Showing posts with label Human rights. Show all posts
Showing posts with label Human rights. Show all posts

Wednesday, December 30, 2015

Catatan Ringkas : Perbedaan Prinsip Kemanusiaan dan Prinsip Agama

KEMANUSIAAN:
Sampai sekarang saya yakin bahwa prinsip kemanusiaan jauh lebih utama daripada prinsip standar moral, tata-aturan sosial dan etika yang diatur oleh doktrin agama itu sendiri.
Diatas prinsip kemanusiaan anda tidak akan menemukan berbagai sekat dan perbedaan karena esensinya jelas, "kemanusiaan" adalah bagaimana anda memandang manusia dan memperlakukan sesama manusia setara dgn anda. 
Kita manusia adalah "SATU".



Diatas standar agama?

Ya seperti yang anda lihat.
Setiap detik, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun anda tidak akan henti-hentinya dihadapkan oleh polemik yang terjadi atas label agama.
Mengapa polemik atas nama agama bisa terjadi?
Karena memang semenjak dari awal masing-masing agama meletakkan fondasi etika, moral dan nilai sosial yang berbeda-beda dgn agama lainnya.
Anda akan menemui standar aturan dan doktrin yang berlaku dan berbeda-beda diantara masing-masing agama.
Seorang yang korup berdalih atas nama agama.
Seorang pelaku pedofilia berdalih atas nama agama.
Seorang teroris berdalih atas nama agama.
Seorang yang nikah siri berdalih atas nama agama.
Seorang yang memperbudak manusia lainnya berdalih atas nama agama.
Seorang yang mengkafirkan sesamanya berdalih atas nama agama.
Seorang yang minun air kencing unta berdalih atas nama agama.
Seorang pengemplang dana umat berdalih atas nama agama.
Bahkan dua orang yang seharusnya saling menyayangi sekalipun rela saling meninggalkan hanya karena atas nama agama.
Tidak ada seorang-pun pelaku kekerasan dan tindakan amoral berdalih atas nama "kemanusiaan".
Gandhi turun ke jalan bukan atas nama agama.
Abraham lincoln menentang perbudakan bukan atas nama agama.
Nelson Mandela menentang apartheid bukan atas nama agama.
Begitu halnya dengan Marthin L King.
Satu lagi.
Yesus sekalipun menentang kesewenangan rezim romawi bukan atas nama agama!


Wednesday, October 7, 2015

Yahudi dan Israel


Akhmad Sahal 

Kisah kelahiran zionisme pada dasarnya adalah kisah tentang cinta kaum Yahudi terhadap Eropa modern yang bertepuk sebelah tangan. Pendiri utama gerakan ini, Theodor Herzl (1860-1904), wartawan Yahudi kelahiran Hungaria, pada awalnya adalah pemeluk teguh asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern. Sampai suatu ketika ia merasa Eropa sejatinya menampik cintanya. Herzl, meyakini, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi, pembebasan dari diskrimnasi dan keterkungkungannya dalam kehidupan ghetto, adalah dengan mengadopsi semangat Pencerahan dan the idea of progress yang dilantunkan oleh modernitas. 

Caranya dengan mengikuti seruan Napoleon Bonaparte. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada abad 18 membantu penyebaran ide-ide Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, terutama tentang kesetaraan “Hak-Hak Manusia dan Warga Negara." Pertanyaan Napoleon kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jika mereka mendapatkan hak-hak hukum dan politik yang setara dengan warga Kristen dan sekular, apakah mereka bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial keYahudian untuk menjadi individu-individu modern? Bisakah mereka melepaskan diri dari loyalitas mereka kepada otoritas rabbi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular? 

Dengan tawarannya itu, Napoleon mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas keYahudian dengan cara melebur mereka ke dalam masyarakat Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau berkonversi ke Kristen. Akan tetapi, respon kaum Yahudi justru sangat antusias. Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi. Mereka meyakini Pencerahan bukan hanya tidak bertentangan dengan keYahudian, melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang terkenal: lihyot yahudi ba bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan manusia di luar). 

Kaum Yahudi di Perancis, misalnya, memberikan justifikasi peleburan identitas keYahudian dan kePerancisan dengan melihat Revolusi Perancis 1789 sebagai peristiwa mesianik dalam sejarah Yahudi modern, dengan menganggap liberte, egalite, fraternitesebagai hukum Sinai kedua. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai “Israelites de France.” Hal yang sama juga terjadi di Jerman, tempat di mana gerakan Pencerahan Yahudi (Haskalah) yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru tumbuh dengan subur. 

Para penggerak Reform Judaism di Jerman yang berupaya memposisikan agama Yahudi sebagai kredo etika universal begitu loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut Berlin sebagai Jerusalem baru, “tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras kepala.” Ungkapan doa yang diwariskan turun temurun, l'shana habaa b'Yerushalaim (tahun mendatang di Yerusalem) dilihat hanya sebagai bagian dari ungkapan ritual yang sama sekali tidak memuat program politik untuk memulihkan kembali tatanan politik di Yerusalem. 

Dengan menjadi pemeluk teguh ide-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka yakin bisa “persoalan Yahudi” yang mendera mereka mereka selama ratusan tahun hidup dalam diaspora di Eropa akan bsia dipecahkan secara tuntas. Kini identitas keyahudian tidak lagi mereka definisikan dalam kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan kepada halakhah (hukum Yahudi), melainkan berdasarkan Pencerahan, yakni sebagai individu dengan kebebasan dan kekhasannya sendiri. 

Demikianlah, Theodor Herzl menyokong penuh integrasi Yahudi ke dalam masyarakat Eropa. Sampai kasus Dreyfus mencuat pada 1882. Sebagai koresponden koran Wina, Neue Freie Presse, di Paris, Herzl meliput kasus Dreyfus (Dreyfus affair). Afred Dreyfus, kapten berdarah Yahudi yang sepenuhnya asimilasionis, dituduh oleh publik Perancis menjadi mata-mata bagi Jerman dan kemudian dipecat secara tidak hormat dari dinas militer Perancis. Tuduhan itu berdasarkan anggapan bahwa meskipun sudah sepenuhnya menjadi warga negara Perancis, Dreyfus betapapun adalah seorang Yahudi, yang tak mungkin loyal terhadap negaranya. 

Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, tempat lahirnya Pencerahan. Lagipula, ttidak lama sebelum itu, yakni pada 1871, progrom dan persekusi terhadap Yahudi dalam skala masif terjadi di Rusia. 

Kasus ini membuat Herzl berkesimpulan, meskipun bangsanya sudah tolah dalam upayanya untuk ter-Eropa-kan, mereka tetap saja menjadi target kebencian antisemit oleh masyarakat Eropa, yang notabene sudah termodernkan. Atas dasar itulah Herzl lalu menegaskan bahwa "persoalan Yahudi" di Eropa bukanlah persoalan kultural, misalnya karena faktor prasangka atau kesalahpahaman masyarakat Kristen Eropa, yang bisa diatasi dengan pengetahuan rasional. 

Selain itu, Pencerahan ternyata juga melahirkan problem baru buat kaum Yahudi. Karena, selain melahirkan individualisme, ia juga memunculkan ide tentang nasionalisme modern. Tapi di situlah letak masalahnya. Ketika orang-orang Yahudi di pelbagai negara Eropa bertransformasi menjadi individu-individu modern dengan identitas berdasarkan ide-ide kosmopolitan dan universal dari Pencerahan, masyarakat Eropa justru sibuk membangun nation-statenya sendiri-sendiri. Meskipun orang Yahudi sudah berusaha sepenuh hati menjadi bagian dari Eropa, ia tetaplah the other, sang liyan di mata publik Kristen Eropa. 

Dalam karya masyhurnya yang terbit pada 1896, Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl menyatakan bahwa akar masalahnya yahudi terletak pada kehidupan diaspora Yahudi itu sendiri: kaum Yahudi hidup terpencar--pencar di pelbagai belahan dunia, tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Diaspora yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, menurut Herzl, mengindikasikan bahwa Yahudi terus hidup dalam apa yang ia sebut sebagai "abnormalitas." Kondisi abnormal inilah yang menyebabkan mereka rentan terhadap serangan antisemitisme, bahkan pada masa modern sekalipun. 

Bagi Herzl, solusi untuk melenyapkan antisemitisme tidak bisa lain adalah dengan menyudahi abnormalitas kehidupan diaspora tersebut melalui proses normalisasi kehidupan bangsa Yahudi. Caranya dengan keluar dari Eropa dan mendirikan negaranya sendiri. 

Menarik untuk dicatat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan Zionis sendiri mengenai solusi Herzl: apakah yang ia maksud adalah membangun "negara Yahudi" sebagaimana umum dipahami, atau "negara untuk orang Yahudi." Perbedaan pandangan ini menyangkut buku Herzl sendiri, Der Judenstaat, yang memang lebih tepat diartikan "negara untuk orang Yahudi." Pada yang pertama, negara yang dimaksud haruslah berkarakter yahudi dan berlokasi di Palestina. Sedangkan pada yang kedua, negara yang dibayangkan Herzl tidak mesti berkarakter Yahudi dan tidak mesti berlokasi di Palestina. Itulah sebabnya ia setuju dengan tawaran pemerintah kolonial Inggris pada awal abad 20 untuk menjadikan Uganda sebagai tempat bagi negara Zionis (tapi tawaran ini ditolak mentah2 oleh kalangan Zionis yang lain). 

Lepas dari itu, bisa kita simpulkan bahwa Zionisme bertolak dari kehendak Yahudi untuk melakukan negasi terhadap diaspora (shelilat hagalut), karena kehidupan diaspora dianggap abnormal. Zionisme adalah upaya menormalkan kehidupan bangsa Yahudi agar menjadi bangsa normal, yakni bangsa yang punya negaranya sendiri sebagaimana bangsa-bangsa lain. (Dalam arti tertentu, normalisasi bangsa Yahudi yang mendasari Zionisme adalah pemberontakan terhadap anggapan bangsa Yahudi sebagai bangsa terpilih, kaeran Zionisme justru menghendaki bangsa Yahudi sebagai bangsa biasa sebagaimana bangsa-bangsa lain) 

Penentangan dari Kiri dan Kanan 

Tapi betulkah asimilasi Yahudi adalah ihtiar yang sias-sia buat kaum Yahudi? Betulkah diaspora merupakan kehidupan abnormal buat Yahudi? 

Amos Elon, sejarawan Israel yang melacak kiprah Yahudi di Jerman dari awal abad 18 sampai naiknya Hitler pada 1933 dalam bukunya, The Pity of it All, dengan tegas membantah klaim Herzl tersebut. Menurut Elon, masyarakat Yahudi Jerman sam sekali tidak menganggap diri mereka sebagai imigran atau tamu di negeri asing. Bahkan, emansipasi politik yang mereka nikmati sebagai buah dari Pencerahan menghasilkan lonjakan prestasi yang mencengangkan dalam ranah budaya, sains, seni, dan jurnalisme. Kerekatan antara identitas Yahudi dan Jerman ini baru putus setelah Hitler berkuasa pada 1933. 

Dengan kata lain, tidak semua kalangan yahudi setuju dengan asumsi Zionisme tersebut. Dan mereka yang menampiknya berasal dari kiri maupun kanan, sosialis maupun liberal. 

Tokoh dan pemikir sosialisme berdarah Yahudi seperti Rosa Luxemburg dan Leon Trotsky, misalnya, mengakui bahwa kebencian dan serangan berwatak antisemit memang nyata-nyata ada. Akan tetapi mereka menolak solusi zionis untuk mengatasi antisemitisme, yaitu dengan mendirikan negara Yahudi di Eretz Yisrael. Alasannnya, hal ini justru membawa Yahudi kembali terjebak dalam nasionalisme etnis yang sempit, yang nyaris tidak ada bedanya dengan ghetto-ghetto yang mereka huni sebelum era Pencerahan. 

Bagi Luxemburg, derita Yahudi dalam diaspora tidak semestinya membuat mereka hanya berjuang untuk kelompoknya saja, menjadi parokial dan eksklusif, melainkan justru mesti me-universalisasi-kan perjuangannya sehingga mencakup kelompok lain yang tersisihkan dan tertindas di manapun di dunia. Simak ungkapan terkenal Rosa Luxemburg ini: 

"Why do you pester me with Jewish troubles? I feel closer to the wretched victims of the rubber plantations of Putumavoor Negroes in Africa...I have no separate corner in my heart for the ghetto." 

Kalangan Yahudi sosialis menyerukan agar perjuangan melawan antisemitisme diintegrasikan dengan perjuangan kaum proletar melawan kapitalisme karena di mata mereka, persoalan Yahudi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan suatu gejala sosial yang terkait erat dengan kapitalisme. Begitu kapitalisme runtuh dan sosialisme berdiri, antisemitisme akan hilang dengan sendirinya. 

Pada tingkat tertentu, argumen kaum sosialis ini bertolak dari esai Karl Marx tentang persoalan Yahudi, Zur Judenfrage yang ia tulis hampir setengah abad sebelum zionisme lahir, yakni pada 1843. Dalam esai tersebut, Marx sebenarnya menolak pandangan asimilasionis Bruno Bauer yang berpendapat, emansipasi kaum Yahudi baru bisa tercapai kalau mereka menanggalkan identitas keagamaannya yang partikular dan menerima prinsip-prinsip liberalisme: mejadi individu yang otonom dan mengakui legitimasi negara sekuler. 

Dalam pandangan Marx, emansipasi semacam ini adalah emansipasi semu, karena hanya terjadi pada ranah suprastruktur, hanya emansipasi legal dan politik, bukan emansipasi kemanusiaan secara utuh. Menurut Marx, kaum Yahudi baru mengalami emansipasi kalau mereka dibebaskan dari apa yang oleh Marx disebut sebagai “Judaisme praktis,” yakni kepentingan-diri, huckstering, dan uang. Dengan kata lain, kapitalisme. Tulis Marx, “emansipasi Yahudi adalah emansipasi seluruh masyarakat dari Judaisme.” Selain dari sayap kiri, penolakan terhadap zionisme juga disuarakan oleh kaum Yahudi liberal, seperti filosof Hermann Cohen dan Karl Popper. Hermann Cohen (1842-1918), misalnya, adalah seorang filosof Yahudi Jerman yang secara sistematis merumuskan agama Yahudi sebagai agama akal, sebagai monoteisme murni dalam bentuk hukum-hukum moral yang universal.

Di sini pengaruh konsep kategori imperatif dan otonomi moral Immanuel Kant kuat terasa. Tapi Cohen menolak klaim Kant bahwa agama Yahudi tidak bisa menjadi dasar bagi moralitas universal hanya karena dia bersumber dari luar manusia (heteronom). Menurut Cohen, justru posisi agama Yahudi sebagai monoteisme murni sejalan dengan universalisme Kantian. 

Cohen menafsirkan keterpilihan bangsa Yahudi sebagai tugas ketimbang privilese, yakni tugas untuk merealisasikan kenyataan mesianik, yakni kehidupan berbasis perdamaian dan kemanusiaan. Cohen melihat sejarah agama Yahudi sebagai proses “spiritualisasi” yang bergerak dari partikularisme ke universalisme. Hancurnya kedualatan politik Yahudi, kondisinya sebagai wandering Jews yang tak bernegara dan tak berumah menunjukkan bahwa identitas keyahudian bukanlah dimaksudkan sebagai identitas eksklusif untuk etnik tertentu saja, melainkan sebagai etika universal. Atas dasar itulah Cohen menolak zionisme. 

Sementara itu,Karl Popper, filosof liberal berdarah Yahudi yang terkenal dengan bukunya The Open Societies and Its Enemies, menolak nasionalisme etnis yang menjadi dasar zionisme, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip masyarakat terbuka yang kosmopolitan. Popper mengakui kegagalan asimilasi Yahudi di Eropa yang berpuncak pada tragedi Holocaust. Akan tetapi baginya, kegagalan itu mestinya membawa kaum Yahudi untuk melampaui identitas kebangsaan yang partikular dan bersandar pada identitas kosmopolitan. 

Memang tidak semua kaum Yahudi liberal atau sosialis serta merta menganut kosmopolitanisme dan menolak zionisme. Harap diingat, sebagian founding fathers negara Israel adalah juga penganut sosialisme yang ingin merealisasikan prinsip-prinsip sosialisme dan mengkombinasikannya dengan mesianisme sekular seperti tercermin dalam kibbutzim. Sementara pemikir liberal semacam Isaiah Berlin mendukung zionisme bukan atas dasar menegasikan diaspora Yahudi atau menghentikan antisemitisme seperti dikemukakan Herzl, melainkan karena bagi Berlin, realisasi kebebasan mengandaikan adanya “rumah” sebagai tempat berpijak. (Menurut saya, argumen ini mestinya berlaku tidak hanya untuk bangsa Yahudi melainkan juga bangsa Palestina). 

Zionisme Politik VS Zionisme Kultural 

Pengkubuan/perselisihan yang terjadi di kalangan Yahudi dalam kaiatannya dengan zionisme tidak hanya terjadi antara kaum zionis dan para penentangnya. Bahkan di kalangan zionise sendiri terjadi pertentangan yang tajam antara mereka yang mengedepankan pendekatan politik dan yang memilih jalur kultural. Yang pertama dan lebih dominan bisa kita lihat pada Theodor Herzl, dan versi ekstrimnya pada Vladimir Jabotinsky, ideololog partai Likud. Sedangkan yang kedua diwakili oleh Ahad Haam dan Martin Buber. 

Seperti sudah disinggung di atas, persoalan Yahudi muncul karena bangsa Yahudi hidup secara abnormal. Zionisme bagi Herzl tidak lain adalah proyek menormalkan kehidupan mereka dengan cara mengumpulkannya dalam satu ikatan kebangsaan (ingathering of the exiles). Misi ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendirikan negara Yahudi. Dengan cara itulah zionisme hendak menciptakan “Yahudi baru,” yakni Yahudi yang hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Tidak heran kalau kemudian kaum zionis mazhab ini begitu terobsesi dengan otot dan kejantanan, yang oleh karib Herzl bernama Max Nordau disebut sebagai Jewry of muscle. 

Tapi pada saat yang sama, Herzl juga melihat zionisme sebagai proyek pemberadaban yang mengemban mission civilicatrice. Ini terlukis dalam novel utopianya,The Old-New Land (1902). Novel ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina yang melancong ke Macedonia dan mampir ke Yerusalem. Di sana ia menemukan betapa Yerusalem adalah tanah yang tandus tak terurus, dengan perkampungan Arab yang kumal. Namun betapa takjub Loewenberg ketika ia singgah sekian puluh tahun lagi, karena Yerusalem berhasil disulap oleh kaum zionis sebagai metropolitan yang bersih, dan makmur. Yang ada di benak Herzl, negara Israel akan menjadi seperti Swis. Israel, kata Herzl, akan menjadi “bagian dari benteng Eropa berhadapan dengan Asia, markas peradaban Barat untuk menangkal barbarisme Timur. 

Di tanah yang baru ini, masih menurut Herzl, Yahudi tidak lagi menjadi target serangan antisemitisme seperti terjadi di Eropa, di mana Yahudi ditampilkan sebagai sosok yang “kotor, licik, parasit, lembek.” Karena “Yahudi baru” ini tampil sebagai sosok yang “rasional, kuat, beradab.” 

Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai “yang lain.” Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai “yang lain.” Untuk menghapus identitas ke-“yang lain” annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di “Barat” Yahudi adalah “Timur,” maka di Timur ia menjadi “Barat.” 

Dua unsur utama zionisme politik ini (pemujaan terhadap supremasi kekuatan fisik dan persepsi diri sebagai pembawa peradaban Barat) pada akhirnya menjelaskan kenapa bangsa Arab/Palestina sama sekali tak muncul dalam narasi zionisme? Lihat saja semboyan mereka tentang Palestina, “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah.” Atau simak ungkapan Golda Meir, mantan perdana mentri Israel, “tidak ada yang namanya rakyat palestina.” Di sinilah letak ironi zionisme: ia lahir sebagai respon terhadap “persoalan Yahudi” di Eropa, tetapi ia memunculkan “persoalan Arab, ” atau meminjam judul buku Edward Said, the question of Palestine. 
Berbeda halnya dengan zionisme kultural yang dipelopori oleh Ahad Haam, tokoh zionis asal Rusia yang hidup semasa dengan Herzl. Ahad Haam mengartikan upaya kembali ke tanah zion lebih dalam kerangka spiritual dan bukan politik, yakni sebagai manifestasi dari renaisans kultural Yahudi. Di mata Haam, pertautan bangsa Yahudi dengan Zion sesungguhnya berada pada level moral dan spiritual, sebagai jalan untuk merealisasikan nilai utama keyahudian, yakni Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Inilah yang menjelaskan kenapa sejak awal Haam bersebarangan dengan Herzl. Bahkan dalam Kongres Zionis pertama pada 1898 mereka berdua tidak saling menyapa. 

Sejalan dengan Haam, Martin Buber juga menolak zionisme politik Herzl dan Nordau. Penolakan Buber bertolak dari penghargaannya terhadap eksistensi bangsa Arab di Palestina dan hasratnya menjalin relasi yang otentik dengan mereka, dalam kerangka relasi I-Thou. Bagi Buber, berdirinya negara Israel tidak akan menyelesaikan persoalan Yahudi manakala kaum Yahudi mengabaikan fakta bahwa tanah Israel pada dasarnya milik dua bangsa, masing-masing dengan klaimnya sendiri. Negara yang berdiri di atsa tanah tersebut mestilah berbentuk negara dwi-bangsa, bukan negara Yahudi. Atas dasar itulah Buber menentang The Law of Return dan upaya pemerintah Israel untuk mendatangkan imigran Yahudi secara besar-besaran untuk mencapai status mayoritas. 

Dengan paparan di atas, saya mencoba menunjukkan betapa pro daa kontra di kalangan Yahudi terhadap Zionisme ternyata berlangsung dengan tajam dan tak jarang saling menafikan satu sama lain. Bahkan di kalangan internal kubu Zionis, pertentangannya juga sangat keras. Setidaknya itu terjadi sampai akhir 1940an, ketika akhirnya negara Israel berdiri pada 1948. 

Tapi seperti apa pertengkaran internal di kalangan Yahudi mengenai zionisme setelah negara Israel berdiri? Dan bagaimana setelah Israel menang telak atas negara2 Arab pada Perang Enam Hari pada 1967?

Monday, October 5, 2015

Penjelasan Mengenai Rasisme

Rasisme akan selalu ada didalam proses evolusi manusia.
Pada buku Richard Dawkins, "The Selfish Gene", didalam DNA manusia sebenarnya secara alamiah telah terdapat sifat selfish (keegoisan).
Selfish ini pada umumnya yakni adanya kecondongan manusia untuk mementingkan kepentingan kelompoknya baik yg satu ras maupun sesama anggota keluarga dan mengabaikan kepentingan ras yang lain.
Begitu juga dibuku Charles Darwin, "The Origin of Species", terdapat banyak istilah Seleksi Alam, Perkawinan Sel Aktif, dan Perjuangan untuk bertahan hidup diantara ras-ras.
Pada prinsipnya, Charles Darwin mengutarakan bagaimanapun manusia telah mengelompokkan diri kedalam sebuah ras dan adanya tindakan untuk memperjuangkan ras nya untuk dapat bertahan hidup atas proses seleksi alam.



Didalam perbedaan ras inilah sifat Rasisme tumbuh dan berekembang karena bagi sekelompok ras memandang bahwa ras nya lebih unggul dibandingkan ras yang lainnya.
Sementara dibuku Adolf Hitler, "Mein Kampf" sebagian terinspirasi terhadap karya Charles Darwin, bahwa hidup ini adalah perjuangan diantara ras-ras, sehingga pada kenyataannya Adolf Hitler berusaha memusnahkan kaum Jahudi yang dianggap sebagai kaum lemah dengan tema rasisme.
Jadi saya tidak heran, jika yang Tionghoa harus menikah dgn sesama Tionghoa, yang batak harus menikah dgn sesama batak, yang padang harus menikah dgn sesama padang, dll.
Hanya saja, saya kira kita masih punya kemampuan untuk mengusung kembali prinsip "kemanusiaan" yang kita punya, sehingga kita dapat memandang setiap manusia setara hingga rasisme itu perlahan hilang.
CMIIW.



