terus menerus sukses untuk mengelabui mereka. Sesuatu yang sangat manusiawi jika manusia mempunyai dorongan untuk mempertanyakan apapun dan karena “pertanyaan” pula kemudian lahir dua kutub; agama dan sains, sebagai dua cara yang berbeda untuk merespon tantangan yang sama: sebuah neokorteks yang terus berkembang dan lapar akan jawaban.

Meskipun kita dapat dan sering berakhir mengejar tujuan yang sama, tetapi pendidikan orang tua di lingkungan religius dan nonreligius tidaklah sama. Ada perbedaan yang mendalam dalam konteks, ruang di mana orang tua sebagai aktor dan agama, atau tidak beragama sebagai model pengasuhan orang tua. Semestinya kedua jenis orang tua ini mempunyai kompetensi dan potensi yang setara untuk tidak mengenal kata takut atas tekanan dari luar. Mereka seharusnya sama-sama bebas dalam membesarkan anak-anak sesuai nilai yang mereka anut. Toh, ketika anak-anak mereka besar pun mereka bebas menentukan atas hal-hal yang mereka yakini, percayai, atau sebaliknya.

Bagi orang tua yang tidak menerapkan pendidikan agama dalam model pengasuhan dapat menumbuhkembangkan potensi kritis anak tanpa rasa takut. Justru pertanyaan-pertanyaan anak-anak yang beragam dapat dijadikan modal dasar pengikutsertaan anak dalam perbincangan seru menarik walau bagi Anda pun terasa irasional. Di antara langkah yang harus dilakukan:

1. Encourage ever-wider circles of empathy.

Mengajarkan bahwa ada banyak cara pandang di dunia ini yang memutus dan membatasi empati manusia dari kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, orang tua harus mendorong anak-anak mereka untuk mencapai tahapan bagaimana paradigma mereka bisa melampaui batasan-batasan itu.

2. Encourage active moral development.

Anak-anak dapat dan harus didorong untuk secara aktif mengembangkan dalam proses active moral reasoning ketika belajar memahami alasan untuk menjadi dan melakukan kebaikan.

3. Promote ravenous curiosity.

Rasa ingin tahu anak agar selalu diasah karena itulah kunci bagi anak-anak untuk mempelajari sesuatu, dengan cara terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang positif dan produktif.

4. Teach engaged coexistence.

Mengajarkan kepada anak-anak untuk dapat hidup berdampingan dengan teman-teman dan lingkungan lain apapun agamanya, dengan hal-hal bisa memberikan pengaruh bahwa manusia harus saling memanusiakan sesamanya.

5. Encourage religious literacy.

Anak-anak harus mengetahui seputar pengetahuan mengenai agama tanpa harus mengindoktrinasi mereka ke dalam agama.

6. Leave kids unlabeled.

Jangan biasakan melabeli anak Anda dengan sesuatu, apalagi mendukung tindakan mereka ketika anak-anak Anda melabeli atau memanggil teman sesamanya dengan sebutan “Hei, orang Kristen.”, “Hei, orang Yahudi.”, sekalipun “Hei, Ateis.” Karena sesungguhnya, yang seperti itu sangat kontraproduktif dalam menjalin ko-eksistensi antarsesama manusia.

7. Make death natural and familiar.

Katakan pada anak-anak Anda bahwa kelahiran dan kematian adalah sesuatu yang natural bagi manusia tanpa harus Anda jelaskan ke mana perginya anak Anda setelah meninggal dunia. Daripada mengisolasi anak Anda dalam merenungi kematian, ajak anak Anda mengisi kehidupan ini dengan saling berbagi satu sama lain sebagai entitas yang setara di sebuah wadah bernama bumi.

8. Invite the questioning of authority.

Dukung anak Anda untuk selalu mempertanyakan alasan di balik adanya peraturan yang anda terapkan di dalam rumah dan alasan di balik jawaban-jawaban yang Anda berikan kepada mereka.

9. Normalize disbelief.

Ketidakpercayaan, atau ketidakberagamaan adalah sesuatu yang normal. Biasakanlah anak Anda untuk berparadigma demikian.
Model praktik pengasuhan seperti ini memerlukan kerja keras dari Anda untuk mengajak anak-anak Anda mau mempelajari filsafat dan membimbing mereka secara filosofis, tapi tak dilepaskan dari kasih sayang Anda. Sebagaimana dikatakan oleh Bertrand Russell, “Kehidupan yang baik adalah salah satu yang terinspirasi oleh cinta dan dibimbing oleh pengetahuan.” Kebanyakan pemula ketika membaca buku-buku filsafat atau mempelajari filsafat, tiba-tiba merasa berada dalam keterasingan karena mereka menemukan bahwa masyarakat mainstream umumnya berbeda dengan mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan kasih sayang Anda agar mereka justru tergerak untuk memberikan kontribusi positif terhadap dunia dan sesama manusia.

Contoh percakapan yang dibangun dengan anak;

INVITE A GUESS

KID: “How far away is the sun?”
MOM:“What would you guess?”
KID: “100 miles!”
MOM: “Good guess! That’s what people thought a long time ago. They thought it was attached to the sky about 100 miles away, but now we know it’s a star out in space. Okay now. Grandma’s house is 700 miles away. Do you think the sun is closer than that?”

FIND OUT TOGETHER

“How far away is the sun?”
“I dunno. Let’s get a tape measure and find out!”
“Dad!! You’re such a dork.”
“Well, how can we find out then, smarty pants?”
“Google it!”
(After Googling it . . .) “Now I wonder how they figured that out without a tape measure?”