Wednesday, May 6, 2015

International Humanists protest Indonesia blasphemy arrest

The International Humanist and Ethical Union (IHEU) is calling for the Indonesian government to guarantee the freedom and safety of Alexander Aan, an Indonesian arrested for blasphemy. IHEU — the global union of more than 100 Humanist and atheist groups from 40 countries including Indonesia — has also raised Aan’s case with the United Nations. Aan was arrested for blasphemy last week in Dharmasraya, in the province of West Sumatra.
Aan was originally taken into what was called “protective custody” by police on January 18 after he was attacked by a mob of Muslim militants reacting to criticism of Islam that Aan made on Facebook. The police then arrested Aan on three separate charges: insulting religion (which has a maximum sentence of five years jail), the electronic transmission of defamatory comments (six years jail), and false reporting on an official form (six years jail). The charges of blasphemy and defamation relate to his criticism of Islam on Facebook. The final charge claims that his application for his civil service job falsely stated he was Muslim when he was an atheist.
“The real crime here is the physical assault on Aan, not his expression of his personal beliefs,” said IHEU International Representative Matt Cherry. “We have therefore requested that the UN raise Aan’s case with the Indonesian authorities. We believe Indonesia should drop all charges based on Aan’s beliefs and statements and that they should guarantee his safety from the violent mob that attacked him. We also call on Indonesia to change the laws that deny its citizens their right to identify as non-religious.”
The government of Indonesia recognizes only six faith traditions: Islam, Protestant Christianity, Catholic Christianity, Buddhism, Hinduism and Confucianism. Citizens are forced to choose from one of these traditions when applying for identification cards or filling in government forms.
Indonesian freethought activist Karl Karnadi highlighted the attack on Aan as part of a disturbing trend: “The beating and arrest of Alex is not an isolated event. It is a part of a series of increasing religious intolerance in Indonesia, which has victimized AhmadiyyaShia, Christians, Buddhists, and which now is victimizing the non-religious.”
Karnadi called on his government to live up to its own principles of diversity: “Indonesia has a national motto, ‘BhinnekaTunggal Ika’, which means ‘Unity in Diversity’. True diversity requires freedom to express diverse opinions and freedom to express one’s true identity. I dream of an Indonesia that sees diversity as its strength, not its weakness. To achieve that, both freedom of religion and freedom of expression must be guaranteed for every citizen, regardless of religion or belief. Then our motto will be more than mere words.”
About the International Humanist and Ethical Union (www.IHEU.org):
Founded in 1952, IHEU is a federation of more than 100 atheist and humanist groups from 40 countries. It has consultative status at the United Nations, UNESCO, Council of Europe and African Union.
For more information: contact Matt Cherry at pr@IHEU.org

Saturday, May 2, 2015

Surat Anggun Cipta Sasmi Merespon Hukuman Mati

To the People of Indonesia.
Belakangan ini ada kontroversi tentang opini saya mengenai hukuman mati yang kebanyakan datang dari hujatan netizen di social network dan ini penjelasan saya.
Saya adalah seorang ibu, darah saya 100% Indonesia. Seorang ibu yang mencintai anaknya seperti layaknya semua ibu di Indonesia. Dan tentunya saya menolak, berperang dan membenci Narkoba juga semua pihak yang membantu membuat atau menjualnya. Narkoba adalah musuh manusia yang menghancurkan hidup dan memecahkan keluarga. Narkoba memperkayai mafia juga orang yang gemar korupsi dibelakang kepedihan orang-orang kecil. Tentu saja saya berdiri di sisi korban dan di sisi semua orang yang membenci Narkoba. Mereka yang membuat dan menjual racun Narkoba harus di adili dan harus diberi hukuman yang seberat-beratnya di penjara.
Saya juga seorang pembela Hak Asasi Manusia. Saya bekerja sama dengan PBB sebagai Goodwill Ambassador dan dalam Universal Deklarasi Hak Asasi Manusia tertulis larangan membunuh manusia. Saya sangat percaya bahwa kita tidak bisa membasmi kriminalitas dengan membunuh orang-orang yang terlibat dalam kejahatan. Nyawa yang dibalas nyawa tidak akan mengembalikan hidup korban. Kematian bukanlah keadilan. Untuk saya, hanya Allah semata yang mempunyai hak atas hidup dan mati manusia.
Saya ingin hukuman yang setimpal dan seberat-beratnya kepada para kriminal. Saya membenci koruptor yang membantu bandar Narkoba menjalankan bisnis penjualan bahkan lewat penjara. Saya ingin adanya proyek bantuan kepada keluarga dari korban Narkoba, seperti Ibu Ephie Craze yang surat terbukanya amat dan sangat menyentuh saya.
Saya berada di posisi yang sama seperti semua ibu dan istri yang akan selalu berada disisi korban Narkoba. Tetapi saya juga menolak hukuman mati karena tidak manusiawi dan tidak berhasil membasmikan kejahatan.
Berpendapat seperti ini bukan berarti menyangkal darah yang mengalir di nadi saya atau mempertanyakan kedaulatan Indonesia yang saya hormat dan cintai. Ini hati saya yang berbicara.
Semoga Allah memberkati.
Anggun






Resources:

Sejarah Hukuman Mati

Awal Hukuman mati

Hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi. Saat itu ada ada 25 macam kejahatan yang diancam dengan hukuman mati

Awal hukuman mati diidentifikasi terjadi sekitar abad ke 18 dalam masa kerajaan Hammaurabi di babel. Hukuman mati pada masa ini ditetapkan untuk 25 kategori kejahatan yang berbeda. Tetapi sebelum itu, hukuman mati ini juga sebenarnya sudah terekam abad ke 14 yang terjadi di Athena. Hukuman mati pada masa ini dilaksanakan untuk semua pelanggaran maupun tindak kejahatan. Hukuman mati juga berlaku pada masa kekaisaran romawi yang terjadi sekitar abad ke 12 yang dimana praktik hukuman mati dilakukan dengan berbagai cara seperti penyaliban, ditenggelamkan, dipukuli sampai mati, dibakar hidup-hidup dan dilempari sampai mati.
Perjalan hukuman mati ini termasuk sudah mengalami zaman yang panjang dan berbeda. Sekitar tahun 1066 Raja William atau biasa disebut sebagai William Sang Penakluk (Normandia, Perancis) menghapus istilah hukuman mati (pada masa itu berlaku hukuman gantung) untuk kategori kejahatan apapun namun terkecuali untuk para penjahat perang. Namun tren ini tidak bertahan lama karena pada abad ke 16 dibawah pemerintahan raja Henry VIII, sebanyak 72.000 orang diperkirakan telah dieksekusi dengan berbagai bentuk kejahatan. Beberapa metode hukuman mati pada masa tersebut dilakukan dengan berbagai cara antara lain dibakar di tiang, digantung, pemenggalan, dan quartering. Kebanyakan eksekusi dilakukan karena alasan pelanggaran modal & pajak, tidak mengakui kejahatan, dan pengkhianat kerajaan.
Sementara di Inggris, pada tahun 1700-an telah terjadi 222 pelaku kejahatan yang siap untuk dihukum mati. Kebanyakan para pelaku kejahatan tersebut telah melakukan tindakan seperti mencuri dan menebag pohon. Karena banyaknya pelaku yang akan dieksekusi, pihak juri melakukan klarifikasi ulang dengan mempertimbangkan kejahatan berat dan ringan hingga pada akhirnya sekitar 100 pelaku yang akhirnya jadi dieksekusi.

Hukuman Mati di Amerika
Hukuman mati di Amerika sebenarnya secara langsung juga ada karena pengaruh praktik hukuman mati yang telah terjadi sebelumnya di Inggris. Eksekusi hukuman mati pertama di Amerika diawali dengan eksekusi Kapten George Kendall. Eksekusi dilakukan didaerah koloni Jamestown, Virginia pada tahun 1608. George Kendall dieksekusi karena terlibatnya kendall dalam aktivitas memata-matai (Kendall menjadi mata-mata Spanyol untuk Amerika). Selajutnya hukuman mati telah banyak berlangsung didaerah Amerika, kebanyakan eksekusi dilakukan kepada para peyangkal Tuhan yang pada masa tahun 1600-an penyangkalan kepada Tuhan dianggap sebagai suatu kejahatan.

Gerakan Abolisionisme (The Abolitionist Movement)
Gerakan Abolisionisme menemukan akar (awal mula) dari tulisan para intelektual di Eropa seperti Montesquieu, Voltaire, Bentham, John Bellers dan John Howard. Hingga pada tahun 1967, Cesare beccaria menuliskan sebuah essay yang isinya menentang perbudakan dan HAM. Essay ini memberikan energi baru terhadap revolusi sebuah negara hingga pada akhirnya tulisan ini secara tidak langsung membawa sebuah pergerakan yang disebut sebagai gerakan abolisionisme. Pada masa pergerakannya, gerakan ini juga berimbas terhadap penentangan terhadap praktik hukuman mati yang kejam. Gerakan ini juga secara tidak langsung menjadi alasan penghapusan praktik hukuman mati di Austria dan Toskana (Italia Tengah). Para intelektual di Amerika juga dipengaruhi oleh tulisan Cesare beccaria yang berimbas terhadap pembentukan RUU oleh Thomas Jefferson. RUU ini dibentuk sebagai revisi terhadap UU hukuman mati di Virginia.
Dr. Benjamin Rush juga seorang yang terpengaruh atas konsep yang dibentuk oleh Cesare Beccaria. Rush menentang keyakinan bahwa hukuman mati berfungsi sebagai tindakan pencegah kejahatan. Bahkan, Dia menyatakan bahwa efek hukuman mati justru meningkatkan tindakan pidana. Rush mendapat dukungan dari Benjamin Franklin dan Jaksa Agung Philadelphia, William Bradford. Bradford, yang kemudian menjadi Jaksa Agung AS meyatakan penghapusan terhadap hukuman mati pada tahun 1794 di Pennsylvania. Hingga secara resmi pada tahun 1794, praktik hukuman mati secara resmi dihapuskan didaerah Pennsylvania untuk seluruh kategori kejahatan terkecuali untuk kasus pembunuhan tingkat pertama.




Sources
Amnesty International, "List of Abolitionist and Retentionist Countries," Report ACT 50/01/99, April 1999
D. Baker: "A Descriptive Profile and Socio-Historical Analysis of Female Executions in the United States: 1632-1997"; 10(3) Women and Criminal Justice 57 (1999)
R. Bohm, "Deathquest: An Introduction to the Theory and Practice of Capital Punishment in the United States," Anderson Publishing, 1999.
"The Death Penalty in America: Current Controversies," H. Bedau, editor, Oxford University Press, 1997.
K. O'Shea, "Women and the Death Penalty in the United States, 1900-1998," Praeger 1999.
W. Schabas "The Abolition of the Death Penalty in International Law," Cambridge University Press, second edition, 1997.
"Society's Final Solution: A History and Discussion of the Death Penalty," L. Randa, editor, University Press of America, 1997.

V. Streib, "Death Penalty For Female Offenders January 1973 to December 2002," Ohio Northern University, 2003.

Tuesday, December 16, 2014

Diaspora vs Illegal Imigrant in USA


Diaspora vs Illegal Imigrant in USA, sebuah perspektif!
 
By : Archer Clear


Ada sejuta alasan mengapa sebuah bangsa menjadi maju atau terbelakang. Bagi saya bangsa yang sanggup melakukan "Adaptasi" dan "Responsif" terhadap perubahan-perubahan zaman akan menjadi bangsa yang "Survive", sementara bangsa yang masih berpikir tertutup akan menghadapi kenyataan yang juga tertutup, ini membuktikan bahwa Sebagai bangsa Kitalah yang memilih untuk menjadi bangsa yang bagaimana, yang berpikir terbuka adaptable dan responsif atau menjadi bangsa yang tertutup dan terkurung dalam dogma dan ilusi selamanya! Ditangan manusia Indonesia bangsa ini akan bertumbuh, Diaspora atau appun namanya akan tidak bermakna apa-apa jika masih hidup dalam ruang berpikir tertutup! - Archer Clear
 
"Kami siap dan berkomitmen untuk mengembangkan kemitraan dan kerja sama yang dinamis untuk kesejahteraan bersama dengan Indonesia," - Kongres Diaspora"
 
Salah satu rekomendasi adalah menghimbau agar pemerintah akan mengizinkan adanya dual citizenship, atau kewarganegaraan ganda, supaya komunitas diaspora bisa tinggal dan hidup di luar negeri, tanpa harus melepas ke Indonesiaanya"
- Rekomendasi Kongres Diaspora
 
Kedua point yang direkomendasikan oleh Kongres diaspora yang berlangsung di LA bagi saya menyimpan begitu banyak pertanyaan.
 
Pertama Diaspora dalam pengertian yang sederhana adalah Manusia yang terpisah jauh dari tanah kelahiran atau tanah Leluhurnya, dan hidup menetap dan bekerja pada suatu wilayah tertentu. Alasan-alasan manusia melakukan migrasi dari tanah kelahirannya kesuatu wilayah tertentu umumnya adalah alasan-alasan Hidup, baik secara Politik, Ekonomi, budaya, maupun Pendidikan. Orientasi hidup yang lebih berkembang yang ingin dituju oleh Diaspora, saya kira itu salah satu alasan mengapa mereka meninggalkan tanah kelahirannya. Pertanyaannya, mengapa Diaspora itu menjadi pilihan yang rasional bagi kehidupan mereka?"
 
Kedua, Diaspora itu bukan sekedar hidup dibawah "Status" yang jelas, artinya memiliki kelengkapan dokumen untuk hidup dan menikmati akses kehidupan yang ditawarkan oleh sebuah wilayah atau negara. Misalkan diUSA, Diaspora yang dimaksud secara umum mungkin adalah mereka yang Lahir atau mendapatkan kesempatan untuk menjadi warga negara USA dengan berbagai Alasan. Contoh sederhana, jika anda ingin menjadi warga negara USA anda bisa menikah dengan warga negara USA kemudian melalui proses legal dalam waktu yang tidak terlalu lama anda akan mendapatkan Dokumen resmi sebagai warga Negara USA, dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku dalam wilayah hukum USA.
 
Saya kira proses Diaspora itu memakan waktu interaksi yang tidak mudah, dan begitulah realitas yang dihadapi oleh Diaspora apapun yang hidup dan saya saksikan diUSA. Mereka walau sudah menjadi warga negara USA, tapi akan sulit melepaskan Identitas asli mereka yang itu build in didalam diri mereka sebagai manusia. Dan bagi saya Dokumen hanyalah sebuah Dokumen, yang berguna jika digunakan sesuai dengan peruntukannya.
 
Secara umum, Diaspora Indonesia yang hidup diUSA mungkin hanya dapat berbaur dengan sesama diaspora yang status kewarganegaraannya jelas, sementara diUSA bukan hanya warga negara indonesia yang sudah mengantongi kewarganegaraan resmi dari pemerintahan USA, tapi ada begitu banyak manusia Indonesia yang harus berjuang dengan caranya sendiri untuk "Survive" tanpa status kewarganegaraan yang resmi, artinya masih menjadi warga negara Indonesia dengan bukti Dokumen Pasport Indonesia. Apakah mereka masuk dalam kategori "DIASPORA" yang dimaksud dalam kongres Diaspora diLA?" I don't Know!
 
Saya kira, tanpa kewarganegaraan Ganda sekalipun para diaspora yang mengantongi Dokumen Resmi dapat berkunjung secara merdeka ketanah air, tidak ada masalah untuk itu. Karena esensi dari diaspora itu sendiri adalah sebuah Identitas personal kita, dan itu tidak akan hilang hanya karena kita berganti warga negara. Justru saya melihat sisi lain dari Diaspora yang perlu diekplorasi adalah bagaimana para Diaspora ini melihat kenyataan hidup diindonesia yang sangat berbeda seperti apa yang mereka lihat dan rasakan dinegara tempat mereka hidup, ide tentang hidup berdampingan secara damai itu bisa ditransfer, karena saya kira negara-negara tempat mereka hidup sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, dimana dinegerinya sendiri nilai-nilai itu masih menjadi bahan pertentangan.
 
Lagi-lagi isue mendasar dan fundamentalnya adalah Konstitusi, para Diaspora bisa menikmati kebebasan hidup dalam kedamaiaan karena negara tempat mereka hidup sudah selesai dengan urusan-urusan pertentangan keyakinan, apalagi agama. Pemisahan antara wilayah negara dan agama sudah begitu jelas dan tegas, tidak ada lembaga-lembaga agama yang melakukan Intervensi dalam ruang-ruang negara, dan itulah yang membuat Komunitas Diaspora yang datang dari berbagai latar belakang negara dapat hidup berdampingan secara damai dibawah payung Konstitusi yang Rasional.
 
Berangkat dari pengalaman Real yang saya hadapi selama hidup diUSA, saya justru menemukan kenyataan bahwa mereka yang sudah mengantongi dokumen resmi pemerintahan USA, atau yang berstatus "Green Card" & "Permanen Resident" sulit untuk berbuat banyak atas Indonesia, artinya jika menjadi warga negara USA secara otomatis tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku diUSA, misalkan dengan membayar pajak penghasilan secara rutin, dan menghabiskan semua energy untuk bekerja membangun USA.
 
Saya kira kontribusi Real dari masyarakat Indonesia yang sudah resmi itu direct langsung ke negara USA itu sendiri.Berbeda dengan warga negara Indonesia yang bekerja secara Illegal di USA, mereka justru tidak banyak menghabiskan hidupnya untuk hidup bermewah-mewah diUSA, yang saya tau waktu yang mereka habiskan adalah bekerja dari 10 jam hingga 14 jam Kerja sehari, mereka mengumpulkan hasil kerja mereka itu secara disiplin untuk kemudian dikembalikan KeIndonesia untuk mensupport kehidupan Keluarga mereka disana. Inilah perbedaan mencolok yang saya temukan antara warga negara Indonesia Resmi vs Warga negara Indonesia yang berstatus Illegal di USA.
 
Jika kongres Diaspora Indonesia yang menawarkan tag line yang besar seperti "expending connentions, multiplaying opportunities, sharing prosperity" ini benar-benar sesuai dengan semangatnya maka saya kira "Impact" yang dilahirkan akan jauh lebih besar dari tag line seperti yang saya sebutkan diatas. Mengapa, karena bagi saya Diaspora atau Illegal Imigran sekalipun punya perannya masing-masing dalam membangun Indonesia. Hanya yang menjadi pertanyaan besar saya adalah, bahwa Indonesia sebagai negara masih melihat manusia dalam kaca mata "KUDA", dimana status itu jauh lebih penting dari manusia itu sendiri.
 
Diskriminasi atas warga legal dan illegal di USA itu begitu nyata, dan itu menjadi salah satu alasan mengapa saya sangat sekeptic dengan Kongres Diaspora yang berlangsung diLA akan melahirkan Impact yang luas biasa, bisa jadi Kongres Diaspora itu lebih banyak bermuatan Politik Pragmatisnya dari pada berpikir lebih jauh bagaimana membangun Koneksi, Oportunities, and Prosperity yang berdiri diatas persaudaraan sejati sebagai bangsa, tidak ada lagi yang namanya diskriminasi hanya karena status legal dan illegal, semua manusia Indonesia bagi saya berdiri sejajar dimana pun dia berada, jika dia meminta dengan hormat bantuan Negara, maka sudah menjadi tugas negara untuk memfasilitas permintaan tersebut.
 
Untuk menutup tulisan singkat ini, saya ingin mengatakan bahwa bukan Diaspora atau apapun namanya yang akan sanggup membuka ruang-ruang kesempatan untuk pertumbuhan indonesia dimasa depan, tapi bagaimana membebaskan pikiran manusia-manusia Indonesia dari genggaman berpikir Ilusif Dogmatis dan mendorongnya untuk berpikir rasional yang full of common sense, dan saya kira inilah tantangan terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia secara Fundamental.
 
Free your mind and think!





Friday, November 28, 2014

The Universal Declaration Of Human Rights

PREAMBLE

Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world,
Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the highest aspiration of the common people,
Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule of law,
Whereas it is essential to promote the development of friendly relations between nations,
Whereas the peoples of the United Nations have in the Charter reaffirmed their faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person and in the equal rights of men and women and have determined to promote social progress and better standards of life in larger freedom,
Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in co-operation with the United Nations, the promotion of universal respect for and observance of human rights and fundamental freedoms,
Whereas a common understanding of these rights and freedoms is of the greatest importance for the full realization of this pledge,
Now, Therefore THE GENERAL ASSEMBLY proclaims THIS UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS as a common standard of achievement for all peoples and all nations, to the end that every individual and every organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for these rights and freedoms and by progressive measures, national and international, to secure their universal and effective recognition and observance, both among the peoples of Member States themselves and among the peoples of territories under their jurisdiction.

Article 1.

  • All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.

Article 2.

  • Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.

Article 3.

  • Everyone has the right to life, liberty and security of person.

Article 4.

  • No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms.

Article 5.

  • No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.

Article 6.

  • Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law.

Article 7.

  • All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.

Article 8.

  • Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law.

Article 9.

  • No one shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile.

Article 10.

  • Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him.

Article 11.

  • (1) Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed innocent until proved guilty according to law in a public trial at which he has had all the guarantees necessary for his defence.
  • (2) No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed.

Article 12.

  • No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.

Article 13.

  • (1) Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each state.
  • (2) Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country.

Article 14.

  • (1) Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution.
  • (2) This right may not be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or from acts contrary to the purposes and principles of the United Nations.

Article 15.

  • (1) Everyone has the right to a nationality.
  • (2) No one shall be arbitrarily deprived of his nationality nor denied the right to change his nationality.

Article 16.

  • (1) Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution.
  • (2) Marriage shall be entered into only with the free and full consent of the intending spouses.
  • (3) The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State.

Article 17.

  • (1) Everyone has the right to own property alone as well as in association with others.
  • (2) No one shall be arbitrarily deprived of his property.

Article 18.

  • Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.

Article 19.

  • Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.

Article 20.

  • (1) Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association.
  • (2) No one may be compelled to belong to an association.

Article 21.

  • (1) Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives.
  • (2) Everyone has the right of equal access to public service in his country.
  • (3) The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures.

Article 22.

  • Everyone, as a member of society, has the right to social security and is entitled to realization, through national effort and international co-operation and in accordance with the organization and resources of each State, of the economic, social and cultural rights indispensable for his dignity and the free development of his personality.

Article 23.

  • (1) Everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment.
  • (2) Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay for equal work.
  • (3) Everyone who works has the right to just and favourable remuneration ensuring for himself and his family an existence worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by other means of social protection.
  • (4) Everyone has the right to form and to join trade unions for the protection of his interests.

Article 24.

  • Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay.

Article 25.

  • (1) Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.
  • (2) Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection.

Article 26.

  • (1) Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.
  • (2) Education shall be directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace.
  • (3) Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given to their children.

Article 27.

  • (1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits.
  • (2) Everyone has the right to the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author.

Article 28.

  • Everyone is entitled to a social and international order in which the rights and freedoms set forth in this Declaration can be fully realized.

Article 29.

  • (1) Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of his personality is possible.
  • (2) In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.
  • (3) These rights and freedoms may in no case be exercised contrary to the purposes and principles of the United Nations.

Article 30.

  • Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for any State, group or person any right to engage in any activity or to perform any act aimed at the destruction of any of the rights and freedoms set forth herein.





 
Design by Jery Tampubolon | Bloggerized by Jery - Rhainhart Tampubolon | Indonesian Humanis