THE OBVIOUS FIB

“How far away is the sun?”
“About 20 feet.”
“No, it isn’t!”
“I’m pretty sure it is. Maybe 21.”
“It’s MUCH more than that!”
“Well, how far do YOU think it is?”

VALUE-ADDED ANSWER

“How far away is the sun?”
“93 million miles.”
“Wow, that’s far!”
“Wouldn’t want to walk it. Hey, you know how they figured that out? It’s the most amazing story . . .”

THE QUESTION CHAIN

Eventually, the child will pick up the rhythm herself and provide the next question herself:
“How far away is the sun?”
“93 million miles.”
“Wow, that’s far! How did they figure that out?”
“You know, it’s the most amazing story . . .”



NB : Diterjemahkan dengan bebas oleh TACU.
Copy From : Archer Clear (Facebook)

Friday, November 1, 2013

Kesurupan adalah “Penyakit” Bukan “Mistis” (antara dunia medis)


Banyak sekali diantara kita yang pernah melihat orang kesurupan. Orang kesurupan biasanya tiba-tiba seperti kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri, sering suara orang tersebut juga berubah menjadi suara orang lain. kesurupan sering dikait-kaitkan dengan masuknya makhluk halus ke dalam tubuh seseorang, akan tetapi menurut dunia medis kesurupan itu sebenarnya adalah sebuah penyakit.
Kesurupan dalam istilah medisnya disebut dengan Dissociative Trance Disorder (DTD). Menurut laporan Eastern Journal of Medicine, kesurupan lebih banyak terjadi di negara dunia ketiga dan negara-negara bagian timur daripada di negara bagian barat. Di India yang kultur dan budayanya mirip Indonesia, sering sekali ditemukan orang-orang yang kesurupan atau sering disebut dengan possesion syndrome atau possesion hysterical. Angka kejadiannya adalah sekitar 1 sampai 4 persen dari populasi umum.

Dunia kedokteran, khususnya psikiatri fenomena kesurupan itu adalah kondisi yang ditandai oleh perubahan identitas pribadi. Bagi masyarakat awam, kesurupan disebabkan oleh masuknya roh halus ke tubuh manusia, namun dunia medis tidak mengenal istilah makhluk halus, roh, dsb. Semua yang berada di dunia medis, bisa dijelaskan secara ilmu kedokteran. Seperti halnya kesurupan ini, menurut beberapa pakar psikiater, penyebab kesurupan ini adalah tekanan sosial dan mental yang masuk ke alam bawah sadar seseorang. Tekanan-tekanan sosial tersebut seperti seperti banjir, tsunami, gizi buruk, ketidakadilan, upah kecil, kesenjangan yang sangat mencolok dan lainnya.

Seperti dikutip dari Psychnet, Senin (22/2/2010), dibawah ini adalah beberapa gejala yang biasanya menyerang orang kesurupan diantaranya:Bertindak tidak seperti biasanya dan biasanya lepas kontrol Hilang kesadaran akan sekitarnya dan tidak sadar dirinya sendiriSulit membedakan kenyataan atau fantasi pada waktu yang samaPerubahan nada suara susah berkonsentrasi bahkan bisa sampai hilang ingatan
Kondisi seperti itu bisa disebabkan oleh banyak faktor seperti spiritual, sosial, psikologi dan lainnya. Dengan melakukan screening dan pemeriksaan secara keseluruhan yang mendalam, faktor penyebabnya pun bisa diketahui.
Lalu bagaimanakah penjelasan medis terhadap kesurupan massal yang belakangan ini sering sekali terjadi? Didunia medis, kesurupan massal sebenarnya pada awalnya hanyalah terjadi pada individual, akan tetapi kemudian berubah menjadi massal dikarenakan orang lain yang melihat peristiwa tersebut menjadi tersugesti alias terpengaruah dan ikut-kutan. Tanda-tanda beberapa waktu sebelum kesurupan antara lain kepala terasa berat, badan dan kedua kaki lemas, penglihatan menjadi kabur, badan terasa ringan, dan rasa ngantuk.
Perubahan ini biasanya masih disadari oleh subjek, tetapi setelah itu ia tiba-tiba lepas kontrol dan tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri lagi dan melakukan sesuatu di luar kemampuan nya. Beberapa di antaranya merasakan seperti ada kekuatan di luar yang mengendalikan dirinya.
Mereka yang mengalami kesurupan biasanya merasakan bahwa dirinya bukanlah dirinya lagi, tetapi ada suatu kekuatan yang mengendalikan dari luar. Keadaan saat kesurupan sendiri ada tiga macam dimana ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari sebagian, dan ada pula yang tidak menyadari sama sekali.
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan mempunyai risiko lebih besar untuk kesurupan dibandingkan laki-laki. Hal ini kemungkinan dikarenakan perempuan lebih gampang dipengaruhi dibanding laki-laki.
Walaupun dunia kedokteran sudah menyatakan bahwa kesurupan bukanlah fenomena mistis tetapi penyakit akan tetapi tasanya sulit dipercaya dan diterima oleh mayoritas masyarakat yang tetap saja menganggap kalau kesurupan ada hubungannya dengan mistis.
Hemat saya,
“kesurupan” itu lebih mirip dengan kondisi terhipnotis, dimana amygdala (wilayah penyimpan memori emosional) membajak sistem limbik otak sehingga hippocampus tidak bekerja dengan baik (hippocampus adalah wilayah penyimpan memori rasional). 

orang yang terhipnotis dikondisikan memasuki alam bawah sadarnya. alam bawah sadar orang kesurupan/terhipnotis ditandai dengan mulai malasnya bagian rasional otak untuk bekerja, sehingga filter logika lumpuh.


kesurupan

 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis